Cerpen Heri Haliling: Sayur Umbud Penyambut Subuh
ORBITINDONESIA.COM - Gema takbir menyambut hari raya Iduladha bersahutan di antara masjid dan langgar desaku. Malam ini, kusaksikan emak di sudut dapur sedang mengoyaki pangkal pohon sawit. Pangkal yang montok itu bahkan lebih besar dari badan emak. Namun emak dalam setiap tebasan parangnya tak sekalipun mengeluh. Pelan dan telaten, tangan keriput dengan urat-urat timbul itu menguliti centi demi centi setiap pangkal sawit.
"Rewang bantu, Mak," kataku yang duduk memperhatikan.
"Duduklah saja. Emakmu masih kuat."
Aku tahu pasti emak akan bilang begitu. Umbud yang akan ia ambil itu seolah sebuah jiwa yang menyatu dalam tubuhnya yang senja. Memang pungkiran yang bagaimana? Nyatanya sejak aku SD sampai sekarang menjadi ASN di sebuah sekolahan, umbud sawit itulah tungganganku. Setiap hari raya, emak akan sajikan sayur umbud dengan kuah santan yang kental.
Aku ingat hal selain keletihan dan keringat adalah masa aku serta emak mencari umbud sawit di desaku, Prenggean, Kalimantan Tengah. Peluh dari perjuangan di mana tekad kebenaran dan penghambaan atas lindungan Allah bersemayam di antara tumpukan jasad korban pembantaian.
Hari ke-2, 19 Februari 2001 gelombang pasukan merah menerebas hingga ke dalam. Di desaku, pada setiap jalan, pinggiran rumah hingga pekarangan belakang aroma bangkai mayat manusia mulai menguar. Campuran amis dan busuk selaksa kabut. Tanpa pandang usia, semua jasad serupa dengan luka fatal cencang atau penggal kepala. Aku yang waktu itu sedang mengumpulkan biaya untuk masuk perguruan tinggi tak ayal mengulum cemas dengan jantung menghentak tak beraturan.
Berbeda dengan emak, dalam setiap tatakan parangnya yang menghujani pangkal kelapa, romannya tenang meski peluh membanjiri wajahnya. Entah bagaimana. Apakah itu hal yang sengaja emak kuat-kuatkan guna tak hendak ajarkan gusar? Jelasnya siang itu kami yang menguliti pelepah demi pelepah kelapa di sebuah persawahan tak luput dari sweeping pasukan itu.
Tragedi dua suku yang bersitegang menyemaikan darah di mana-mana. Bahkan padi di area sawah itu jua tak lekang tersirami cairan merah.
"Kita pulang, Mak. Pasukan itu mulai ke sini," pintaku yang sungguh ketakutan.
"Baca saja asmaul husna dan ayat kursi," bisik emak tanpa mengurangi kefokusan dalam menguliti pangkal kelapa.
"Umbud ini besok masih bisa, Mak. Tinggal dan lari saja!"
Kuluk!! Kuluk!! Kuluk!
Brass!!! Adegan kejar-kejaran seperti berburu merobek langit pagi itu. Pemilik sawah ini ambruk sekitar 500 meter dari kami. Sebuah tombak melumpuhkan disusul sapuan beringas mandau-mandau tanpa orang yang memegangnya.
"Ayo, pulang Mak!"
Emak melebarkan mata. Kode yang biasa ku terima saat aku tak menuruti kemauannya.
"Baca!"
Aku tak ada pilihan. Kubaca dengan terbalik-balik karena takut yang maha dahsyat. Pasukan itu mendekat dengan dengus napas berat dan garang. Gelang hyang menari dan berbunyi dari kaki mereka. Sekejap hening dan sungguh mustajab. Mata tajam itu mulai alih pandang. Susut lalu menjauh bersama tarian dan seruan.
"Al-Waliy (Maha Melindungi), Al-Muhaimin (Maha Pemelihara), dan As-Salam (Maha Pemberi Keselamatan)," emak menukas rendah. "Sementara ayat kursi jelas mengandung tauhid tentang tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan dan belakang sementara mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar," lanjut emak mengartikan beberapa ayatnya.
Ingatanku kembali manakala kumandang takbir mulai beranjak ke pengajian menjelang Subuh. Perempuan di depanku itu bukan sekadar pelindung. Sayur umbud buatannya bukan hanya mengandung rindu melainkan tekad dan keyakinan. Aku kucek mataku yang berair di hari Idul Adha ini. Pengorbanan emak jadikan aku sampai sekarang.
Aku sesegukan. Hingga sekelebat tangan dingin menempel pundakku.
"Sayang, apa yang kau tangiskan lagi," suara Hanifa, istriku. Aku mendongak melihat wajahnya yang pias. Ada aura bingung dan gusar.
Aku terkesiap lagi, pengajian telah menjadi suara azan. Ku raih pundak Hanifa layaknya bayi merengek minta gendong. Istriku menunduk dan mengerti. Aku membenam di pundak Hanifa. Sudut mataku yang panas menyaksikan pandangan Hanifa hanya memaku pada pojok dapur.
Di sana ada perapian usang dengan tumpukan bejana tanah liat, abu, dan kayu bakar. Idul Adha tahun lalu sosok perempuan ringkih bungkuk masih mengurai senyum dalam kungkungan kemukus kayu. Sekarang hanya sunyi dan rindu. Aku menggigil seraya berujar ke istriku.
"Sayang, kumohon buatkan sayur umbud hari ini."
-oOo-
*Heri Surahman memiliki nama pena Heri Haliling. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh (Aksara Pustaka Media, 2024), Novelet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024), dan buku kumpulan cerpen Perempuan Penggenggam Pasir (Guepedia, 2025). Adapun untuk cerita pendek, karya-karyanya telah dimuat di beberapa majalah sastra dan koran digital atau cetak. Untuk berdiskusi dengan Heri Haliling pembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, email heri.surahman17@gmail.com atau nomor WA/ E Wallet: 083104239389.***