Ulil Abshar Abdalla: Serangan Masif ke PBNU, Siapa Aktor-Aktor di Baliknya?
Oleh Ulil Abshar Abdalla
ORBITINDONESIA.COM - Cuplikan video dan berita berisi pernyataan saya tentang “sogokan yang halal” (yang pernah ngaji kitab fikih di pesantren, tak akan kaget dengan pernyataan saya ini), beredar masif beberapa hari terakhir, di pelbagai platform media sosial.
Sejumlah orang bertanya langsung ke saya via pesan pribadi: apa betul ini pernyataan saya. Tulisan ini saya bikin sebagai penjelasan dan kenapa cuplikan video ini beredar (kembali) saat ini.
Ini sebetulnya adalah pernyataan saya yang sudah lama. Pertanyaannya: kenapa beredar kembali secara masif hari-hari ini? Tidak mungkin peredaran ini terjadi alamiah. Pasti, dan saya punya dugaan yang kuat, ada “mesin” tertentu yang menggerakkannya. Ini semua adalah sebuah rekayasa.
Rekayasa itu bertujuan tunggal: mau menghancurkan PBNU dan sekaligus Gus Yahya. Ini semua adalah “mesin politik” untuk menggulingkan Gus Yahya sebelum muktamar NU mendatang. Polanya sudah sangat terbaca dengan jelas. Masif, terstruktur, dengan sidik jari yang mudah ditengarai.
Rekayasa ini ditempuh melalui berbagai jalan secara serentak. Saya akan petakan secara garis besar saja.
Pertama, melalui jalan kasus kuota haji. Kalau kita ikuti langkah-langkah KPK dalam mengani kasus ini, banyak keanehan, kejanggalan, dan ketidaknormalan yang menimbulkan banyak pertanyaan. Sejumlah keanehan ini sudah banyak ditulis oleh beberapa kawan, antara lain Bung Alto Luger.
Silahkan cek “tembok FB” dia. Tampak sekali KPK “memaksakan” diri untuk membangun narasi bahwa Gus Yaqut, adiknya Ketua Umum PBNU Gus Yahya, “harus” salah. Tujuan akhirnya sebetulnya bukan Gus Yaqut, melainkan Gus Yahya.
Kedua, isu Peter Berkowitz, seorang sarjana Israel dan zionis yang diundang oleh PBNU untuk mengisi akademi pengkaderan tingkat lanjut, dan kemudian diberikan kesempatan memberikan ceramah di UI. Isu ini dimanfaatkan secara “maksimal” oleh pelbagai pihak (bahkan termasuk pihak di internal NU sendiri, mungkin “bekerjasama” dengan “pihak luar”) untuk menjatuhkan Gus Yahya.
Saya sudah pernah menulis: PBNU telah mengakui salah mengundang Berkowitz dan meminta maaf. Tetapi hari-hari ini, isu ini “diorkestrasi” kembali, diolah, antara lain untuk mendesak agak Gus Yahya mundur dari Majelis Wali Amanat UI.
Ketiga, penyebaran video saya berisi pernyataan soal sogokan itu. Ini pernyataan yang sudah lama, tetapi muncul kembali hari-hari ini. Jelas ada orkestrasi terencana untuk menjatuhkan PBNU dan, “by extension”, juga Gus Yahya.
Siapa di balik orkestrasi ini? Saya tidak bisa memberikan penjelasan yang terlalu “terang” menyangkut nama dan kelompok. Itu tidak “wise”. Saya hanya memberikan gambaran umum saja. Secara garis besar, ada dua kelompok yang sedang “bermain” di balik ini semua, dan di dalam kategori kelompok ini ada sebuah partai politik. Saya tidak usah sebut namanya.
Dua kelompok itu adalah: pertama “kelompok politik”. Di sini terlibat juga sejumlah aktor perorangan dangan afiliasi politik tertentu. Mereka sedang melakukan “manuver” politik untuk menjatuhkan Gus Yahya melalui pelbagai cara. Metode yang dipakai adalah membangun opini dan narasi masif melalui pelbagai platform media sosial untuk menyerang PBNU dan sosok Gus Yahya.
Harapannya, dengan menjelek-jelekkan nama Gus Yahya, akan tergelar suasana kondusif yang bisa dimanfaatkan untuk “mendongkel” Gus Yahya. Ini semacam “perang udara” yang dilancarkan sebelum serangan darat melalui pasukan infantri dilakukan.
Kedua, “kelompok non-politik”, yaitu sejumlah pihak dan perorangan yang tidak berafiliasi dengan kelompok politik tertentu, tetapi mereka diikat oleh sebuah “ideologi dan paham keagamaan” tertentu yang memang tidak selaras dan bertentangan dengan NU.
Mereka ini mengalami kekecewaan besar di era pemerintahan Jokowi dahulu, antara lain karena yang terakhir ini, dulu, melakukan langkah-langkah politik untuk membatasi gerak kelompok-kelompok dengan ideologi kegamaan tertentu itu. Mereka, diakui atau tidak, kesal bukan main.
Sementara itu, kita tahu semua, NU mendukung langkah-langkah Jokowi dalam upaya-upaya pembatasan (antara lain dalam bentuk “pembubaran”) itu. Kekesalan mereka terarah bukan saja kepada Jokowi, melainkan kepada NU pula.
Gus Yaqut memainkan peran penting di sini karena ia, di antara seluruh menteri Jokowi, adalah salah satu “ujung tombak” untuk mendukung langkah-langkah Jokowi dalam isu-isu keagamaan. Tidak heran jika ia menjadi sasaran tembak dari serangan yang diorkestrasi oleh kelompok kedua ini.
Terakhir: kenapa saya membela Gus Yahya? Apakah dia tanpa cacat? Apakah dia pemimpin NU yang sempurna? Kalau dia layak dilengserkan karena ada “dosa-dosa” tertentu, kenapa tidak?
Jawabannya sederhana: Gus Yahya (dan sejatinya juga semua tokoh NU yang lain) bukan tokoh yang sempurna. Dia memiliki banyak kekurangan. Tetapi sebagai orang dalam yang melihat langsung dari dekat, Gus Yahya telah banyak melakukan perubahan dan perbaikan internal di tubuh NU. Dia bekerja keras untuk mengabdi kepada NU dan kemaslahatan nahdliyyin.
Tidak seperti pemimpin NU yang lain, Gus Yahya sengaja tidak banyak mengobral pernyataan ke media. Dia termasuk pemimpin NU tingkat nasional yang jarang membuat pernyataan publik. Dia nyaris menolak semua undangan wawancara oleh TV manapun.
Kalaupun harus memberikan pernyataan, Gus Yahya akan mengadakan konferensi pers dan mengundang banyak media sekaligus; dan itu ia lakukan di kantor PBNU. Dia lebih banyak bekerja di “dalam”. Salah satu langkah besar yang ia lakukan adalah pembenahan organisasi, pengkaderan, dan digitalisasi.
Itulah sebabnya, Gus Yahya tidak pernah kita kenal melalui pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Mungkin yang “kontroversial” adalah kebijakannya, dan itu mungkin hanya satu-dua saja.
Gus Yahya, sejak menjadi Ketua Umum PBNU pada Desember 2021, berjanji untuk menghentikan sama sekali profesi sebagai penceramah. Dahulu, sebelum menjadi Ketum, Gus Yahya termasuk penceramah yang lumayan laris, terutama di daerah pantura Jawa Tengah.
Sejak menjadi ketum, dia tidak mau lagi diundang sebagai penceramah. Dia mau mendedikasikan seluruh waktunya untuk NU dan PBNU. Dan ini, tentu saja, menimbulkan kekecewaan di kalangan warga NU, sebab, sejak dulu, ada tradisi: Ketua NU harus mau diundang ceramah ke daerah.
Jika ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan Gus Yahya, terbuka lebar kesempatan untuk meng-“contest” dia di muktamar mendatang. Tetapi menghentikan seorang ketua umum ormas di tengah jalan adalah “kebiasaan politik” yang buruk. Sebagaimana menghentikan presiden di tengah jalan juga langkah politik yang buruk dan berbahaya. Kita tidak boleh terjebak dalam “godaan setan politik” yang buruk semacam ini; godaan yang dalam jangka panjang akan membawa laknat.
Kepada pihak-pihak politik di luar NU yang hendak melengserkan Gus Yahya, saya katakan: Anda bisa, kalau mampu, mengajukan calon alternatif yang bersaing dengan Gus Yahya di muktamar.
Dalam percakapan terbatas di internal PBNU, Gus Yahya tidak sekali dua kali menegaskan: kalau mau mengganti saya, ya silahkan bertarung di muktamar. Tetapi jangan “kasak-kusuk” melakukan pelengseran di tengah jalan.
Membangun institusi sosial tidak mudah, tetapi merusaknya sangat gampang. Salah satu cara termudah untuk menghancurkan institusi sosial adalah dengan menempug “jalan kilat”, mengganti ketua umum di tengah jalan. Kalau ini dibiarkan, kita akan kehilangan modal sosial besar berupa lembaga keagamaan yang otonom seperti NU.
Iya, saya tahu apa yang Anda pikirkan; pasti sebagian dari anda punya “uneg-uneg jahat”: apa betul NU otonom setelah menerima konsesi tambang dari pemerintah. Ini masalah lain yang bisa didiskusikan secara terpisah.
Fakta bahwa sekarang ada “kampanye mas\sif” untuk menyerang PBNU sebetulnya salah satu pertanda: ada pihak “eksternal” yang tidak suka pada PBNU dan Gus Yahya, karena ia tidak bisa dengan mudah “disetir” pihak luar.
Sekian. ***