Cindy Frishanti Octavia: Peran Indonesia Menuju Persatuan dan Stabilitas Timur Tengah
Oleh Cindy Frishanti Octavia, kolumnis LKBN Antara
ORBITINDONESIA.COM - Setelah Doha diserang Israel pada 9 September 2025, Qatar mengambil langkah tegas dengan menangguhkan keikutsertaan dalam proses mediasi.
Keputusan tersebut lahir dari kebutuhan mendesak untuk melindungi kedaulatan negara sekaligus mencegah potensi serangan baru yang dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Meski AS meminta Qatar untuk tetap melanjutkan peran sebagai mediator, Doha menilai tidak ada gunanya menjadi penengah apabila Israel sendiri menyerang negara mediator dan bahkan berupaya membunuh para perunding.
Situasi itu mencerminkan rapuhnya proses diplomasi di kawasan yang selama ini penuh dengan ketegangan.
Ruang baru bagi peran Indonesia
Ketegangan yang meningkat seusai serangan Israel ke Doha itu membuka ruang baru bagi Indonesia untuk mengambil peran dalam menjaga stabilitas di Timur Tengah.
Kunjungan Presiden Prabowo ke Qatar menunjukkan keseriusan Indonesia untuk memainkan peran aktif dalam isu-isu geopolitik global, khususnya yang berkaitan dengan konflik dan keamanan di Timur Tengah.
Dalam KTT Darurat di Doha, Qatar, Menteri Luar Negeri RI Sugiono menegaskan bahwa agresi Israel terhadap Qatar bukan hanya pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara, tetapi juga bentuk pelanggaran nyata terhadap hukum internasional, Piagam PBB, serta prinsip-prinsip kerja sama dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Kunjungan dan pernyataan tersebut memperlihatkan posisi tegas Indonesia dalam membela negara sahabat sekaligus menjaga tatanan hukum internasional yang menjadi dasar perdamaian global.
Solidaritas yang ditunjukkan terhadap Qatar menjadi bukti nyata dari diplomasi aktif dan respons cepat Indonesia dalam menyikapi dinamika kawasan.
Langkah itu sekaligus memperkuat legitimasi diplomatik Indonesia di mata dunia, menegaskan citra Indonesia sebagai negara yang tidak hanya fokus pada kepentingan domestik, tetapi juga peduli pada isu kemanusiaan dan perdamaian internasional.
Selain Qatar, kunjungan Prabowo ke Uni Emirat Arab (UEA) juga menghasilkan komitmen penting dalam memperkuat kerja sama bilateral, khususnya di bidang energi, investasi, dan pertahanan.
UEA, sebagai salah satu aktor utama di kawasan Teluk, memiliki pengaruh besar dalam dinamika geopolitik Timur Tengah.
Dengan menjalin komunikasi langsung dengan para pemimpin UEA, Indonesia tidak hanya memperluas jejaring diplomasi, tetapi juga menunjukkan keseriusan dalam berperan aktif menjaga stabilitas kawasan.
Kerja sama strategis tersebut diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra yang dapat dipercaya dalam isu-isu regional, termasuk dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan mendorong terciptanya perdamaian jangka panjang di Timur Tengah.
Dalam kondisi di mana Qatar memutuskan untuk menarik diri dari peran mediasi akibat agresi Israel, terbuka ruang baru bagi Indonesia untuk meningkatkan kontribusinya.
Dengan posisi Indonesia yang tidak terikat pada konflik di Timur Tengah, Indonesia memiliki modal diplomasi yang unik untuk mendorong langkah-langkah alternatif.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menggalang solidaritas melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sekaligus menjalin komunikasi dengan kekuatan global agar konflik di Timur Tengah tidak semakin melebar dan stabilitas kawasan tetap terjaga.
Dalam konteks tersebut, peran Indonesia tidak hanya sebatas jembatan antarnegara Muslim, tetapi juga sebagai pendorong lahirnya langkah kolektif yang lebih tegas.
Kehadiran Indonesia di forum-forum internasional memberi legitimasi bagi dunia Islam untuk menyuarakan sikap bersama, sekaligus memperkuat daya tawar negara-negara Muslim dalam menghadapi agresi Israel.
Menurut pengamat kajian Timur Tengah Universitas Indonesia, Syaroni Rofi’i, OKI perlu menanggapi secara konkret serangan Israel terhadap Qatar dan genosida di Palestina, misalnya dengan melakukan isolasi ekonomi terhadap Israel sebagai bentuk tekanan yang lebih efektif.
Selain itu, negara-negara Islam juga perlu mencontoh Prancis yang mendorong sebanyak mungkin negara untuk mengakui Palestina. Tndakan Prancis tersebut dapat dijadikan momentum untuk membawa Palestina menuju kemerdekaan.
Kesepakatan Abraham
Kesepakatan Abraham, atau yang lebih dikenal dengan “Abraham Accord”, merupakan kesepakatan normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab yang dimediasi oleh Amerika Serikat pada 2020, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Inti dari Abraham Accord adalah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, melakukan kerja sama ekonomi dan teknologi, memperkuat keamanan regional dengan menciptakan aliansi baru.
Namun, Palestina mengecam kesepakatan tersebut dan menyebutnya sebagai pengkhianatan karena kesepakatan itu dianggap melemahkan posisi mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menghentikan pendudukan Israel.
Terkait Abraham Accord tersebut, Syaroni menilai negara-negara Timur Tengah perlu meninjau kembali kesepakatan yang ditawarkan AS itu. Langkah kolektif negara Timur Tengah akan menjadi tekanan bagi AS untuk bertindak lebih rasional.
Abraham Accord perlu ditinjau kembali karena tidak menyelesaikan akar konflik Palestina dan Israel. Kesepakatan itu lebih berfokus pada kepentingan ekonomi dan keamanan daripada penyelesaian isu Palestina.
Selain itu, kekerasan terhadap warga Palestina di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem semakin meningkat setelah penandatangan kesepakatan tersebut, dan semakin memburuk setelah Oktober 2023, dan hingga saat ini warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel telah melampaui 65 ribu jiwa.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa normalisasi hubungan diplomatik tidak menghentikan agresi Israel, bahkan dianggap memberi legitimasi internasional bagi tindakan Israel.
Abraham Accord juga tidak secara eksplisit mendorong implementasi solusi dua negara dan penghentian pendudukan Israel yang selalu diserukan oleh PBB, sehingga kesepakatan tersebut dapat dianggap melemahkan kerangka hukum internasional yang sudah ada.
Deklarasi New York
“New York Declaration on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution” atau yang lebih dikenal sebagai Deklarasi New York, yang diinisiasi oleh Prancis dan Arab Saudi, telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 12 September 2025.
Indonesia pun menyambut dan memandang pengesahan deklarasi tersebut sebagai pengakuan yang sangat penting untuk memberikan Palestina posisi yang setara dalam proses perdamaian.
Majelis Umum PBB yang mendukung Deklarasi New York itu selaras dengan sikap Indonesia yang konsisten menyerukan implementasi resolusi internasional terkait Palestina.
Selain itu, pelaksanaan deklarasi itu dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih banyak seperti melalui rekonstruksi, pengiriman tenaga medis, dan dukungan pendidikan untuk Palestina.
Dengan mendukung Deklarasi New York, Indonesia semakin memperkuat perannya dalam isu perdamaian Timur Tengah, sekaligus memberi ruang bagi Indonesia untuk memainkan peran yang lebih besar di OKI dan Gerakan Non-Blok (GNB), serta memperkuat hubungan dengan negara Arab, termasuk Arab Saudi, Qatar, dan UEA.
Hal tersebut sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif” dan berkomitmen menjaga stabilitas kawasan serta keadilan global.
Keterlibatan Indonesia dalam mendukung Deklarasi New York menunjukkan konsistensi sikap politik luar negeri yang mendukung kemerdekaan Palestina dan komitmen terhadap perdamaian dunia.
Dengan rekam jejak diplomasi yang bebas dan aktif, Indonesia memiliki ruang untuk memperkuat solidaritas internasional, mendorong implementasi nyata dari solusi dua negara, serta memastikan upaya kolektif tersebut menghadirkan keadilan dan perdamaian yang berkelanjutan bagi Palestina dan membawa stabilitas kawasan Timur Tengah.***