DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Himpun Masukan Untuk Pembaruan Aturan Tindak Pidana Korupsi

image
Yasonna H Laoly.

ORBITINDONESIA.COM - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menghimpun masukan dari pemangku kepentingan untuk pembaruan peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pembaruan aturan dibutuhkan untuk merespon banyaknya perubahan dan perkembangan di masyarakat yang memengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Wabah Virus Lassa di Nigeria Sebabkan 156 Orang Meninggal Dalam 4 Bulan Terakhir

“Pembaharuan peraturan perundang-undangan ini, tentunya juga harus didukung komitmen dan kesungguhan dari seluruh pemangku kepentingan,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada  Konferensi Hukum Nasional, Rabu 25 Oktober 2023 di Jakarta.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dipilih Jadi Presiden Sesi Tahunan AALCO

Yasonna mengungkapkan pada tahun 2022 tercatat 597 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp42,727 triliun.

Baca Juga: Ardil Johan Kusuma: Ada Peluang PAN-Gerindra-Golkar Usung Ridwan Kamil di Pilgub DKI Jakarta

Tingginya kasus korupsi disebabkan oleh perkembangan tindakan korupsi yang semakin kompleks, modus operandi yang beragam, serta lingkup kejahatan yang semakin luas.

Kondisi ini menuntut pemerintah Indonesia untuk melakukan evaluasi terhadap penegakan hukum tipikor yang berlaku selama ini.

“Kita perlu mengidentifikasi serta memetakan hal-hal yang memerlukan pembaharuan dan perbaikan, baik pada aspek substansi pengaturan maupun kelembagaan,” ujarnya.

Baca Juga: Danrem 131/Santiago Serahkan Bantuan Bagi Pengungsi Korban Erupsi Gunung Ruang di Singkil, Kota Manado

Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Namun selama 22 tahun aturan ini berlaku, telah terjadi perubahan signifikan dalam arsitektur hukum internasional yang mempengaruhi hukum nasional di tanah air.

Salah satunya adalah Konvensi PBB menentang Korupsi atau United Nations Convention against Corruption (UNCAC), yang telah Indonesia ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun  2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003.

Baca Juga: Sekjen PBB Antonio Guterres: Situasi Rafah yang Sedang Diserang Israel Ada di Ujung Tanduk

UNCAC memperkenalkan empat jenis tindak kejahatan yang belum ada dalam peraturan nasional, yaitu penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional, memperdagangkan pengaruh, memperkaya diri secara tidak sah, dan penyuapan di sektor swasta.

“Meski belum diatur di Indonesia, sesungguhnya tindak kejahatan yang dimuat dalam UNCAC telah terjadi. Peraturan yang belum memadai akan membuat penegakan hukum terhadap korupsi menjadi sulit dilaksanakan,” tuturnya.

Pembaruan aturan tindak pidana korupsi, katanya, memerlukan kerja sama dan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, hingga akademisi.

“Setiap lembaga harus secara serius dan konsisten melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Dengan cara ini, kita dapat memangkas tindak pidana korupsi di hulu dan meringankan beban penegakan hukum di hilir,” ujarnya.

Baca Juga: Kebakaran di Jalan Piere Tendean Manado Hanguskan Lima Rumah, 25 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Yasonna pun berharap Konferensi Hukum Nasional ini bisa menghimpun pemikiran dari para pemangku kepentingan sehingga memberikan kontribusi mengenai strategi penegakan hukum tindak pidana korupsi di masa mendatang.

“Kami berharap, konferensi ini dapat memberikan arahan dan masukan yang berharga bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” katanya.

Konferensi Hukum Nasional diselenggarakan oleh Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham. Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana menuturkan Konferensi ini merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Baca Juga: Bupati Konawe Utara Terjang Banjir untuk Salurkan Bantuan Bagi Warga Terdampak di Sulawesi Tenggara

Ia menjelaskan BPHN terlibat dalam upaya pencegahan tipikor melalui dua pendekatan, yakni pendekatan regulasi dan pendekatan sosiologis.

“Pendekatan regulasi dilakukan dengan melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum tipikor. Sementara itu, pendekatan sosiologis dilakukan dengan membangun kesadaran hukum anti korupsi di masyarakat yang dilakukan oleh pejabat penyuluh hukum di BPHN,” kata Widodo. ***

Berita Terkait