Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi Denny JA: Kemandirian Energi adalah Keharusan

ORBITINDONESIA.COM - “Jika tak ada penemuan lahan minyak baru, tak akan ada kemandirian energi. No Discovey, No Sovereignty.”

Hari ini, Indonesia memproduksi sekitar 600 ribu barel minyak per hari.

Sedangkan kebutuhan riil nasional mencapai 1,2 sampai 1,4 juta barel per hari.

Artinya, sekitar 40 persen—bahkan lebih—masih bergantung dari impor.

Bila terjadi gejolak global, ketahanan energi nasional bisa terguncang.

“Harus ada penemuan lahan minyak baru, untuk mengurangi impor itu,” kata Denny JA, selaku Komisaris Utama dalam perkenalan pengurus baru Pertamina Hulu Energi di Jakarta, Kamis 10 Juli 2025.

Acara tersebut turut dihadiri oleh Direktur Utama Pertamina Hulu Energi Awang Lazuardi, jajaran direksi, komisaris, serta pekerja.

Ini sebuah momentum untuk menyatukan semangat dan visi baru dalam mengelola energi bangsa.

Denny JA menekankan bahwa kata “mandiri” bukan sekadar slogan pembangunan, melainkan menyangkut daya hidup suatu bangsa.

“Kemandirian—itulah kata kunci. Mandiri ekonomi. Mandiri pangan. Dan yang paling relevan bagi kita di sini: mandiri energi.”

Gagasan ini, menurut Denny, selaras arahan Presiden Prabowo Subianto, yang berulang kali menegaskan pentingnya ketahanan dan kemandirian nasional sebagai fondasi strategis pembangunan Indonesia.

Di tengah dinamika geopolitik dan fluktuasi harga energi dunia, kata Denny, kemandirian energi bukan lagi opsi, tetapi telah menjadi keharusan kebijakan.

Tanpa itu, katanya, bangsa ini akan terus dalam posisi rentan—mudah digoyahkan oleh krisis eksternal.

Denny JA menyampaikan kekhawatirannya terhadap tren jangka panjang produksi minyak dan gas nasional. Pada era 1970-an, Indonesia memproduksi sampai 1,2 juta barel per hari. Hari ini, angka tersebut turun setengahnya—sebuah kemunduran signifikan dalam 50 tahun.

Di tempat lain, katanya, negara-negara lainnya terus melaju. Amerika Serikat memproduksi 12 juta barel per hari. Saudi Arabi 10 juta barel per hari. Iran (peringkat ke-10 dunia) 2,5 juta barel per hari

Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 5–20 persen dari kapasitas negara-negara tersebut.

Denny JA mengidentifikasi tiga pembeda utama antara negara yang menanjak dan negara yang stagnan:

1. Eksplorasi dan Teknologi

Negara-negara maju terus menggali potensi energi baru dan mengadopsi teknologi eksplorasi serta produksi paling mutakhir.

Tanpa penemuan lahan baru dan teknologi yang sesuai, kemandirian energi hanya akan menjadi ilusi.

2. Tata Kelola dan Transparansi

Sektor energi harus dijalankan dengan prinsip check-and-balance.

Jika dikuasai oleh oligarki yang lebih diuntungkan dari impor, maka kebocoran, inefisiensi, dan moral hazard akan menggerogoti fondasi produksi.

“Tanpa tata kelola yang sehat, produksi akan kalah oleh mafia impor.”

3. Stabilitas Kebijakan Jangka Panjang

Industri energi memerlukan arah kebijakan yang konsisten, lintas masa pemerintahan.

“Setiap ganti rezim, ganti kebijakan—itulah yang menghancurkan fondasi energi Venezuela.”

Untuk mewujudkan kemandirian energi, katanya, Indonesia perlu mengadopsi strategi komprehensif yang mencakup percepatan eksplorasi lahan migas baru, pemberian insentif fiskal bagi investor energi, serta penguatan riset dan pengembangan teknologi eksplorasi domestik.

Selain itu, tambahnya, diversifikasi sumber energi menjadi keharusan. Misalnya dengan mempercepat transisi ke energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan bioenergi, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak.

Pemerintah, katanya, juga perlu menetapkan roadmap energi nasional yang jelas, memastikan keberlanjutan kebijakan lintas sektor pemerintahan, dan membangun ekosistem tata kelola yang transparan serta akuntabel.

Kolaborasi antara pemerintah, BUMN, swasta, dan lembaga riset, katanya, harus diperkuat agar inovasi dan investasi berjalan beriringan demi ketahanan energi jangka panjang.

Denny JA menyampaikan harapan kolektif dengan sentuhan humor yang sarat makna:

“Dalam dunia Marvel, kita mengenal Fantastic Four. Itu empat tokoh yang menjaga keadilan,” katanya.

“Di sini, kami punya delapan komisaris. Bolehlah kita menyebut diri sebagai Fantastic Eight.”

“Semoga, saat masa jabatan ini usai, kita tinggalkan Pertamina Hulu Energi dalam posisi yang lebih kuat: produksi meningkat, kebijakan lebih kukuh, dan kita semua bisa meninggalkan jabatan ini dengan kepala lebih tegak.”***