DECEMBER 9, 2022
Kolom

Zikir, Energi Batin, Sastra, Lukisan, Bisnis, dan Spiritualitas Denny JA

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Ramadhani Akrom *

ORBITINDONESIA.COM - Siapakah yang tidak kenal Denny Januar Ali atau lebih populer dengan panggilan Denny JA?

Apa yang menjadi menjadi sumber energi batin Denny JA sehingga dia bisa menjalankan peranan yang begitu beragam dan menuai kisah sukses dalam semua peranan itu?

Baca Juga: Hanggoro Doso Pamungkas LSI Denny JA: Airlangga Hartarto Punya Kartu AS Untuk Cawapres

Dia tidak hanya  konsultan politik yang baru saja memproleh “The Legend Award” karena ikut memenangkan Pilpres lima kali berturut-turut.

Tidak hanya itu, dia juga aktif di dunia sastra, selaku penggagas puisi esai. Kini komunitas genre puisi itu merambah hingga ke negara-negara ASEAN.

Setiap tahun dengan biaya dari kerajaan di sana diselenggarakan Festival Puisi Esai ASEAN.

Baca Juga: LSI Denny JA: Melebarnya Jarak Elektabilitas Prabowo Melawan Ganjar

Denny juga tercatat sebagai sastrawan Indonesia yang kedua setelah Pramudya Ananta Toer yang dicalonkan  sebagai penerima hadiah Nobel Sastra.

Sekarang ini Denny JA juga memopulerkan seni lukis artificual intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini dia sudah melukis sekitar 300 lukisan AI yang dituangkannya di dalam empat buku. Lukisan ini juga menjadi genre baru dalam dunia melukis.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Dalam dunia usaha, dia juga dikenal sebagai pebisnis yang gigih. Usahanya melebar dari konsultan politik, properti, food dan beverage, sampai tambang dan trading cooking oil.

Asetnya sudah tumbuh di atas Rp1 triliun. Ini tentunya mengagumlan untuk seorang yang memulai kiprahnya  dari seorang aktivis politik di ruang seminar dan diskusi yang serius.

Dan, ini tidak banyak yang tahu, Denny  berkembang sebagai pemikir agama pasca Nurcholish Madjid akrab disapa Cak Nur yang membawa corak baru dalam pendekatan studi keagamaan.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas Prabowo-Gibran 43,3 Persen, Anies-Muhaimin 25,3 Persen, Ganjar-Mahfud 22,9 Persen

Dia juga memimpin komunitas Esoterika yang mewadahi aktivis lintas iman.

Dia yang memopulerkan frasa: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama.

Komunitas ini secara bersama-sama merayakan hari raya aneka agama seperti Islam, Kristen-Katolik, Bahai, Konghucu, sampai Brama Kumaris.

Baca Juga: LSI Denny JA: Elektabilitas Prabowo -Gibran 46,6 Persen, Pilpres Cukup Satu Putaran?

Pendeknya, dalam diri Denny JA tersimpan kreativitas  multi dimensi, multi talenta. Timbul dari mana sumber energi batinnya dalam menjalankan peranan dan aktivitas sosial yang beragam itu?

(II)

Yang publik tahu, nama Denny JA sudah sangat terkenal dalam dunia politik Indonesia. Dia tidak menerjunkan diri di kancah politik  praktis, melainkan menekunkan diri selaku seorang peneliti yang sekaligus konsultan politik.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: 66,5 Persen Pemilih di Dapil Jawa Barat 7 Bisa Dipengaruhi Politik Uang

Dia mengkhususkan diri pada survei pemenangan kontestan yang maju bertarung dalam pemilihan, baik pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati, dan walikota, atau pemilihan presiden.

Harus diakui dia seorang peneliti ulung.

Hampir sebagian besar surveinya di Pilkada tepat. Yang mengagumkan, dia ikut terlibat dalam lima survei pemilihan presiden secara langsung di era reformasi sejak 2004.

Baca Juga: LSI Denny JA: 84 Persen Pemilih Ingin Pilpres Selesai Satu Putaran

Hebatnya, semua calon presiden yang disebut akan menang ternyata berjaya. Termasuk survei Pilpres 2024, dia menyatakan Prabowo-Gibran menang ternyata sekarang terkonfirmasi menang dalam quick count, yang tampaknya, pada waktu tulisan ini dibuat, tinggal menunggu pengesahan dari KPU.

Lewat lembaga survei dan konsultan politik yang dipimpinnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dia berhasil menjadikan dirinya sebagai orang yang berpengaruh dalam politik Indonesia.

Setiap perhelatan pemilihan politik langsung Denny JA dan LSI selalu menjadi salah satu rujukan. Tidak heran bahwa dia sudah meraih ketenaran nama dan kemapanan finansial dalam kiprahnya sebagai salah seorang tokoh nasional yang bergerak di bidang survei politik.

Baca Juga: Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran Saja? Inilah Kajian Riset LSI Denny JA

Barangkali karena kemapanan itu dia tidak lagi melulu membahas survei. Dia merambah ke banyak bidang lain.

Dia adalah penggagas dan pendiri komunitas puisi esai, puisi yang membahas suatu topik secara panjang lebar, mendalam dan intensif.

Genre puisi yang memadukan keindahan bahasa dan kelenturan intonasi dengan gaya ilmiah karena menuntut catatan kaki dan daftar pustaka. Beberapa tahun lalu, puisi esai ini sempat menjadi kontroversi. Beberapa orang sastrawan menolak dan mengkritisi.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas Prabowo-Gibran Capai 53,5 Persen, Peluang Menang Satu Putaran Saja di Pilpres Terbuka

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kritik itu melemah dengan sendirinya. Komunitas itu tetap berjalan, malah semakin intens karena makin banyak pegiatnya dan tentu saja makin banyak puisi berbentuk esai yang dibuat.

Kegiatan lain peraih gelar doktor ilmu politik dari Ohio State University itu adalah menjadi ketua umum SATUPENA yang menghimpun dan mewadahi para penulis buku. Ada lebih dari 1.000 orang dari 38 provinsi yang menjadi anggotanya.

Tujuan dari SATUPENA adalah memberi wadah dan kesempatan bagi para penulis  yang mempunyai bakat, kesenangan dan kemauan untuk menekuni dunia narasi dan ide yang dituang ke dalam sebuah buku.

Baca Juga: Ikuti Analisis LSI Denny JA tentang Hasil Pilpres 2024 Hari Ini Pukul 15.00 WIB di Zoom Meeting

Tujuan yang lain, di samping untuk mewadai para penulis agar lebih mudah menuangkan idenya juga untuk memberikan kelapangan ekonomi; suatu hal yang merupakan harapan seluruh penulis, terutama yang belum mapan.

Sejauh yang saya amati, Denny JA mengaktualisasikan dirinya melalui pikiran dan gagasan yang segar dan orisinil.

Orang boleh saja tidak suka atau mengecam alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu –dan itu sama banyaknya dengan yang senang kepadanya--  tetapi sebagian besar mengagumi apa yang sudah diraih dan dihasilkannya.

Baca Juga: Denny JA: Ganjar Pranowo Kalah di Pilpres 2024 Karena Blunder Fatal Menyerang Jokowi

Harus dikatakan, Denny JA adalah tipe ideal (ideal type) tentang seorang yang berjuang dari bawah melawan situasi kekurangan secara ekonomi kemudian menjadi seorang yang mapan dan terkenal.

Tidak hanya itu, banyak teman semasa muda dan menderita sekarang ini mendapat manfaat ekonomi melalui sikap filantropisnya.

(III)

Baca Juga: Denny JA: Mesin Politik PSI Kurang Kuat Memanfaatkan Efek Jokowi di Pemilu 2024, Hasilnya pun Tak Signifikan

Menurut saya, hal yang kurang disinggung orang tentang sosok Denny JA adalah sikap dan perkembangan aspek religiusitasnya.

Diakui, dia seorang yang banyak teman dan bergaul dengan banyak kalangan. Hampir tidak ada elit nasional yang tidak mengetahui dan kenal siapa sosok Denny JA.

Karena itu menelaah kecendenderungan beragamanya adalah hal yang penting dan memberikan nilai akademis yang layak diketahui oleh banyak orang.

Baca Juga: Tentang Pemilu Curang, Efek Bansos, Sampai Hak Angket, Inilah Analisis Denny JA

Tidak bisa disangkal lagi dia adalah seorang muslim. Orang tuanya beragama Islam, teman-temannya pun sebagian besar beragama Islam.

Di samping menuntut ilmu di Universitas Indonesia, dia senang mengikuti kajian dan studi di luar kampus.

Sejauh yang saya ikuti, dia sering terlibat dalam kajian agama Nurcholish Madjid dan aktif dalam kelompok studi yang difasilitasi oleh tokoh modernis Islam Djohan Effendi.

Baca Juga: Ketua Umum Satupena Denny JA: Anak-anak di Mana pun Berada Berhak Membaca Buku

Yang terakhir ini terkenal sejak namanya disebut dalam biografi pemikiran Achmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam yang diterbitkan pertama kali oleh LP3ES pada tahun 1983.

Wahib, Djohan, dan Dawam Rahardjo adalah tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada di era 1960-an yang merasa resah dengan “kemujudan” pikiran di HMI dan kemudian membuat kelompok studi Limited Grup di bawah asuhan Mukti Ali, menteri agama di masa awal Soeharto.

Mereka membiasakan diri untuk berpikiran bebas dan melepaskan diri dari pengaruh politik Islam Natsir dan Masyumi yang dirasakan gagal untuk membuat Islam berjaya.

Baca Juga: Denny JA: Partai Golkar dan Gerindra Memimpin Koalisi Semi Permanen untuk Kesinambungan Kepemimpinan 20 Tahun ke Depan

Beberapa anak muda awal 1980-an, rutin berkunjung ke rumah Djohan  dan membentuk kelompok studi. Karena Djohan tinggal di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, sehingga wadah mereka itu dinamakan Kelompo Studi Proklamasi (KSP).

Denny JA pernah menjadi ketua KSP. Di sanalah dengan beberapa orang teman, mereka berdiskusi dan bertukar pikiran. Tentu saja dalam aktivitas itu ada benturan-benturan pikiran dan tingkah laku. Semuanya itu berguna untuk mengembangkan dan memperbesar intelektualitas mereka.

Bisa dipahami, seperti Djohan yang adalah mentor mereka, anak-anak muda yang bergabung dalam KSP cenderung mengakrabi pemikiran Islam yang modern dan reformis. Kelompok reformis Islam itu dipelopori oleh Cak Nur yang kecewa terhadap peran politik Islam di awal Orde Baru yang kemudian menelorkan pikiran tentang sekularisasi politik bahwa “politik tidak selayaknya dikaitkan dengan agama”.

Baca Juga: Denny JA: Ucapan Selamat dari Pemimpin Dunia kepada Prabowo adalah Bentuk Pengakuan kepada Science di Pilpres 2024

Agama akan kehilangan dimensi kesucian jika terus dikaitkan dengan politik. Karena itu perlu disosialisasikan: Islam Yes, Politik Islam No.”

Seperti diketahui sekularisasi politik Cak Nur itu menimbulkan kontroversi dan kehebohan yang sampai sekarang masih menyisakan residunya, walau kecil.

Barangkali bisa dikatakan meredupnya politik Islam sekarang adalah akibat dari kampanye Cak Nur yang berhasil. 

Baca Juga: Denny JA: Satu Islam, Dua Jadwal Puasa, Dua Jadwal Idul Fitri: Perlunya Kalender Hijriah

(IV)

Pulang dari Amerika seusai meraih gekar doktor dari Ohio State University, Columbus, Denny JA membutuhkan beberapa waktu untuk menjadi surveyor politik terkenal.

Itu pun didorong oleh situasi politik yang berubah, berupa penerapan pemilihan langsung dalam sistem politik  reformasi yang berbeda dengan era Orde Baru.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA yang Dipimpin Denny JA Bangun Ruang Baca untuk Anak

Pemilihan presiden langsung diterapkan pada 2004, sedangkan pemilihan kepala daerah langsung dilakukan setahun setelahnya yaitu 2005.

Denny JA memanfaatkan perubahan politik itu. 

Dia langsung menjadi salah seorang tokoh surveyor politik disegani yang tentunya memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar.

Baca Juga: Denny JA tentang Puisi Menyelamatkanku

Sejalan dengan popularitas yang besar itu, Denny JA juga mengembangkan kecenderungan religiusitasnya. Secara bahasa kata itu berarti tingkat ketaatan beragama seorang pemeluk atas perintah-perintah agama yang diyakininya.

Sebagaimana diketahui, Denny JA adalah seorang muslim. Dia sudah beberapa kali menjalankan ibadah umroh ke Mekkah dan Madinah. Maka tidak layak kita meragukan agama yang dipeluk dan dipercayainya.

Kalau boleh dibuat kategori, agama Denny JA penuh dengan sikap moderat. Baginya, agama adalah urusan pribadi yang tidak perlu diumbar dalam bentuk ketaatan yang dipamerkan.

Baca Juga: Tadarus Puisi Ramadhan, Denny JA: Sebagian Peran Ulama, Pendeta, dan Bhikku akan Diganti oleh Atificial Intelligence

Moderasi agamanya itu bisa dirunut dari orang tuanya yang bukan pemuka agama, jenjang pendidikannya sepenuhnya sekuler dari seolah dasar sampai perguruan tinggi bahwa sampai sekolah ke Amerika.

Gurunya Djohan Effendi yang juga modernis bukan tamatan pesantren dan pergaulannya dengan sesama Islam moderat. 

Semua itu ditambah dengan bacaannya yang sepenuhnya tanpa pretensi agama.

Bagi Denny JA, untuk tetap menjadi aktual, agama harus sesuai atau mengikuti pekembangan ilmu pengetahuan. Dalam buku pendeknya yang diterbitkan pada 2000, Spirituality  of Happiness (SOH):  Spiritualitas Baru Abad ke-21, dia menyatakan, agama pada mulanya penuh dengan mitos dan takhayul.

Dunia modern tidak lagi bisa diyakinkan dengan agama seperti itu. Perlu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern yang terus berkembang.

Problem zaman kita sekarang, demikian Denny JA,  adalah mitologi dan agama sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan era moderen atau era post-modern.

Atau kalau pun mampu, jawaban itu terasa usang, kuno dan tidak lagi sesuai kebutuhan.

Narasi yang dikembangkan terasa out of date dan tidak memberi solusi terhadap kebutuhan manusia yang berubah dengan cepat, kadangkala sangat cepat.

Di samping itu, begitu argumentaso dia dalam SOH, agama juga terlalu banyak dan beragam.

Menurut data yang disodorkannya (dan itu disebutnya berkali-kali dalam buku tersebut) ada 4.300 agama di dunia di dalam 195 negara dan 6.500 ragam bahasa.

Manusia di bumi ini mayoritas pemeluk dua agama yaitu Kristen dan Islam.

Sebanyak sekitar 55 persen manusia adalahn penganut kedua agama itu. Tetapi di situlah masalahnya, walaupun merasa berasal dari satu rumpun yang sama yaitu agama langit (samawi) bersama dengan Yahudi, kedua agama itu tidak pernah akur dan sejalan, baik dalam sejarah maupun keyakinan (dogma).

Perang besar seringkali terjadi baik karena perbedaan kepercayaan, hegemoni politik maupun ambisi perluasan wilayah.

Mengutip Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, Denny JA menyebutkan, manusia modern sekarang ini adalah kelanjutan yang berkesimbangun dari homo sapiens.

Dalam 200.000 tahun perjalanan sejarahnya, homo sapiens mengalami evolusi tiga narasi besar yang berhubungan dengan spiritualismenya.

Yaitu narasi mitologi, narasi agama, dan narasi ilmu pengetahuan.

Narasi itu muncul karena manusia mencari jawaban atas pengalaman hidup yang mereka alami tetapi berada di luar jangkauan nalar dan pemikirannya.

Oleh karena itu, manusia memerlukan Spiritualitas Baru.

Mengapa manusia moderen membutuhkannya?

Denny JA memberikan jawabannya. Era mitologi dan agama telah menyebabkan begitu banyak narasi yang memengaruhi manusia yang menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.

Mitologi dan agama telah menyebabkan munculnya 4.300 agama dalam 195 negara dan 6.500 ragam bahasa. Semua mengklaim bahwa mereka membawa kebenaran tunggal dan pasti. Tetapi, dengan jelas terlihat bahwa semuanya itu tidak bisa didamaikan.

Peperangan, perselisihan, dan benturan seringkali terjadi. Ini menyebabkan dunia bergejolak terus-menerus. Kepercayaan dan agama yang terlalu banyak dengan klaim kebenaran tunggal yang bertentangan itulah membuat situasi konflik terus-menerus dan melelahkan kemanusiaan.

Denny JA mencatat, mitologi dan agama pada hakikatnya berkesinambungan hampir sama eksistensinya. Mitos muncul atas ketidakberdayaan manusia melihat fenomena alam yang dirasakan berada di luar akal yang sekaligus membahayakan dan mengancam.

Lalu, dibuatlah narasi tentang dewa-dewa atau alam yang mempunyai kekuatan memaksa dan menghancurkan. Pada periode Mitos itulah manusia berevolusi menyembah batu-batuan, gunung, ular pithon atau buaya dan lain-lain.

Evolusi spiritual manusia selanjutnya adalah periode narasi agama.

Dimulai dari Zoroasther sebagai monotheisme tertua yang dilanjutkan oleh Yudaisme, Kristen, dan Islam.

Di sinilah manusia menemukan konsep Tuhan yang Serba Maha, yang sangat berkuasa, yang menentukan hitam-putihnya hidup manusia. Tuhan yang garang, bengis, maha menghukum dan mengatur (authoritarian god). Sampai pakaian perempuan diatur oleh Tuhan.

Untuk kepentingan memperkenalkan Tuhan kepada manusia, diperlukan perantara yang dikenal sebagai Nabi atau Rasul.

Sejarah mencatat, begitu banyak Nabi dan Rasul. Anehnya, sumber informasi tentang Nabi dan Rasul hanya satu, yaitu kitab suci Yahudi dan Kristen (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).

Al Quran yang datang sekitar 600 tahun setelah kitab Kristen, nampaknya mengulang informasi yang sama. Sayangnya, ketiga agama itu saling berperang dan menumpahkan darah sampai sekarang ini.

Dunia, katanya, memerlukan spiritualitas baru yang merangkum semua agama itu dalam kasih sayang. Sebuah fakta yang makin memungkinkan menerapkan spiritualitas baru adalah manusia yang tidak berafiliasi pada sebuah agama sekarang ini jumlahnya sangat besar.

Agama terbesar memang masih dipegang oleh Kristen yang disusul oleh Islam. Tetapi, manusia yang tidak merasa sebagai umat satu agama (non affiliated) menduduki posisi ketiga. Jumlah yang sangat besar ini perlu diwadahi agar bisa menjadi tenang dan damai di dalam situasi dunia yang bergolak dan rusuh ini.

Manusia, tambahnya membutuhkan spiritualitas baru.

Barang apakah yang ditawarkan Denny JA itu?

Dalam narasinya, Denny JA menyebutkan, spiritual baru itu tidak menggantikan peran agama tetapi cuma mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh agama yang banyak itu.

Manusia, kata Denny JA, masih membutuhkan ketenangan dan kontemplasi. Apapun agamanya, bahkan yang tidak beragama sekali pun, manusia mempunyai tempat di otaknya untuk merenung dan memakna sisi transendental.

Secara ilmiah, tempat itu disebut Parietal Cortex, yaitu bagian otak yang bisa memberikan ketenangan pada waktu manusia membutuhkan sandaran dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan.

Spiritual baru ini, katanya, masih membutuhkan Tuhan sebagai tempat untuk bersandar dan mencari ketenangan jiwa. Bukan Tuhan yang Maha Menghukum dan Maha Menentukan hidup manusia yang bercitra mengerikan dan menakutkan (authoritarian god).

Yang dibutuhkan adalah Tuhan yang penuh kasih sayang, yang memberi perlindungan, Mahalembut, Pemaaf dan Memaklumi kekurangan dan kelemahan manusia (benevolent god).

Bagaimanakah untuk mencapai dan mempraktikkan spiritualitas baru itu?

Denny JA menawarkan pembacanya menerapkan secara konsistensi dan kontinyu lima tingkah laku baik, yang diringkasnya dalam konsep 3P+2S: Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning, dan Spiritual Blue Diamond.

Yang terakhir dibagi lagi dalam tiga topik, yaitu Golden Rule, Power Giving, dan Oneness.

Harus diakui, Denny JA banyak mengutip Jalaluddin Rumi (1207-1273) penyair sufi besar Persia yang hidup di Konya, Turki.

Seperti Rumi, Denny JA mengakui bahwa pada akhirnya harta, pangkat, jabatan tidak membawa kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan itu ada di hati.

Tumbuhkan cinta di hatimu, maka Tuhan akan bersemayam di sana. Kebahagian itu muncul dari diri yang menerapkan spiritualitas baru dengan prinsip 3P+2 S.

Sebagai bentuk konsistensi dengan prinsip agama harus sesuai ilmu pengetahuan, akhir-akhir ini dalam banyak tulisan Denny JA menyitir kehebatan AI.

Arti harfiahnya adalah kecerdasan buatan yang merujuk pada kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal benar, untuk belajar dari data tersebut dan menggunakan pembelajarannya guna mencapai dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel.

Ketika member pidato dalam acara Tadarus Puisi Ramadhan di Jakarta, 15 Maret 2024, Denny JA menyatakan kekagumannya kepada AI tersebut. 

Dengan AI, agama bisa dijelaskan dengan lebih baik. Di Jerman, Arab Saudi, dan India, yang berkaitan dengan agama Kristen, Islam dan Budha, orang bisa mendapat informasi lebih akurat dan jelas tentang agamanya sendiri. Tidak perlu pemuka agama yang menjelaskan.

Cukup membuka komputer dan menghubungi AI. Apa saja informasi yang dibutuhkan tentang agama bisa diperoleh dengan lebih baik.

Itulah spiritulitas Denny JA. Seorang muslim yang mengembangkan sikap agama yang penuh dengan cinta kasih.

Dia adalah pengikut Rumi yang sebagai seorang muslim mengembangkan rasa cinta dalam agama. Sebagai pengagum Rumi, dia sudah datang ke Turki menelusuri jejak sufi besar yang sangat terkenal itu.

“Rumi adalah fenomena yang menarik di mana setelah 800 tahun kematiannya, dia tetap digemari dan diikuti oleh dunia, terutama di Barat. Sebuah hal yang mencengangkan, di Amerika di mana Islamopobia berkembang kuat, berdasarkan penilitian, buku Rumi adalah yang paling banyak dibaca orang. Itu karena Rumi mengembangkan pikiran agama yang cinta damai, bukan yang penuh kebencian dan kekerasan,” demikian Denny JA.

(V)

Sebagai penutup, perlu juga disinggung bahwa energi batin Denny JA dia peroleha melalui kebiasaan berzikir yang rutin dilakukannya. Kebiasaan itu sudah mentradisi dalam dirinya.

Dia menyatakan hal itu ketika penulis bertanya kepadanya. Kapan dan di manapun, dia selalu menyempatkan diri untuk berzikir.

Dengan berzikir, katanya, dia membuka batinnya untuk menerima energi semesta dari Yang Maha Tinggi.

Uniknya lagi, dia tidak mengikuti pola zikir secara konvensional. Dia cukup mengheningkan diri dan membayangkan energi semesta turun dari langit membanjiri batinnya.

Dia mengakui seringkali menangis dalam menikmati suasana zikirnya itu. Itulah sisi unik religiusitas Denny JA yang diakuinya menjadi sumber kekuatan utama  batinnya. ***

*Ramadhani Akrom, pengamat sosial keagamaan, mantan wartawan tinggal di Depok.

Berita Terkait