BREAKING NEWS: Deplu AS Pecat Shahed Ghoreishi, Pejabat Urusan Pers untuk Isu Israel-Palestina

ORBITINDONESIA.COM - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (U.S. State Department) baru saja memecat Shahed Ghoreishi, seorang pejabat senior yang menjabat sebagai Press Officer untuk isu Israel-Palestina.

Pemecatan Shahed Ghoreishi ini memicu sorotan karena dianggap berkaitan langsung dengan perbedaan pandangan internal mengenai kebijakan Timur Tengah, khususnya soal perang di Gaza.

Menurut dokumen yang ditinjau Washington Post, Shahid Ghoreishi pernah merekomendasikan agar: Pemerintah AS menyampaikan belasungkawa atas wartawan yang tewas di Gaza, serta mengekspresikan penolakan terhadap pemindahan paksa warga Palestina (forced displacement).

Kedua rekomendasi ini sebenarnya tidak keluar dari koridor kebijakan resmi AS selama beberapa dekade terakhir, yang menolak pengusiran paksa Palestina dan menjunjung tinggi perlindungan terhadap wartawan di zona konflik. Namun, di tengah situasi politik saat ini, rekomendasi tersebut dianggap terlalu "menyimpang" dari garis komunikasi yang sangat pro-Israel yang sedang dijalankan pemerintahan Washington.

Para pejabat AS melihat pemecatan Ghoreishi sebagai sinyal keras: bahwa setiap komunikasi publik yang tidak sejalan dengan narasi pro-Israel akan ditekan.Bahkan, jika isi rekomendasi itu sesuai dengan prinsip-prinsip lama kebijakan luar negeri AS (misalnya mendukung solusi dua negara atau menentang pemindahan paksa). 

Sejak pecahnya perang Gaza 2023–2025, muncul banyak ketegangan dalam tubuh State Department. Ada sebagian diplomat muda yang vokal menyuarakan empati pada rakyat Palestina, sementara level senior lebih berhati-hati dan condong ke Israel.

Pemecatan ini memperlihatkan bahwa mainstream policy tetap dikontrol oleh kelompok pro-Israel, meskipun ada dissent (perbedaan pendapat) di internal birokrasi.

Kejadian ini menimbulkan chilling effect, yaitu rasa takut di kalangan pegawai: mereka enggan lagi mengusulkan atau menyampaikan pandangan alternatif. Akibatnya, proses perumusan kebijakan bisa makin sempit, karena hanya memantulkan suara yang selaras dengan garis politik pemerintah yang sedang berkuasa.

Dari perspektif luar negeri, ini memperlihatkan paradoks: AS mengaku mendukung kebebasan pers dan demokrasi, tetapi justru membungkam pandangan yang menentang pelanggaran hak asasi manusia di Gaza.

Bagi dunia Arab dan Global South, pemecatan ini bisa dipandang sebagai bukti bahwa Washington tidak netral, melainkan terlalu bias mendukung Israel meskipun harus mengorbankan prinsip yang mereka sendiri promosikan.***