Amir Muhiddin: Desaku yang Kucinta
Oleh Amir Muhiddin*
ORBITDesaku yang kucinta, Pujaan Hatiku,
Tempat Ayah dan Bunda, dan Handai Taulanku.
Tak Mudah kulupakan, Tak muda bercerai, selalu kurindukan desaku yang permai..
Lagu dengan judul “Desaku Yang Kucinta” di atas merupakan salah satu lagu nasional yang diciptakan oleh Liberty Manik (L.Manik). Dikutip dari Antara L. Manik menciptakan lagu ini pada kisaran waktu tahun 1945-1950 pasca kemerdekaan Indonesia.
Kendati penciptanya lahir di Sumatra Utara tetapi lirik lagunya berasal dari NTT, lagu ini sering dinyanyikan pada acara anak-anak maupun sekolah dasar yang memberi pesan moral untuk mencintai dan bangga terhadap tanah kelahiran seseorang atau sekelompok suku tertentu.
Lagu ini diciptakan pada awal kemerdekaan ketika secara politik dan ekonomi Indonesia belum kuat, penduduknya masih sekitar 70 jutaan dan industrialisasi belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Desa waktu itu masih asri, ladang, sawah dan hutan pun masih sangat hijau, demikian pula danau, sungai dan laut masih jernih dan biru, belum terkontaminasi oleh kotoran dan limbah rumah tangga maupun industri.
Namun setelah tahun 70-an pemerintah Orde Baru sudah mulai membangun, yang semula titik beratnya pada sektor pertanian kemudian tahun 80-an sudah merambah ke industri, tentu saja untuk memenuhi kebutuhan rakyat terutama sandang, pangan dan papan. Tahun 90-an ketika lembaga-lembaga pendidikan, tingkat dasar, menengah dan tinggi menelorkan luaran termasuk sarjana, maka tidak ada jalan lain kecuali pemerintah harus menyediakan lapangan kerja bagi mereka.
Maka muncullah gagasan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dan berhubung kita masih kekurangan sumberdaya manusia, modal dan pemasaran, maka dipanggillah para investor dari luar, terutama untuk menggarap sumber daya alam yang bertebaran di mana-mana, di seluruh pelosok desa, baik di darat maupun di laut. Mulailah desa di alam kemerdekaan dilirik untuk diekploitasi oleh investor.
Melalui kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, para investor ini mulai mengeruk potensi yang kaya akan berbagai sumber daya alam. Desa yang secara historik merupakan pemerintahan tertua di Indonesia dan secara normatif mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, namun dalam praktiknya, otonomi itu sangat semu.
Ini karena pengelolaan sumber daya alamnya dikelola oleh negara melalui pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Bumi dan Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat." Pasal ini menutup peluang bagi desa untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri, dan diberikan kepada pemerintah pusat melalui departemen tehnis (kementerian ESDM) dan anak perusahaannya.
Desa dengan begitu tidak berdaya dan masyarakatnya tetap miskin, meskipun kaya raya karena memiliki sumber daya alam yang melimpah. bahkan tidak jarang penduduknya meninggalkan desanya karena tanahnya dibeli paksa oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait, termasuk para investor baik asing maupun dalam negeri.
Desa, termasuk juga tanah adat dan penduduknya serta pohon dan berbagai mahluk yang ada di dalamnya pelan dan pasti berubah secara drastis. Desa berubah menjadi kawasan industri, hutan industri, tanahnya dikeruk karena mengandung emas, nikel dan sebagainya, penduduknya ada yang tinggal bekerja sebagai buruh kasar, dan tidak sedikit yang hijrah ke kota karena di desanya yang sudah jadi kawasan industri sudah tidak layak lagi untuk ditanami diolah sebagai sumber mata pencaharian.
Bukan hanya itu, desa yang dulunya hijau, subur dan rimbun dengan pepohonan dan menjadi serapan air hujan pelan-pelan menjadi tandus dan menjadi salah satu penyebab terjadinya erosi dan banjir di mana-mana. Beberapa desa di Sulawesi Selatan, terutama sejak investor masuk mengelola hutan untuk industri, misalnya tambang nikel yang dikelola oleh PT. Vale Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan.
Kehadiran tambang ini disamping membawa manfaat bagi daerah dari aspek pendapatan negara dan menyerap tenaga kerja, juga membawa dampak negatif terutama bagi kelestarian lingkungan hidup dan tergusurnya lahan dan kebun para petani.
Menurut Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin, PT. Vale Indonesia sampai saat ini belum menyelesaikan kewajibannya untuk memulihkan perekonomian masyarakat Asuli dan petani dari desa lain yang menjadi korban penggusuran lahan dan kebun merica. Informasi ini ia terima langsung dari masyarakat Desa Asuli yang melakukan aksi protes terhadap PT Vale Indonesia.
Kesulitan hidup yang saat ini dialami oleh warga Asuli dan petani merica lainnya sudah lama mereka keluhkan. Menurut warga, Sejak PT Vale Indonesia memperlebar aktivitas tambang nikel mereka ke Ferrari Hiels, Desa Asuli, Sumber ekonomi petani menghilang dan pendapatan mereka juga hilang. Sementara, perusahaan tambang nikel multinasional ini pernah berjanji akan memberi masyarakat aktivitas ekonomi sementara sambil memulihkan ekonomi dan penghidupan mereka.
Namun sampai sekarang tidak ada yang direalisasi,” jelasnya. Al Amin kemudian menjelaskan bahwa pihaknya mencatat ada tiga dampak serius lingkungan dan sosial yang ditimbulkan PT Vale Indonesia akibat aktivitas tambang nikel di Desa Asuli, tepatnya di area Ferrari Hiels. Pertama, hilangnya mata pencaharian dan sumber penghidupan petani di Desa Asuli dan desa-desa lainnya.
“WALHI Sulsel bersama Jaringan Komunikasi Masyarakat Lingkar Tambang (JKMLT) hingga saat ini mencatat masih ada ratusan kepala keluarga petani yang belum dipulihkan haknya oleh PT. Vale Indonesia. Sementara, aktivitas tambang nikel telah merusak bahkan menghilangkan kebun merica petani,” jelas Amin.
Kedua, lanjutnya, dampak longsor. Amin mengatakan bahwa kegiatan tambang nikel PT. Vale Indonesia di tahun 2022 telah mengakibatkan longsor. Akibatnya, aktivitas masyarakat menjadi terganggu. Walaupun saat ini material longsor telah dipindahkan, namun PT. Vale tidak dapat membantah bahwa kegiatan tambang nikel mereka di area Ferrari Hiels telah mengakibatkan longsor.
“WALHI Sulsel mempunyai dokumentasi longsor yang terjadi di tahun 2022. Kalau melihat foto longsor tersebut, nampaknya PT. Vale Indonesia menjalankan metode pertambangan yang buruk, sehingga terjadi longsor. Kemudian PT. Vale Indonesia ternyata melakukan aktivitas tambang nikel di daerah rawan bencana”, tambahnya.
Ketiga dampak pencemaran lingkungan. Pria yang telah mengikuti program IVLP tentang advokasi lingkungan di Amerika Serikat ini menjelaskan bahwa dirinya melihat secara langsung sumber air baku masyarakat tercemar lumpur yang disebabkan oleh aktivitas tambang nikel PT. Vale Indonesia. Begitupun pencemaran udara dari debu tambang nikel.
“Karena kurangnya tanggungjawab PT. Vale terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, maka saya harus membuka fakta bahwa sesungguhnya aktivitas tambang nikel atau operasi bisnis PT. Vale Indonesia telah secara nyata melanggar kebijakan internal perusahaan dan kebijakan perlindungan internasional. Perusahaan milik perusahaan Kanada dan Jepang ini telah mencemari sumber air masyarakat, sehingga masyarakat harus menggunakan dan mengkonsumsi air yang tercemar setiap hari.”
Al Amin pun menegaskan bahwa dari tiga dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh tambang nikel PT. Vale Indonesia, maka menurut Al Amin, kegiatan tambang nikel di Ferrari Hiels sudah harus dihentikan dan ditutup. hal tersebut untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak di Desa Asuli.
“Semua yang terkait dengan PT. Vale Indonesia harus bertanggungjawab atas dampak-dampak tersebut. Mulai dari Vale Canada Limited, Summitomo Metal Mining Co.Ltd, lembaga-lembaga keuangan baik nasional dan internasional, hingga CEO PT. Vale Indonesia. Namun yang lebih penting, untuk menyelamatkan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak di Desa Asuli, operasi bisnis tambang nikel di Ferrari Hiels harus dihentikan.”
Beberapa temuan dari WALHI Sulsel bersama Jaringan Komunikasi Masyarakat Lingkar Tambang (JKMLT) yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutifnya sekali lagi membuktikan bahwa kehadiran investor mengelola kekayaan alam di desa, meskipun membawa manfaat terutama dalam menyerap tenaga kerja dan pendapatan untuk negara, tetapi dari aspek kelestarian lingungan alam dan sosial sangat merugikan.
Padahal sejak lama L.Manik menciptakan lagu yang sairnya saya kutip lagi berikut ini. Desaku yang kucinta, Pujaan Hatiku, Tempat Ayah dan Bunda, dan Handai Taulanku. Tak Mudah kulupakan, Tak muda bercerai, selalu kurindukan desaku yang permai.
Lagu dengan judul “Desaku Yang Kucinta” di atas, bukan saja memberi pesan moral untuk mencintai dan bangga terhadap tanah kelahiran, akan tetapi juga memberi pesan material agar tanah kelahiran tetap lestari sehingga tetap selalu dirindukan sebagai desa yang permai. Semoga pesan ini menjadi penuntun dan pengendali dalam mengelola alam sehingga memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
*Amir Muhiddin lahir di Ujung pandang 25 Februari 1960. Pendidikan (S1) Universitas Hasanuddin jurusan Ilmu Pemerintahan, selesai 1985, kemudian S2 di Universitas Hasanuddin jurusan Ilmu Komunikasi, selesai tahun 2002, selanjutnya S3 di Universitas Negeri Makassar jurusan Administrasi Publik, selesai Tahun 2017. Pekerjaan Dosen di Fisip Universitas Muhammadiyah Makassar. ***