DECEMBER 9, 2022
Kolom

Yudi Latif: Kekuatan Mitos

image
Yudi Latif tentang kekuatan mitos (Foto: Antara)

ORBITINDONESIA.COM - Saudaraku, Carl Gustav Jung dalam Psychology and Religion (1938) mengajukan pertanyaan retoris:

”Mengapa manusia primitif perlu berpanjang kata untuk melukiskan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa dalam alam kehidupan, seperti timbul-tenggelamnya matahari, bulan dan musim?” 

Ia percaya bahwa peristiwa alam itu dituangkan ke dalam kisah dan mitos  bukan sekadar cara untuk menjelaskannya secara fisik. Akan tetapi, ”dunia luar” itu digunakan untuk memberi pengertian terhadap ”dunia dalam”.

Baca Juga: Yudi Latif: Percaya

Jung menyatakan bahwa kekayaan simbol-simbol dari manusia primitif itu—seni, agama, mitologi—untuk ribuan tahun lamanya membantu manusia memahami misteri kehidupan. 

Dengan penjelasan itu, Jung menegaskan bahwa agama bukan hanya merupakan fenomena historis-sosiologis, tetapi juga memiliki signifikansi psikologis.

Dalam konteks ini, ia berpandangan bahwa agama sebaiknya dipahami dengan menghubungkannya dengan apa yang disebutnya sebagai ”collective unconsciousness” (ketidaksadaran kolektif), realitas psikis yang dialami bersama oleh semua manusia. 

Baca Juga: Yudi Latif: Hipotesis Ketuhanan, Diskusi Buku Return of the God Karya Stephen C. Meyer

Collective unconsciousness ini diekspresikan melalui ”archetypes”, yakni pola-pola dasar pemikiran universal, atau imaji mental yang memengaruhi perasaan dan tindakan orang.

Menghubungkan konsepnya dengan pemikiran Lévy-Bruhl, ia menegaskan bahwa kekuatan unconcious mind itu tampak pada masyarakat pra-aksara (pre-literate). Pemikiran orang-orang pra-aksara bersifat pra-logis.

Implikasinya, pemikiran pra-aksara melibatkan ”partisipasi mistikal” dari peristiwa dan ide, suatu modus pemikiran kosmologis yang menghubungkan segala entitas, yang oleh pemikiran rasional akan dipisahkan.

Baca Juga: Kilas Balik Jejak Langkah Satupena Jawa Timur Beserta Koordinatornya Akaha Taufan Aminudin

Dalam elaborasinya tentang unconscious mind yang terkandung dalam berbagai archetypes, Jung tiba pada aneka bentuk simbol dan mitos yang memadukan kisah dan spiritualitas.

Di antara yang paling penting dari bentuk-bentuk archetypes dalam sastra-lisan yang berdimensi spiritualitas ini adalah ”orang tua bijaksana, ibu bumi (earth mother), anima dan animus (aspek feminin dan maskulin dari pria dan perempuan); salib, mandala, quarternity (elemen keberempatan), pahlawan, anak Tuhan, kedirian (self), tuhan, dan persona (Jung 1964: 67).

Sejalan dengan pemikiran Jung, Mircea Eliade menegaskan bahwa seluruh studi tentang agama pada dasarnya merupakan studi tentang simbolisme.

Baca Juga: Yudi Latif: Kenangan Pemilu

Untuk memahami mitos, shamanisme, atau ritus inisiasi adalah usaha menguraikan ’struktur simbolik’ keagamaan, yang mewujud dalam pola-pola archetypes.

Lebih lanjut Eliade menyatakan bahwa seluruh ritus dan simbol keagamaan terkait dengan mitos-mitos kosmogenik tentang penciptaan dan tentang penstrukturan kosmos kehidupan dari realitas primordial atau kekacauan (Eliade, 1958, 1968).

Sebagaimana usaha agama dalam meyakinkan pemeluknya, usaha ideologi untuk menumbuhkan keyakinan warga terhadapnya juga harus menggunakan kekuatan simbolisme dan mitos.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis Satupena Akan Diskusikan tentang Abdul Hadi WM dan Sastra Sufistik

Pancasila tidak bisa diyakini dengan jalan menghapal, melainkan dengan memanfaatkan kekuatan naratif dan simbolisme estetik untuk menembus bawah sadar warga.

Keyakinan terhadap Pancasila bisa ditumbuhkan dengan memperluas ruang-ruang perjumpaan, wahana tempat emosi kolektif dikuatkan dengan berbagai upacara, ritual, simbol, nyanyian, permainan, yel-yel, dan kisah-kisah kepahlawanan yang dapat mengobarkan sentimen kolektif, yang disebut Durkheim sebagai collective effervescence. 

Pengaruh kisah (sastra, sejarah, film) terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Jamal D. Rahman: Abdul Hadi WM Adalah Muara dari Peradaban Besar Islam, India dan China

Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement.

Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, ikut bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia.

Kisah Barbie, boneka molek,  yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan (Lazar, et.al. 2006).

Baca Juga: Yudi Latif: Tata Ulang Negara

Belum lagi kalau kita bicara pengaruh yang ditimbulkan oleh karya-karya Homer, Goethe hingga Ronggo Warsito, yang memberi dampak yang luas bagi  pandangan hidup masyarakatnya masing-masing. (Edulatif, No. 44).

Oleh: Yudi Latif, penulis dan pengamat kebangsaan. ***

Sumber: Medsos WhatsApp

Berita Terkait