DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Denny JA Terima The Legend Award Memenangkan Pilpres Lima Kali Berturut-turut

image
Denny JA menerima piagam penghargaan The Legend Award dari Lembaga Prestsi Indonesia Dunia. (OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM – Tokoh survei politik Denny JA Senin 19 Februari 2024 di Jakarta memperoleh The Legend Award dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (LEPRID), karena memenangkan Pilpres lima kali berturut-turut.

“Ini bukan hanya kemenangan LSI Denny JA. Ini kemenangan gagasan yang lebih besar. Yaitu kemenangan strategi politik berbasis data. Kemenangan kampanye berbasis riset. Dan Kemenangan politik praktis yang dikawinkan dengan ilmu pengetahuan,” kata Denny JA dalam sambutanya usai menerima penghargaan.

Menurut Denny JA, ia hanya mungkin mampu mengerjakan pekerjaan luar biasa ikut memenangkan calon presiden lima kali berturut- turut (2004, 2009, 2014, 2019, 2024) karena memakai data akurat.

Baca Juga: Ungkap Alasannya Memilih Dampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024, Denny JA Masuk ke Trending Topik Indonesia di X

Data hasil dari survei opini publik yang benar secara ilmiah, katanya, ikut membantunya menyusun strategi yang efektif dan akurat, memenangkan the heart and the mind of the people.

Ia memberi contoh, pentingnya data untuk menyusun strategi.

“Jika kita ibaratkan Pemilu presiden itu film layar lebar, ada satu episode penting di sana.”

Baca Juga: Satrio Arismunandar: Era Digital Tak Cuma Hadirkan Tantangan, Tetapi Juga Peluang Baru Bagi Dunia Perbukuan

Episode itu, katanya adalah masuknya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) dari Prabowo Subianto.

“Gibran adalah the game changer.”

Di bulan Agustus 2023, ungkapnya, jauh hari sebelum putusan Mahkamah Konstitusi yang akhirnya membolehkan Gibran menjadi cawapres, LSI Denny JA sudah mengumumkan hasil survei.

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (5): Luka Itu Dia Bawa Sampai Mati

Hasilnya Prabowo yang dipasangkan dengan Gibran dapat menang, mengalahkan pasangan manapun. Ada tiga kantong besar suara yang potensial dibawa Gibran.

Pertama, pemilih yang puas kepada kinerja Jokowi, sebesar 80 persen populasi.

Kedua, pemilih mileneal ke bawah --50 persen.

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (3): Mencari Makam Nenek

Dan ketiga adalah pemilih Jawa Tengah --14 persen.

Walau pemilih Jawa Tengah lebih kecil, tapi ia strategis karena langsung membelah suara Ganjar di sana, di kandang Banteng.

“Data ini yang saya bawa ke Prabowo dan ke Jokowi. Saya yakinkan bahwa Gibran potensial membawa kemenangan jika dipasangkan dengan Prabowo.”

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2): Rara Masih Mencari Sari

Masalahnya, waktu itu Undang-Undang tentang Pemilu melarang warga negara di bawah usia 40 tahun untuk menjadi Cawapres.

Tapi Undang-Undang bisa direview karena batas usia itu tak ada di konstitusi.

Jika ada di konstitusi, ini akan jauh lebih susah karena amandemen konstitusi itu prosesnya sangat panjang.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Kehidupan Adalah Perjalanan dan Komaruddin Hidayat Adalah Seorang Peziarah

Kemudian, kataya, kritik dan hujatan pun mengalir. Dari kubu Ganjar menyerang Jokowi keras sekali. Bahkan serangan juga datang dari Megawati sendiri.

Yang terjadi, sejenis abakadabra. Elektabilitas Ganjar justru merosot.

Elektabilitas Prabowo-Gibran justru menjulang.

Baca Juga: Komaruddin Hidayat: Jika Tak Ada Catatan Tertulis, Mungkin Agama Islam Itu Penuh Dongeng-dongeng Saja

Yang sebelumnya Ganjar dan Prabowo saling mengalahkan di angka 33-35 persen. Setelah Gibran masuk menjadi Cawapres secara resmi, peta elektabilitas berubah drastis.

Prabowo-Gibran melonjak ke atas 40 persen. Ganjar- Mahfud merosot ke bawah 27 persen. Anies- Muhaimin lebih rendah lagi.

“Ketika saya mengumumkan survei itu, saya dihujat. Orang-orang terpelajar tak percaya. Gibran dihujat, kok malah naik. Ganjar yang dibela aktivis demokrasi, kok malah turun?”

Baca Juga: Denny JA: Sastra Menjadi Alat Diplomasi Anarbangsa yang Efektif, Termasuk Mendamaikan Israel dan Palestina

Mereka tak mengerti karena tak memegang data. Jika punya data tak ada yang mengejutkan soal elektabilitas itu. Segera kita tahu, itu terjadi karena eksodus. Pindahnya  mereka yang puas dengan Jokowi dari Ganjar ke Prabowo.

“Kita lihat bedanya cara pandang mereka yang tak punya data, dengan mereka yang punya data.”

Ini hanyalah contoh pentingnya politik yang dikawinkan dengan data. Menjadi presiden di hari ini, jika ingin menang Pemilu harus beradaptasi.

Baca Juga: Puisi Esai Berkembang Pesat di Malaysia, Denny JA Diterima Ketua Menteri Datuk Seri Hajiji Noor di Kota Kinabalu

“Harus berdiri lembaga survei di sebelah kanan Capres-Cawapres. Dan hadir konsultan politik di sebelah kirinya.”

“Tapi saya perlu berikan disclamer. Yang paling menentukan kemenangan adalah trio tunggal ini: Prabowo, Gibran, dan Jokowi Effect.”

“Kemudian tim kampanye di bawah Pak Rosan. Dan tim khusus di bawah Pak Bahlil.”

Baca Juga: Diskusi Satupena, Nasir Tamara: Perang Singkat Iran vs Israel Tunjukkan Gambaran tentang Cara Perang Masa Depan

Peran LSI Denny JA, katanya, lebih di belakang. Lebih untuk isu strategis.

“Sekali lagi, saya berterima penghargaan ini karena membawa pesan yang kuat, kemenangan strategi politik yang berbasiskan data dan riset. ***

Berita Terkait