DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

PDI Perjuangan, Partai Politik yang Lahir di Kancah Perjuangan Melawan Rezim Soeharto

image
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP).

Djarot Saiful Hidayat dan Endi Haryono, Politik dan Ideologi PDI Perjuangan 1987 – 1999: Penemuan dan Kemenangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2023. Tebal: xvi + 317 halaman.

ORBITINDONESIA.COM - Dalam politik kontemporer Indonesia, saat ini ada satu partai politik yang perlu diberi tempat khusus untuk dibahas secara mendalam. Partai itu adalah PDI Perjuangan (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP).

Pada 2023, PDI Perjuangan adalah partai terbesar yang memiliki jumlah kursi terbanyak di parlemen (DPR RI).

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Bukan cuma itu, berbagai survei independen juga menunjukkan, PDI Perjuangan yang menjadi basis bagi kaum nasionalis dan Sukarnois adalah partai yang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dibandingkan partai-partai politik lainnya. PDIP berpeluang besar memenangkan Pemilihan Umum 2024.

Baca Juga: Jadwal Pertandingan Liga Inggris di Pekan ke 30, Persaingan Kian Ketat di Papan Klasemen Sementara

Dalam menyambut pemilihan presiden 2024, partai-partai politik lain butuh berkoalisi untuk bisa memenuhi persyaratan presidential threshold dan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tetapi karena jumlah kursinya yang besar di DPR, PDIP bisa mengajukan kandidatnya sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Buku ini menjelaskan politik dan ideologi PDIP yang memiliki akar dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Politik dan ideologi dalam konteks ini mencakup nilai-nilai yang diperjuangkan.

PDIP didirikan bukan hanya untuk menjadi mesin pemilihan umum atau sekadar sebagai pelengkap praktik demokrasi. PDIP merupakan partai politik yang terlibat dalam aktivitas sosial di masyarakat.

Hal ini merupakan cara PDIP untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan Pancasila, serta menghidupkan ajaran Bung Karno dalam semangat satu Indonesia.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Inilah Klasemen Terkini Liga Inggris Musim 2022-2023, Jelang Pekan ke 30 Bergulir Sabtu 8 April 2023

Partai Politik untuk Rakyat Kecil

PDIP mengadopsi posisi sebagai partai wong cilik, yang menjadi tumpuan harapan rakyat kecil untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. PDIP tidak membedakan dikotomi sebagai partai kader atau partai massa.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Predikat-predikat ini kerap menjadi dilema bagi PDIP ketika berhadapan dengan abnormalitas dan pragmatisme politik Indonesia pasca-Reformasi 1998, yang masih berlangsung hingga sekarang.

PDIP adalah hasil transformasi dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia) di zaman Orde Baru. Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto bisa dikategorikan sebagai rezim birokratis-otoritarian (bureaucratic-authoritarianism regime).

Rezim Soeharto merupakan sebuah organisasi negara yang memiliki kewenangan otonom dan sepihak untuk mengatur, mengontrol, serta mengubah masyarakat. Para pemegang kuasa dalam rezim ini bekerja dengan bertumpu pada aturan-aturan legal yang berlaku maupun menggunakan kekerasan oleh militer dan aparat keamanan yang sepenuhnya dalam kontrol pemerintah.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Baca Juga: Inilah Hasil Pertandingan Laga Tunda di Pekan ke 7 dan 25 Liga Inggris Dini Hari Tadi WIB

Model birokratis-otoritarian menjelaskan dengan baik kemampuan otonom rezim orde Baru, yang dengan sengaja menumbuhkan beragam basis legitimasi dalam perhitungan yang terkontrol.

Basis legitimasi itu mencakup basis tradisional, karismatik, dan legalistik dengan prinsip-prinsip efisiensi yang terkontrol.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Dalam lingkup akademis, ada beberapa model untuk menjelaskan basis legitimasi Orde Baru. Model bureaucratic-authoritarianism regime ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan model-model teoretis lainnya dalam menjelaskan basis legitimasi Orde Baru.

Rezim Orde Baru yang otoriter memaksakan pembatasan jumlah partai politik. Partai-partai nasionalis dan non-Islam dipaksa melakukan fusi dan menjadi PDI.

Baca Juga: BRI Liga 1: Prediksi dan Link Streaming PSIS Semarang Melawan PSM Makassar, Waktunya Panggung Pemain Muda

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

PDI terbentuk pada 10 Januari 1973 sebagai fusi (penggabungan) dari partai politik nasionalis, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dua partai agama bergabung juga dalam fusi ini, yaitu Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.

PPP, Golkar dan ABRI

Partai-partai berbasis Islam dipaksa bergabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan partai pendukung pemerintah adalah Golongan Karya (Golkar), yang memiliki basis luas di birokrasi.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Militer (ABRI) sebagai pendukung rezim diberi jatah kursi permanen di parlemen tanpa harus mengikuti pemilihan umum.

Soeharto berdalih, kehadiran wakil tetap ABRI di parlemen itu diperlukan untuk mengamankan ideologi negara Pancasila. Orde Baru sempat mengalami masa kejayaannya.

Baca Juga: BRI Liga 1: Bhayangkara FC Melawan Barito Putera Berakhir Imbang Tanpa Pemenang

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Namun, masa kejayaan Orde Baru akhirnya mulai surut. Terjadi keretakan internal di dalam rezim. Bisnis-bisnis keluarga Soeharto yang mulai diberitakan oleh media tampaknya memperlihatkan guncangan, setidaknya pada posisi pribadi Soeharto atau pada sistem yang dipimpinnya (Liddle, 1998).

Bourchier dan Hadiz (2003) membagi masa kekuasaan Orde Baru 1966-1998 menjadi empat periode, yakni periode pembentukan format (1966-1973), periode kejayaan (1973-1988), periode ketegangan dan kontradiksi (1989-1997), dan kejatuhan (1998).

Orde Baru mengalami pasang dan surut dalam masa kekuasaannya, dan akhirnya runtuh setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Lahirnya PDIP berawal dari ketika Ketua Umum PDI, Soerjadi, merekrut dua anak Soekarno – Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra—menjadi anggota PDI dan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pemilihan Umum 1987. Megawati dan Guruh terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilihan Umum 1987.

Baca Juga: BRI Liga 1: Persebaya Surabaya Melawan Persija Jakarta, Gol Witan Sulaeman Menangkan Macan Kemayoran

Soerjadi juga merekrut banyak kaum profesional muda dari Jakarta untuk bergabung dalam PDI. Tujuan Soerjadi adalah untuk meningkatkan perolehan suara PDI pada pemilu dan mendinamiskan PDI, yang sebelum itu dianggap sebagai “partainya orang tua.”

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Manuver Soerjadi ini merupakan terobosan kreatif yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang diberlakukan pemerintah. Pemerintah Soeharto melarang adanya kantor cabang atau operasional partai di tingkat kecamatan dan desa.

Restu dari Pemerintah

PDI yang merupakan hasil fusi 1973 tidak pernah dimaksudkan sebagai partai politik yang dapat menggalang dukungan secara mandiri untuk gerakan beroposisi terhadap rezim Orde Baru. Peran utama PDI hanyalah sebagai salah satu pilar Orde Baru di sektor politik bagi konsolidasi rezim.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

PDI dan PPP adalah sekadar pelengkap pemilihan umum. Kehadiran mereka dimaksudkan untuk menunjukkan simbol formalitas bahwa “demokrasi di Indonesia sudah berjalan.” Dalam wacana politik, apa yang diterapkan rezim Orde Baru ini biasa disebut “demokrasi prosedural.”

Baca Juga: Satrio Arismunandar: Dengan Finlandia Masuk ke NATO, Rusia Makin Merasa Terkepung dan Terancam

Dalam sistem seperti itu, ketua-ketua PDI dan PPP harus memperoleh ”restu” atau persetujuan dari pemerintah dan Presiden Soeharto. Restu ini dimaksudkan agar ketua-ketua partai itu tidak dapat membawa partainya menjadi basis oposisi terhadap pemerintah.

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Namun, iklim keterbukaan atau menguatnya gerakan masyarakat sipil prodemokrasi di Indonesia pada paruh terakhir 1980-an telah mendorong PDI untuk mengembangkan aspirasi prodemokrasi. Pada Pemilu 1987, PDI menambahkan dua tema baru dalam kampanyenya: keterbukaan dan suksesi politik nasional.

Perpecahan internal rezim yang semula tertutup kemudian berkembang menjadi wacana publik. Hal itu seiring dengan menguatnya aspirasi masyarakat terhadap keterbukaan politik.  Ini sekaligus menjadi tantangan politik baru bagi rezim Orde Baru dan Presiden Soeharto.

Kekuatan-kekuatan kritis di internal rezim Orde Baru kemudian berkembang menjadi kekuatan anti-Soeharto. Mereka bertemu dengan kekuatan-kekuatan prodemokrasi yang mulai tumbuh.

Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat

Baca Juga: Bukan Ahmad Dhani kalau Tidak ada Sensasi, Love is Blind Single Terbaru Dewa 19 Gaet Simon Phillips

Meningkatnya popularitas Megawati di PDI dan masyarakat menjadi tanda bahaya bagi rezim Soeharto. Megawati terpilih menjadi Ketua Umum PDI pada kongres luar biasa di Surabaya, 3 Desember 1993.

Kepemimpinan Megawati diperkuat pada musyawarah nasional di Jakarta, 23 Desember 1993. Peristiwa yang tak terduga ini menguatkan keterbukaan politik dan gerakan prodemokrasi di Indonesia.

Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan

Megawati Dianggap Sebagai Ancaman

Selama proses itu, rezim Soeharto sudah berusaha keras untuk menjegal kemajuan Megawati, namun gagal. Zaman sudah berubah dan rezim Soeharto tidak bisa selalu memaksakan kehendaknya. Berbagai peristiwa pada 1993 telah mendorong pertumbuhan dan radikalisasi gerakan-gerakan prodemokrasi.

Selain membelah PDI, peristiwa-peristiwa politik pada 1993 juga memperlebar faksionalisasi di kalangan militer (ABRI) dan di internal rezim Orde Baru.

Baca Juga: Syafrin Liputo: DKI Jakarta Bebas Kendaraan Bermotor Malam Natal dan Tahun Baru di Jalan Sudirman-MH Thamrin

Baca Juga: Mengacu Pada Konstitusi dan Permenlu, I Wayan Koster Tolak Kehadiran Israel di World Beach Games 2023

Soeharto memandang kepemimpinan Megawati di PDI sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Pertemuan Soeharto dan Megawati pada 5 Februari 1994 tidak menghapuskan ketegangan-ketegangan yang sudah terlanjur terbentuk.

Pemerintah juga terus melakukan intervensi untuk mengganggu kepemimpinan Megawati di PDI. Pemerintah memanfaatkan politisi-politisi oportunis di dalam tubuh PDI yang pro-rezim Orde Baru. Mereka lebih tunduk pada arahan pemerintah ketimbang mendukung konsolidasi internal partai.

Baca Juga: Taman Mini Indonesia Indah Gelar Konser Musik untuk Natal dan Tahun Baru

Pemerintah Soeharto kemudian berusaha mencopot Megawati dari kepemimpinan PDI dengan mensponsori Kongres PDI di Medan pada Juni 1996. Soeharto memanfaatkan konflik internal di tubuh PDI dan mencoba mengangkat kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI untuk menggantikan Megawati.

Saat itu tidak ada politisi PDI lain di kubu pro-pemerintah yang bisa diandalkan untuk menandingi Megawati. Tetapi Kongres Medan 1996 ini justru menyulut perlawanan dari para simpatisan Megawati dan aktivis prodemokrasi di Jakarta dan di daerah-daerah. Aksi protes pun terjadi di beberapa kota.

Baca Juga: Fans Satoru Gojo Merapat, Inilah Detail Trailer Jujutsu Kaisen:Jadwal Rilis di Indonesia dan Jumlah Episode

Baca Juga: Dinas Kesehatan: Pengidap COVID 19 di Jakarta Mencapai 200 Kasus per Hari

Peristiwa 27 Juli 1996

Rezim Soeharto lalu merancang penyerbuan fisik terhadap markas PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Serangan yang memicu kerusuhan besar ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli 1996 atau Peristiwa Sabtu Kelabu.

Menurut laporan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), akibat penyerbuan itu 5 orang tewas, 23 orang hilang, dan 149 orang terluka.

Baca Juga: Relawan Santri Muda Garut Dukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD

Pameran kekejaman militeristis pada Peristiwa 27 Juli 1996 dimaksudkan sebaai pesan keras untuk gerakan-gerakan prodemokrasi yang anti-Soeharto dan anti-Orde Baru. Namun upaya represif rezim Orde Baru itu gagal membungkam gerakan prodemokrasi yang sedang tumbuh.

Krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia mulai 1996. Kenaikan harga kebutuhan pokok memicu aksi-aksi protes. Gerakan mahasiswa yang masif muncul di berbagai kampus.

Baca Juga: NAH LO, Trik Ibu Ida Dayak Meluruskan Tulang Dibongkar Pesulap Merah, Disebut Tukang Urut Biasa

Baca Juga: Ganjar Pranowo Ikut Kirab Budaya Nitilaku UGM  Yogyakarta

Pada puncaknya, ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR dan menuntut mundurnya Soeharto. Kekuasaan Soeharto akhirnya diruntuhkan oleh gerakan prodemokrasi pada Mei 1998.

Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Habibie melakukan liberalisasi politik dan merevisi sejumlah kebijakan Soeharto yang tidak populer.

Misalnya, Habibie memberikan kebebasan pers yang lebih luas. Rezim Habibie juga menghapus persyaratan perizinan yang berbelit-belit bagi mereka yang ingin mendirikan perusahaan media.

Baca Juga: Buruh Rokok di Kudus Deklrasi Dukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka

Namun, rezim Habibie tetap mempertahankan kebijakan Soeharto yang menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan di PDI. Ada dua versi PDI: PDI pro-Soerjadi yang didukung dan “direstui” oleh pemerintah dan PDI pro-Megawati yang didukung rakyat tetapi “tidak direstui” oleh pemerintah.

Baca Juga: Indahnya Kehangatan Buka Puasa dan Sholat Tarawih Ramadhan 2023 Warga Muslim AS di Lokasi Times Square

PDI pro-Soerjadi mengadakan Kongres di Palu pada Agustus 1998. Kongres ini menghasilkan pergantian ketua dari Soerjadi ke Budi Harjono. Tetapi versi PDI yang didukung pemerintah ini tetap gagal memberi solusi bagi soliditas PDI, bahkan menanam bibit-bibit perpecahan baru.

Baca Juga: Pesantren Lirboyo Kediri Dukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar

Bagi PDI pro-Megawati, ini merupakan situasi yang sulit. Pertarungan legal di pengadilan untuk menentukan kepemimpinan yang sah di PDI akan berlarut-larut dan memakan waktu panjang.

PDI pro-Megawati tidak boleh tergantung pada rezim Habibie atau pemerintah di masa depan untuk hidup, tetapi tergantung pada kepercayaan dan dukungan rakyat.

Membentuk Partai Politik Baru

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Neng Dara Affiah: Umat Islam tidak Punya Alasan Menolak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Maka PDI pro-Megawati mengadakan kongres sendiri di Bali pada 1998. Kongres ini berjalan lancar tanpa insiden kekerasan, dan menunjukkan dukungan yang masif dari massa PDI.

Baca Juga: Bioskop Trans TV: Hellboy, Ketika Iblis Bertanduk yang Jadi Superhero Membela Kebenaran Melawan Rasputin

Massa dari luar Bali secara mandiri mengorganisasi perjalanan untuk hadir dalam kongres ini. Mereka yang tidak mendapat tempat penginapan di area sekitar Kongres, mendirikan tenda-tenda sendiri di dekat Lapangan Kapten Japa, Denpasar, Bali.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam Terus Berkembang

PDI pro-Megawati harus mendirikan partai politik baru atau berubah menjadi partai politik baru karena tahapan menuju Pemilihan Umum 1999 juga tidak bisa menunggu.

Di awal 1999, PDI pro-Megawati secara resmi menjadi partai politik bernama PDI Perjuangan (PDIP). PDI Perjuangan menetapkan asas atau ideologi Pancasila, serta memantapkan diri sebagai partai politik yang bercirikan kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Langkah ini diambil oleh Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan berdasarkan mandat yang diberikan oleh keputusan Kongres Bali 1998.  Pengumuman pendirian partai politik baru PDI Perjuangan ini dilakukan secara langsung oleh Megawati dan hal ini sekaligus menutup pintu bagi penyatuan kembali PDI.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis SATUPENA Hadirkan Neng Dara Affifah dalam Diskusi Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam

Baca Juga: Bioskop Trans TV: The Honest Thief, Niat Jujur Perampok Dibayar oleh Nyawa yang Diburu oleh Polisi Korup

Nama “PDI Perjuangan” sebagai partai politik baru dengan cepat diterima oleh rakyat. Pemberitaan media selama satu dasawarsa terakhir juga telah memopulerkan nama PDI Perjuangan. PDIP juga mengenalkan lambang dan program-program utama partai kepada publik.

PDI Perjuangan tetap memegang prinsip menjadi rumah bersama bagi seluruh partai yang menjadi elemen fusi 1973, selama partai-partai tersebut (dan para pengurusnya) tetap masih menginginkan untuk berada bersama PDI yang baru.

Baca Juga: Kampanye di Pelabuhan Perikanan, Nelayan Minta Gibran Bikin Aturan yang Memudahkan Penjualan Ikan

PDIP adalah partai politik baru dalam pengertian de jure terkait dengan persiapan menuju Pemilihan Umum 1999. Namun, dalam konteks historis perjalanan politik Indonesia, PDIP adalah partai yang telah memiliki akar sejak masa lampau.

Berbeda dengan kelompok kepentingan, partai politik bertahan melewati pergantian-pergantian dinamika politik dan masa pemerintahan yang berbeda-beda.

Baca Juga: Duh, Ritual Maut Dukun Pengganda Uang di Banjarnegara juga Pernah Terjadi Magelang, Korban Minum Potasium

Baca Juga: Ahmad Syahroni Nasdem: Anies Baswedan Harapan Perubahan untuk Indonesia Timur

Hal ini bisa terjadi justru karena akar sejarahnya yang kuat, yang telah membentuknya sejak lama. PDIP telah menunjukkan hal itu.

Buku ini adalah jilid pertama dari tiga buku yang direncanakan. Jilid pertama mencakup periode 1987-1999, jilid kedua mencakup periode 2000-2009, dan jilid ketiga mencakup periode 2010-2019.

Karena buku pertama ini sangat menarik dan penting, kita berharap buku kedua dan ketiga bisa segera diterbitkan. ***

Baca Juga: Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Bantu Pelaku Usaha Emping Melinjo Condet Dapat Perlindungan Kekayaan Intelektual

Satrio Arismunandar

Berita Terkait