DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Akaha Taufan Aminudin: Dalam Lipatan Perut Yogyakarta

image
Ilustrasi antologi puisi esai Prov Yogyakarta

 

ORBITINDONESIA - Puisi esai Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) sangat cocok untuk dijadikan referensi para pegiat literasi, terutama untuk siswa dan mahasiswa.

Ini karena isi di dalamnya bukan hanya puisi esai, tetapi mempunyai konten yang lebih, seperti catatan-catatan kejadian alam, penjabaran kalimat yang tertuang dalam catatan kaki (dengan sumber referensi yang terpercaya), sehingga sangat layak untuk dibaca karena kaya dengan sumber referensi.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Antologi puisi esai ini sangat cocok juga untuk dijadikan referensi para guru, dosen dan para pejabat pembuat kebijakan, apalagi bagi anggota dewan perwakilan rakyat.

Baca Juga: Birdgirl Karya Mya Rose Craig: Petualangan Gadis Burung Mencari Makna Hidup

Bahkan karya-karya puisi esai pun sudah merambah ke dunia akademis, baik sebagai bahan kajian ilmiah maupun sebagai bagian dari materi ajar di sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Ada enam penyair tersebut adalah : Ana Ratri Wahyuni, Dhenok Kristianti, Genthong H.S.A., Isti Nugroho, Listyaning Aryanti, Otto Sukatno C.R.

Dalam dunia perpuisian, tak hanya relasi manusia dengan Sang Pencipta dan relasi antar manusia yang menjadi objek proses kreatif penyair.

Menuliskan puisi-puisinya yang merepresentasikan cerminan dari kegelisahan penyair dengan penguasa negeri ini, birokrasi, hukum dengan semena-mena dan ketidak adilan aturan sepihak dan atau penyair dengan manusia dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan kaki, mengawinkan fakta dan fiksi.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Hasil Liga 1: Rekor Kemenangan Berlanjut, Borneo FC Taklukkan Persis Solo

Dalam buku setebal 159 itu adalah media untuk mempermudah pembaca agar tidak salah tafsir dalam memaknai karya 6 penyair dalam puisi esainya.

Buku ini dimulai dengan sambutan pengantar yang sangat menarik bersinergi dengan karya-karya para penyair-penyair yang telah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis dan dituliskan pengertian dan makna dari puisi itu sendiri pada kata pengantar, kemudian dilanjutkan dengan prawacana serta puisi-puisi esai dari masing-masing penyair.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Buku ini dimulai dengan sambutan dari pengantar yang sangat menarik F. Bambang Kusumo, M.A. MELIPAT WAKTU, MEMBUKA INGATAN: JEJAK MELANCHOLIA SEBUAH KOTA, dituliskan pengertian dan makna dari Dunia telah dilipat.

Ruang dan waktu yang dulu jemawa menjadi penentu hidup sosio-kultural kita, kini telah terlipat oleh teknologi informasi.

Baca Juga: Renungan dari Dr. dr. Muzal Kadim, Sp.A : Jalan pagi

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Ruang dan waktu lumer dan menihilkan batas-batas. Hidup sosial kita pun berubah menjadi horison, sesuatu yang tampak berbatas, sekaligus tanpa batas.

Namun, melampaui kaki langit ruang-waktu, tersimpan tegangan dan persoalan, dari cara kerja otak manusia sampai tingkah laku manusia. Inilah yang telah lama dibidik dan diungkapkan oleh Ulrich Beck (1992).

Lebih konkret, proses evolusi menuju peradaban kota tentu menyimpan persoalan-persoalan di aras individual dan struktur. Dengan demikian, konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas menciptakan impak-impak yang tak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Risiko adalah kata kunci yang mendeskripsikan proses kerusakan dan biaya. Beck dalam bukunya “Risikogesellschaft: Auf dem Weg in eine andere Moderne” –Masyarakat Risiko: Jalan Melampaui Modernitas (1986) menyebut proses modernitas semacam itu sebagai “masyarakat risiko”.

Baca Juga: Hasil Liga 1: Persita Tangerang Menang Duel Lawan Bhayangkara FC, Hujan Gol di Wibawa Mukti

Individuasi adalah proses sosial yang tak terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Kesementaraan ruang dan waktu yang menjadi-jadi, sebuah masyarakat likuid (liquid society) ketika struktur demikian cair, labil dan senantiasa bergerak dinamis, adalah realita hidup kita sekarang.

Lebih jauh Ulrich Beck mewanti-wanti bahwa masyarakat likuid, masyarakat pascamodern ini, berpotensi mencipta risiko-risiko: 1) risiko struktur ketimpangan yang kian menguat, berujud ketimpangan global, nasional, maupun regional;

2) akibat lanjutan, terjadi peningkatan risiko keamanan dan responnya. Fenomena terjadinya radikalisme dan terorisme merupakan contoh;

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Baca Juga: Jadwal Liga 1: Duel PSM Makassar vs Persib Bandung Disiarkan Indosiar dan Vidio Senin Malam

3) risiko peningkatan kerusakan lingkungan. Di dalam tiga risiko tersebut, sesungguhnya kita melihat bagaimana risiko-risiko lain bermunculan dan beroperasi, saat konflik dan persoalan sosial menjadi semakin menguat.

Demikian Pengantar F. Bambang Kusumo, M.A. (Dekan Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta). juga menjelaskan isi dari keseluruhan puisi yang terdapat dalam buku dengan singkat dan padat namun tetap dapat dimengerti pembaca.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Kumpulan puisi pada buku ini, menampilkan pemikiran kritis terhadap modernisasi dan implikasi dari pasar bebas praktek ekonomi kapitalis dengan mengembangkan pemikiran postmodern.

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Ana Ratri Wahyuni berjudul "Kudengar Kota Itu Terpelajar" (Jarik Simbok ) 1 ini mengangkat kisah dan mengulas mengenai kesenjangan sosial.

Baca Juga: Kapal Perang AS Berlayar Melalui Selat Taiwan, Pertama Kali Sejak Ketegangan Pelosi vs China

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Yogyakarta disebut sebagai daerah istimewa sebutan membanggakan untuk kota ini, antara lain Kota Budaya, Kota Seniman, Kota Gudeg, Kota Museum, Kota Batik, City of Tolerant, dan Kota Pendidikan.

Sayangnya hiruk-pikuk semua kegiatan tersebut tak selalu dimengerti oleh semua orang, bahkan oleh penduduk asli kota ini yang setiap hari melihat [bukan membaca] baliho dan spanduk-spanduk itu.

Sariyem, buruh gendong Pasar Beringharjo, lahir sebagai perempuan asli Kulon Progo. Pendidikan rendah Sariyem dan suaminya, bahkan menurun ke anak keturunannya, seolah kutukan abadi yang harus disandang bersama ratusan warga lain.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Hanya pasar Beringharjo yang secara historis dan filosofis tidak bisa dipisahkan dari Keraton Ngayogyakarta itu yang menjadi ‘sawah’ sekaligus masa depannya.

Baca Juga: Jadwal Liga 1: RANS Nusantara FC Lawan Barito Putera Disiarkan Layanan Streaming Vidio Senin Sore

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Dhenok Kristianti berjudul Dalam Belitan Selendang (Tembang Megatruh untuk Sari), mengisahkan kebejatan moral dan kerusakan moral tentang berita-berita ‘kurang sedap’ yang terjadi di Yogyakarta.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Budaya adiluhung yang secara turun-temurun telah menjadi jiwa masyarakat tersebut, di zaman globalisasi ini mengalami banyak perubahan.

Nampaknya ‘gempuran’ modernisasi mengubah pola perilaku masyarakatnya, sehingga pada tahun-tahun terakhir (2013 hingga 2017) Yogyakarta dikabarkan menjadi ‘surga’ aborsi, menduduki peringkat teratas dalam penyalahgunaan narkoba, dan perilaku ‘kumpul kebo’ marak di rumah-rumah kos mahasiswa.

Pada 5 September 2017 yang lalu, misalnya, masyarakat Yogyakarta kembali digemparkan oleh berita pengguguran bayi yang dilakukan seorang mahasiswi di kamar kos dan bayinya dimasukkan ke dalam almari.

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Baca Juga: Jadwal Liga 1: Dewa United Melawan PSIS Semarang Disiarkan Indosiar dan Vidio Senin Sore

Peristiwa yang memprihatinkan itu bertolak-belakang dengan moralitas ajaran/ falsafah Jawa yang selama ini menjiwai kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Genthong H.S.A. berjudul "Begjo, Pasir Melimpah Pasir Bertuah" mengangkat kisah Begjo si penambang pasir, penambang tanpa surat izin hitam di atas putih.

Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat

Ia mempunyai anak istri, yang setiap hari harus ia hidupi. Sekian lama Begjo dan kawan-kawan sedusun bekerja sebagai penambang pasir yang merupakan berkah dari letusan Gunung Merapi.

Sayangnya, kegiatan mereka dalam mengais rezeki pemberian alam ini terusik oleh kedatangan para penambang pasir ilegal yang menambang dengan peralatan berat. Mereka mengeduk dengan rakus, sehingga merusak lingkungan dan membuat penambangan pasir tak lagi aman.

Baca Juga: Hasil Liga Italia: AC Milan Bungkam Bologna 2 - 0 di San Siro

Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan

Puisi esai ini menguak ketidakadilan dan kerakusan manusia, terutama justru dari kalangan para ‘cukong’ yang mampu membayar para gali, yang dengan semena-mena melibas rakyat miskin di kaki Gunung Merapi.

Dengan gaya satir, Genthong mampu menguak sikap hidup dua golongan masyarakat yang berbeda.

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Isti Nugroho berjudul "Pembayun." Puisi esai ini menampilkan tokoh imajiner Ayun, panggilan akrab Pembayun.

Baca Juga: Syafrin Liputo: DKI Jakarta Bebas Kendaraan Bermotor Malam Natal dan Tahun Baru di Jalan Sudirman-MH Thamrin

Ia perempuan, pewaris kerajaan bisnis orang tuanya. Di luar kesibukannya, Ayun memiliki ketertarikan pada bidang sejarah dan budaya. Dari kegemarannya mempelajari buku-buku sejarah, ia mengenal dua orang dengan nama Pembayun.

Tiga sosok Pembayun ini secara ‘ajaib’ memiliki kesamaan. Pembayun Senopati berperan mengekalkan kekuasaan ayahandanya; Pembayun putri Raja Yogya akan naik takhta; dan Ayun, tokoh imajiner akan memimpin perusahaan Samudra Hindia Raya, warisan orang tuanya.

Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain, Head to Head dan Tebak Skor Borussia Dortmund Melawan Hoffenheim

Baca Juga: Taman Mini Indonesia Indah Gelar Konser Musik untuk Natal dan Tahun Baru

Melalui sudut pandang tokoh imajiner Ayun, diungkapkan persoalan-persoalan sosial dan budaya, terutama yang berkaitan dengan masalah gender tentang kepemimpinan dan peranan perempuan di ranah kekuasaan.

Pembayun Senopati, misalnya, ia berhasil melanggengkan kekuasaan ayahandanya dengan mengorbankan cintanya kepada Ki Ageng Mangir.

Persoalan kedua yang ditampilkan adalah masalah budaya di Kota Yogyakarta dewasa ini. Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Bawono yang secara otomatis menjadi gubernur.

Baca Juga: Dinas Kesehatan: Pengidap COVID 19 di Jakarta Mencapai 200 Kasus per Hari

Selama ini Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak mengalami persoalan yang meresahkan masyarakat tentang kepemimpinan.

Baca Juga: Jadwal Liga Jerman: Borussia Dortmund vs Hoffenheim

Namun demikian, diprediksi ketenangan itu akan terusik apabila putri Sultan Hamengku Bawono X, yang lahir dengan nama Nurmala Sari, lalu menjadi Raden Ayu Pembayun dan kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi (GKR Mangkubumi), menggantikan ayahandanya menjadi raja.

Baca Juga: Relawan Santri Muda Garut Dukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD

Siapa pun yang menjadi raja Yogya, otomatis akan menjadi Gubernur DIY. Ini diperkirakan akan menyulut persoalan besar sebab bertabrakan dengan budaya patriarki yang dijunjung tinggi.

Kecuali itu, bisa jadi masalahnya akan berkembang pada soal ekonomi yang sensitif.

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Listyaning Aryanti berjudul "Bisikan dari Pantai Selatan Memanggilnya Pulang" mengangkat kisah Kehidupan masyarakat Gunungkidul sarat dengan kesederhanaan dan kedamaian.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Ikut Kirab Budaya Nitilaku UGM  Yogyakarta

Baca Juga: Jadwal Liga Jerman: Borussia Dortmund vs Hoffenheim

Tetapi ada kalanya harus digemparkan dengan kejadian bunuh diri warganya yang mengusik ketenangan. Kasus bunuh diri yang banyak terjadi di wilayah tersebut dipicu oleh barbagai faktor yang hingga kini masih menjadi sorotan dan misteri.

Kejadian bunuh diri ini sering disertai mitos munculnya penampakan bola api di malam hari yang disebut pulung gantung.

Baca Juga: Buruh Rokok di Kudus Deklrasi Dukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka

Menurut mitos yang beredar di tengah masyarakat, rumah yang ‘didatangi’ pulung gantung akan menyebabkan salah seorang penghuninya ‘tersihir’ untuk melakukan bunuh diri dengan cara menggantung, terjun ke laut, terjun ke dalam luweng (gua tanah), atau pun cara yang lain.

Kasus bunuh diri ini menjadi begitu misterius karena hanya korbanlah yang sesungguhnya tahu motif tindakannya dan biasanya hal ini tetap menjadi rahasia karena pelaku bunuh diri tidak meninggalkan catatan ataupun wasiat kepada orang lain.

Baca Juga: Liverpool Bungkam Bournemouth, Roberto Firmino Rayakan 100 Gol

Baca Juga: Pesantren Lirboyo Kediri Dukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar

Liku-liku kehidupan di kawasan Gunungkidul inilah yang menjadi inspirasi penulisan puisi esai ini. Dengan tokoh rekaan suami istri Raharja dan Rahayu, pembaca diajak untuk ikut merenungkan berbagai nilai kehidupan yang terdapat di Gunungkidul, salah satu wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Otto Sukatno C.R. berjudul "Sanimin, Lelaki yang Menghardik Waktu" mengangkat kisah Sanimin adalah tokoh utama dalam puisi esai ini.

Ia dilukiskan sebagai orang gila telanjang yang beberapa tahun lalu berkeliaran di Yogyakarta. Puisi esai ini terinspirasi dari beberapa orang gila yang berkeliaran di Yogyakarta.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Neng Dara Affiah: Umat Islam tidak Punya Alasan Menolak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Di antara orang yang kehilangan ingatan itu, sosok Sanimin nampak berbeda. Ada sesuatu dari hidup, nasib, dan prinsipnya, yang tidak biasa. Hasil penelusuran, diketahui bahwa ternyata ia dulu seorang punggawa negara.

Baca Juga: Liverpool Pesta Gol Lawan Bournemouth, Roberto Firmino Bersinar di Anfield

Pada suatu hari, terjadi peristiwa yang mengubah segalanya. Saat itu ia masih muda dan sering harus meninggalkan keluarganya karena tugas. Ketika ia sedang dinas itulah, istrinya diperkosa dan dibunuh.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam Terus Berkembang

Akibatnya, ia tertekan, stres, dan gila. Puisi esai ini merupakan hasil penelusuran tentang asal-usul siapa Sanimin, prinsip-prinsip hidupnya, penyebab ia gila, dan kesetiaannya terhadap cintanya.

Kisah ini terjadi di zaman kekuasaan represif Orde Baru dan agaknya ia kini telah meninggal dunia.

Keunikan yang dapat kita temukan dalam buku puisi esai ini adalah cover puisi yang sangat menarik dengan warna biru tua dan tulisan judul kuning dan gambar wayang tokoh semar yang memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kesejukan sesuai dengan judul buku puisi esai ini yaitu “Di Balik Lipatan Waktu ” yang akan membuat orang tertarik untuk membaca buku ini.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis SATUPENA Hadirkan Neng Dara Affifah dalam Diskusi Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam

Baca Juga: Pakistan Resmikan Fregat Multiperan Buatan China untuk Seimbangkan Kekuatan Maritim di Samudera Hindia

Keunggulan buku puisi esai ini adalah, diksi dalam puisi tersebut begitu menyentuh, gaya bahasa yang di pakai pun sangat indah.

Dalam dunia perpuisian, tak hanya relasi manusia dengan Sang Pencipta dan relasi antar manusia yang menjadi objek proses kreatif penyair.

Baca Juga: Kampanye di Pelabuhan Perikanan, Nelayan Minta Gibran Bikin Aturan yang Memudahkan Penjualan Ikan

Menuliskan puisi-puisinya yang merepresentasikan cerminan dari kegelisahan penyair dengan penguasa negeri ini, birokrasi, hukum dengan semena-mena dan ketidak adilan aturan sepihak dan atau penyair dengan manusia dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan kaki, yang ditulis menggunakan bahasa yang sangat mendalam.

Sehingga, siapa pun yang membaca puisi-puisi tersebut akan merasakan perjuangan setiap tokoh yang dikisahkan dalam puisi tersebut.

Baca Juga: India akan Kerahkan Tank Ringan di Sepanjang Perbatasan China untuk Meraih Dominasi Operasional

Baca Juga: Ahmad Syahroni Nasdem: Anies Baswedan Harapan Perubahan untuk Indonesia Timur

Buku esai ini adalah pemilihan kata yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pembaca (bahasa sehari-hari) . Isi dari keseluruhan puisi ini juga bersifat realistis karena pada buku ini penulis benar-benar mengisahkan keadaan yang sering terjadi di tengah lingkungan masyarakat Indonesia.

Penggunaan kata yang tegas dan lugas menyebabkan pembaca tidak akan kesulitan dalam memahami isi puisi. Keseluruhan puisi yang disuguhi juga memiliki makna terpendam yang disembunyikan penulis di sela-sela kata.

Kelemahan dalam puisi esai ini adalah pemilihan kata kurang bisa dipahami oleh pembaca, kemudian ada beberapa kata-kata yang sulit untuk di pahami dan tidak di jelaskan dalam buku puisi ini sehingga mengharuskan pembaca untuk mencari artinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ataupun melalui internet lewat mbah google.

Baca Juga: Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Bantu Pelaku Usaha Emping Melinjo Condet Dapat Perlindungan Kekayaan Intelektual

Kelemahan berikutnya puisi esai tingkat kesulitan simbol-simbol dan metafora. Dan tingkat kesulitan menyatukan bentuk dan isi secara organis. Maka proses kreatif penyair harus terus di asah di latih secara maksimal, untuk melahirkan karya karya puisi esai yang baik dan mengesankan.

Baca Juga: Samsung Bersama Yayasan Bill and Melinda Gates Kembangkan Prototipe Reinvented Toilet

Di awal hinga akhir buku ini, pembaca akan disuguhkan dengan deretan puisi esai yang menguras emosi.

Baca Juga: Penyuluh dari Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Gencar Blusukan Menyuluh Hukum di Kalangan Pelajar Sekolah Dasar

Isi puisi yang menggambarkan kesenjangan sosial yang sedang marak terjadi di sekitar kita, dapat menghanyutkan siapa saja yang membaca sehingga, dapat merasakan keadaan yang ingin disampaikan penulis kepada para pembacanya.

Keseluruhan puisi ini juga memiliki hikmah di setiap bait yang di sampaikan, sehingga dapat menjadi modal pembelajaran bagi setiap orang yang membacanya, dan menjadi pedoman kehidupan di masa depan sehingga tidak terjadi hal yang sama di lain waktu.

Dan dengan membaca buku seri puisi akan membuat pembaca paham tentang sederetan peristiwa konflik dan sejarah yang pernah terjadi DALAM LIPATAN PERUT YOGYAKARTA tanpa melihat secara langsung.

Baca Juga: BMKG: Selasa Ini, Cuaca Jakarta Diperkirakan Cerah dan Berawan

Baca Juga: Dosen dan Karyawan American University di Washington Mogok, Menuntut Kenaikan Upah

Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan terbawa merasakan kebenaran sejarah yang membawa hikmah:

Tema-tema gugatan atas kasus yang diangkat dalam buku ini sebelumnya lebih sering dibaca secara sangat berat dalam konteks konflik sosial antara mereka yang menyebut diri sebagai pembela dan mereka yang dikatakan sebagai biang kerok.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Prabowo-Gibran Bertengger di Puncak dengan Elektabilitas 39,3 Persen, Pilpres Bisa 2 Putaran

Kritik dan narasi dalam buku ini terasa sejuk dan cerdas.melalui puisi esai dalam memotret realitas sosial, kritik-kritik dapat disampaikan dengan tegas atau tetap dapat mengalir deras tetapi tidak membuat pikiran dan perasan terbakar karena dipaparkan secara puitis..

Dalam puisi esai kritik meluncur tajam tetapi tetap enak nyaman dibaca dan renyah gurih..

Baca Juga: Pejuang Chechnya Terpecah: Ada yang Dukung Rusia, yang Lainnya Dukung Ukraina

Pemilihan pola ungkap melalui Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) , ini membuat isu yang diangkat menjadi lebih mudah dikomunikasikan kepada khalayak pembaca.

Baca Juga: Survei Ipsos: Prabowo-Gibran 42,66 Persen, Ganjar-Mahfud MD 22,95 Persen, dan Anies-Muhaimin 22,13 Persen

Apalagi diksi yang digunakan bersifat umum. Kalaupun ada istilah dan penamaan khusus yang bersifat lokal penulis sudah mencoba memberikan penjelasan atau rujukan lain pada bagian catatan kaki.

Hal ini membuat puisi-puisi dalam kumpulan ini lebih mudah dipahami, termasuk oleh para pembaca pemula. Karena, sastra pada dasarnya memang sepanjang waktu berada dalam pertentangan antara tradisi dan modernitas, antara satu genre dan genre yang lain.

Sesuai dengan situasi dan perkembangan budaya, teknologi, dan pengaruh dari berbagai faktor lain di luar karya itu sendiri.

Baca Juga: Hasil Perempat Final Piala Dunia U17 2023, Jerman Kalahkan 10 Pemain Spanyol dan Melangkah ke Semifinal

Baca Juga: Ikatan Alumni FEB Manajemen Universitas Trisakti Teken Kerja Sama dengan Monroe Consulting dan Wiranesia

Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Di samping itu, sebuah teks baru tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis. DALAM LIPATAN PERUT YOGYAKARTA..

Hal ini membuat Puisi esai Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) ini menjadi menarik untuk dibaca, apalagi bagi generasi muda yang tidak mengalami secara langsung suasana konflik tersebut.

Baca Juga: BRI Liga 1: Imbas Rusuh Suporter Gresik United, Laga Persebaya Surabaya Melawan PSIS Semarang Resmi Ditunda

Sebuah genre baru untuk generasi milenial Semoga karya ini dapat memberikan pencerahan bagi para pembaca dan menjadi sumber alternatif lain untuk pembelajaran sastra bagi generasi yang akan datang.


Kota Wisata Batu, Minggu 28 Agustus 2022
*Drs. Akaha Taufan Aminudin.***

 

Berita Terkait