Catatan Denny JA: Mendengar Pidato Prabowo di PBB

- Bagaimana Agar Solusi Israel dan Palestina Saling Berdaulat Terjadi?

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Di Rafah, Gaza selatan, malam itu listrik padam total. Yusuf, bocah sembilan tahun, menyalakan lilin kecil yang diberikan ibunya.

Di sekitarnya, suara tangis anak-anak lain terdengar, berpadu dengan gemuruh jauh dari arah perbatasan.

Ibunya menatap kosong sambil berkata lirih, “Semoga besok kita masih punya roti.” Yusuf, dengan kepolosan seorang anak, hanya bertanya, “Ibu, kapan aku bisa main bola tanpa mendengar bom di langit?”

Pada waktu yang hampir bersamaan, di Tel Aviv, David—seorang ayah Yahudi—mendandani anaknya yang baru pulang latihan sepak bola.

Ia membetulkan helm kecil di kepalanya. “Kau boleh main, Nak, tapi jangan pernah jauh dari sirene peringatan. Jika berbunyi, segera lari ke bunker.”

Yusuf dan David, dua keluarga di dua kota, hidup dalam ketakutan yang sama meski mereka dipisahkan oleh narasi politik yang keras.

Kisah-kisah seperti inilah yang membentuk latar emosional ketika Prabowo Subianto, Presiden Indonesia, berdiri di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Di hadapan dunia, ia menyatakan bahwa Indonesia bersedia mengakui Israel, asalkan Israel lebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina.

-000-

Ada tiga gagasan besar dari pidato Prabowo di PBB:

1. Komitmen teguh pada solusi dua negara.

Indonesia menegaskan kembali bahwa hanya dengan keberadaan dua negara berdaulat, perdamaian sejati dapat tercapai.

2. Syarat pengakuan timbal balik.

Untuk pertama kalinya, seorang Presiden Indonesia menyatakan bahwa Indonesia akan mengakui Israel—jika Israel mengakui Palestina. Ini langkah baru dalam diplomasi Indonesia.

3. Partisipasi aktif dalam perdamaian.

Indonesia tidak hanya bersuara, tapi siap menyediakan pasukan penjaga perdamaian untuk memastikan proses berjalan.

Inilah perbedaan paling mencolok dengan sikap Indonesia sebelumnya.

Selama ini, diplomasi kita hanya menekankan dukungan penuh pada Palestina.

Prabowo menambahkan syarat timbal balik yang membuka jalan bagi pengakuan terhadap Israel.

Ini sebuah lompatan yang membuat posisi Indonesia menjadi lebih strategis dan realistis.

Faktor yang memperkuat momentum ini adalah semakin banyaknya negara Barat, termasuk Prancis, Kanada, Australia, Portugal, dan Inggris, yang kini juga mendukung kenegaraan Palestina.

-000-

Prabowo berpidato ketiga setelah pemimpin Brasil dan Amerika Serikat dalam sesi umum PBB. Sebelumnya, ia juga bicara pada konferensi khusus tentang Palestina.

Banyak isu ia singgung: solidaritas kemanusiaan, sejarah kolonialisme Indonesia, pentingnya PBB, komitmen pada perdamaian dunia (termasuk kesiapan mengirim pasukan penjaga perdamaian).

Ia juga bicara soal ketahanan pangan, perubahan iklim, energi terbarukan, dan cita-cita kemanusiaan bersama.

Namun topik yang disambut tepuk tangan meriah justru soal keadilan bagi Palestina.

Prabowo menempatkan Palestina sebagai ujian moral bagi tatanan internasional dan kredibilitas PBB.

Ia menolak doktrin kekuasaan yang menjadikan yang lemah korban permanen, seraya menegaskan bahwa keadilan tidak boleh menjadi hak istimewa negara kuat.

Dengan bingkai kemanusiaan, ia menggambarkan derita warga Gaza—kelaparan, trauma, dan kematian—sebagai keadaan yang menuntut tindakan segera, bukan sekadar retorika.

Kutipan kuncinya menekan nurani global: “Hari ini kita tidak boleh berdiam diri sementara rakyat Palestina ditolak keadilan dan legitimasi yang sama di aula ini.”

Dari sini, Prabowo menegaskan solusi dua negara sebagai jalan yang adil dan berkelanjutan: Palestina harus merdeka dan Israel harus dijamin keselamatannya.

Ia menghubungkan amanat moral itu dengan kesiapan konkret Indonesia. Sebagai salah satu kontributor pasukan penjaga perdamaian terbesar, Indonesia siap mengerahkan hingga 20.000 personel bila dimandatkan PBB.

Indonesia juga siap menyediakan dukungan dana dan bantuan pangan—dari swasembada beras hingga pasokan bagi mereka yang membutuhkan.

Pendekatan ini menampilkan Indonesia bukan sekadar penyeru, melainkan pelaksana tanggung jawab kemanusiaan.

Prinsip pendiri turut ditegaskan: PBB ada untuk menolak logika “yang kuat berbuat sesukanya, yang lemah menanggung derita.”

Karena itu, komunitas internasional harus memulihkan legitimasi hukum internasional dan martabat manusia di Palestina melalui empat lintasan:

Gencatan senjata segera dan terverifikasi; akses kemanusiaan tanpa hambatan; rekonstruksi terarah yang memulihkan layanan dasar.

Termasuk juga negosiasi politik jujur menuju pengakuan kenegaraan dan pengaturan keamanan kredibel bagi kedua pihak.

Prabowo menautkan seruan global itu dengan pengalaman Indonesia: bangsa yang pernah ditindas memahami makna keadilan dan solidaritas.

Dengan bertanya, “Bisakah kita tetap diam?” ia mendorong dunia memilih keberanian moral alih-alih cuci tangan.

Tanpa keadilan bagi Palestina, perdamaian sejati tidak akan lahir. Tanpa jaminan keamanan bagi Israel, stabilitas tidak akan bertahan.

Seruannya mengajak dua “keturunan Abraham” berdamai dan para pemimpin dunia menegakkan hukum internasional, HAM, dan kemanusiaan, agar harapan berubah menjadi realitas.

Inilah kompas moral, politik, dan agenda aksi Indonesia global.

-000-

Mendengar pidato Prabowo di PBB soal dukungan Indonesia bagi Two State Solution, saya merenung. Lalu menganalisis.

Ini tiga prasyarat yang harus ada agar solusi berdirinya negara Palestina dan Israel terjadi.

1. Pengakuan Mutual yang Legitim

Tidak ada perdamaian tanpa pengakuan. Prasyarat pertama adalah pengakuan timbal balik yang jelas, sah, dan tidak ambigu.

Israel harus mengakui Palestina sebagai negara merdeka dengan batas wilayah yang konkret—bukan sekadar otonomi administratif yang bisa ditarik kapan saja.

Sebaliknya, Palestina harus mengakui hak Israel untuk hidup damai, bebas dari ancaman pemusnahan atau pengusiran.

Saat ini, pengakuan masih satu arah: lebih dari 140 negara anggota PBB telah mengakui Palestina, tetapi Israel menolak.

Di sisi lain, Hamas dan sebagian kelompok Palestina pun masih enggan mengakui keberadaan Israel.

Padahal, pengakuan bukan hanya tanda tangan di atas kertas; ia adalah kontrak moral, jembatan kepercayaan pertama.

Dalam konteks Timur Tengah, pengakuan memiliki makna simbolik yang sangat dalam. Ia ibarat “salam perdamaian pertama” yang membuka pintu dialog.

Tanpa itu, segala perundingan hanya menjadi retorika kosong. Jika Israel berani mengakui Palestina, ia akan mengirim sinyal ke dunia Arab bahwa sejarah baru dimulai.

Jika Palestina mengakui Israel, ia akan memberi kepastian kepada rakyat Israel bahwa mimpi kehancuran tak lagi membayangi.

-000-

2. Jaminan Keamanan Internasional

Prasyarat kedua adalah jaminan keamanan internasional yang konkret. 

Konflik Israel–Palestina bukan sekadar konflik dua tetangga yang bisa diredam dengan kesepakatan lisan.

Kedua pihak telah hidup dalam siklus kekerasan lebih dari 70 tahun, dengan trauma mendalam lintas generasi.

Maka diperlukan pihak ketiga yang kuat, netral, dan kredibel.

Jaminan keamanan harus diwujudkan dalam bentuk: pasukan penjaga perdamaian di perbatasan, mekanisme monitoring gencatan senjata, serta kerangka diplomatik permanen yang dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat.

Tanpa payung internasional, pengakuan kenegaraan rawan runtuh oleh serangan sepihak atau provokasi militer.

Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dengan tradisi diplomasi damai, bisa memainkan peran penting. 

Dengan reputasi non-blok dan kepercayaan dari banyak pihak, Indonesia dapat menjadi mediator sekaligus kontributor pasukan perdamaian.

Lebih jauh, jaminan keamanan juga harus diperluas pada aspek ekonomi—misalnya konsorsium internasional yang menjamin pembangunan infrastruktur di Palestina agar negara baru itu tidak lahir dalam keterpurukan.

-000-

3. Transformasi Sosial-Budaya di Akar Rumput

Perdamaian sejati tidak lahir dari elite politik semata. Ia harus ditanam di hati rakyat.

Saat ini, anak-anak di Gaza tumbuh dengan ingatan ledakan, sementara anak-anak di Tel Aviv tumbuh dengan sirene dan bunker.

Mereka belajar mengenal “yang lain” bukan sebagai tetangga, tetapi ancaman. 

Maka, rekonsiliasi sosial harus dimulai dari pendidikan, media, dan kehidupan sehari-hari.

Kurikulum sekolah di Palestina dan Israel perlu diperbarui untuk menumbuhkan narasi koeksistensi, bukan kebencian.

Media massa harus berhenti mempropagandakan dendam kolektif, dan mulai menyiarkan kisah-kisah kemanusiaan lintas batas. 

Pertukaran budaya, olahraga, hingga kerjasama ekonomi kecil dapat menjadi jembatan.

Proses ini panjang—mungkin satu generasi penuh. Namun tanpa perubahan di akar rumput, perdamaian akan rapuh.

Sejarah Balkan menunjukkan kesepakatan elite bisa runtuh jika masyarakat masih terbelah dalam narasi kebencian.

Sebaliknya, Eropa pasca-Perang Dunia II menunjukkan rekonsiliasi bisa bertahan jika ditanam di masyarakat sejak dini.

-000-

Kondisi Saat Ini

• Pengakuan mutual: masih jauh dari terwujud. Israel menolak kenegaraan Palestina, sementara sebagian kelompok Palestina belum siap mengakui Israel.

• Jaminan keamanan internasional: belum ada mekanisme permanen yang adil bagi kedua pihak. Amerika dianggap berat sebelah; Uni Eropa terpecah; PBB sering lumpuh oleh veto.

• Transformasi sosial-budaya: trauma dan kebencian masih mendominasi. Namun benih-benih kecil—komunitas perdamaian, kolaborasi lintas agama, inisiatif sipil—bisa tumbuh jika didukung dunia.

-000-

Pidato Prabowo mengajarkan filosofi penting: berdamai adalah keberanian tertinggi. Perang adalah jalan instingtif—mudah, emosional, penuh dendam. 

Perdamaian adalah pilihan sulit, karena menuntut keberanian mengakui musuh sebagai sesama manusia.

Indonesia, dengan sejarah pluralisme dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, hadir di PBB sebagai suara moral.

Suara yang berkata: kenegaraan bukan hanya soal bendera, tetapi soal kesempatan anak-anak hidup tanpa ketakutan.

Saya kembali membayangkan Yusuf di Gaza dan David di Tel Aviv. Dua anak, dua bola, dua mimpi sederhana: bermain di lapangan tanpa suara sirene.

Sejarah kini menunggu: apakah dunia memilih menunda perdamaian, atau berani menuliskan bab baru Timur Tengah?

Pidato Prabowo di PBB menyalakan obor. Obor itu bisa padam oleh apatisme, atau menjadi api yang menerangi jalan panjang menuju perdamaian abadi.

Perdamaian sejati bukan hadiah elite politik. Ia adalah hak dasar anak-anak yang ingin berlari bebas tanpa bunker.

Dukungan konkret Indonesia bisa diwujudkan melalui program Peace Education lintas Israel-Palestina. Misalnya melatih guru dan aktivis pemuda untuk mengajarkan nilai rekonsiliasi.

Dengan mengadopsi model Seeds of Peace, Jakarta dapat menjadi katalis transformasi sosial—mengubah narasi kebencian menjadi kurikulum harian yang menumbuhkan empati lintas generasi.

Jika suatu hari Yusuf dan David bisa bermain bola di lapangan yang sama, tanpa tembok pemisah, maka kita tahu: pidato di PBB bukan sekadar kata-kata, tetapi awal sejarah baru umat manusia.*

Jakarta, 24 September 2025

Referensi

1. Rashid Khalidi, The Hundred Years’ War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017 (Metropolitan Books, 2020).

2. Shlomo Ben-Ami, Scars of War, Wounds of Peace: The Israeli-Arab Tragedy (Oxford University Press, 2006).

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1BRbXNvxbM/?mibextid=wwXIfr ***