Ali Samudra: Dinamika Bank Syariah di Tengah Dominasi Bank Konvensional

(Pengantar Pengajian Ba'da Salat Jumat 24 Oktober 2025, Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa, Jakarta Timur)

Oleh Ali Samudra

ORBITINDONESIA.COM - Dunia modern hari ini berdiri di atas fondasi sistem keuangan. Hampir setiap aspek kehidupan — dari pembiayaan pendidikan hingga pembangunan negara — bergantung pada lembaga perbankan. Namun, di tengah kemajuan itu, umat Islam menghadapi pertanyaan mendasar: apakah sistem ekonomi yang kita jalani hari ini benar-benar selaras dengan nilai keadilan yang diajarkan Al-Qur’an?

Dari kegelisahan itu lahirlah bank syariah — bukan sekadar versi “Islam” dari bank konvensional, melainkan sebuah gerakan moral dan spiritual yang ingin mengembalikan etika ke dalam sistem ekonomi. Bank syariah adalah usaha untuk menegakkan prinsip keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial, di tengah dunia yang sering kali dikuasai oleh angka dan ambisi laba.

Lahirnya Gagasan Bank Syariah: Dari Kesadaran Iman ke Sistem Ekonomi

Bank syariah lahir bukan karena kebutuhan teknis semata, melainkan karena panggilan iman. Pada pertengahan abad ke-20, umat Islam mulai sadar bahwa sistem keuangan dunia telah dikuasai oleh mekanisme yang bertentangan dengan ruh Islam: bunga, spekulasi, dan ketimpangan sosial.

Muncul kesadaran baru di kalangan ulama dan ekonom Muslim: bisakah umat Islam bertransaksi secara modern tanpa riba? Jawaban pertama lahir pada 1963 di Mesir, dengan berdirinya Mit Ghamr Savings Bank — sebuah lembaga tabungan yangberoperasi tanpa bunga, berdasarkan prinsip profit-loss sharing.

Meski eksperimen itu tidak berlangsung lama, gagasannya menyebar cepat ke dunia Islam. Hasilnya adalah lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 — simbol awal bahwa syariah dapat diterapkan di tingkat internasional.

Dalam konteks Indonesia, gagasan ini berbuah pada tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, hasil kerja sama antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah. Bank ini menjadi pelopor bagi munculnya puluhan lembaga keuangan syariah di kemudian hari. Sejak saat itu, perbankan syariah tidak lagi sekadar “alternatif”, tetapi mulai menjadi gerakan peradaban ekonomi baru.

Landasan Al-Qur’an dan Hadits

Dalam Islam, semua urusan ekonomi harus berangkat dari tauhid. Kita percaya bahwa uang, harta, dan rezeki adalah amanah Allah. Karena itu, setiap rupiah yang berputar di tangan kita bukan hanya urusan dunia, tetapi juga tanggung jawab akhirat.

Allah berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang adadi antara keduanya.” Artinya, kita boleh kaya, kita bolehberdagang, tapi jangan jadi hamba uang. Jadilah hamba Allah yang menggunakan uang untuk kebaikan.

Allah berfirman dengan tegas: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275), dan terdapat di beberapa Ayat lainnya: QS. Al-Baqarah: 279; Ali-Imran: 130-131; An-Nisa: 29, 160-161; Ar-Rum:39.

Ayat ini menegaskan bahwa kegiatan ekonomi diperbolehkan sejauh ia menciptakan nilai tambah yang nyata. Riba, sebaliknya, dianggap sebagai bentuk eksploitasi karena menghasilkan keuntungan tanpa kerja dan tanpa risiko.

Rasulullah bersabda:  

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.”(HR. Tirmidzi)

Dengan demikian, Islam tidak menolak kekayaan, tetapi menolak kekayaan yang lahir dari ketidakadilan. Bank syariah berdiri di atas semangat ini: agar uang berfungsi sebagai alat kebaikan, bukan alat penindasan.

Prinsip-Prinsip Kerja Bank Syariah

Bank syariah bekerja dengan ruh muamalah islamiyyah — ekonomi yang berkeadilan. Prinsip dasarnya bukan “uang menghasilkan uang,” melainkan kerja sama dalam menghasilkan nilai nyata.

1. Larangan Riba– tidak ada bunga dalam transaksi keuangan. Keuntungan hanya muncul dari aktivitas riil, bukan dari peredaran uang semata.

2. Keadilan dan Amanah– keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional, bukan ditanggung sepihak.

3. Transparansi (Shiddiq)– semua pihak harus memahami isi akad dan risiko.

4. Aktivitas Produktif– pembiayaan diarahkan untuk sektor riil seperti perdagangan, pertanian, pendidikan, dan industri halal.

5. Kemaslahatan Sosial– sebagian hasil usaha dialokasikan untuk zakat, infak, dan program sosial.

Dengan demikian, bank syariah bukan hanya institusi finansial, melainkan lembaga moral.

Pandangan Sayyidina Ali tentang Kerja dan Harta

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Bekerjalah engkau untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok.”

Dalam ekonomi Islam, kerja bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan ibadah sosial. Uang yang diperoleh dari kerja halal akan membawa keberkahan; sedangkan uang dari hasil riba, meski tampak menguntungkan, pada hakikatnya merusak keseimbangan hidup. Bank syariah meneladani etos ini — ia tidak menjual uang, tetapi menjual nilai dan kepercayaan.

Persamaan dan Perbedaan dengan Bank Konvensional

Sekilas, bank syariah dan bank konvensional terlihat serupa — sama-sama menerima simpanan dan menyalurkan pembiayaan. Ketika bank syariah mulai meniru sistem konvensional dengan hanya mengganti istilah. Bunga diganti “margin”, kredit disebut “pembiayaan”, tetapi semangatnya masih sama — mengejar laba semata tanpa menanamnilai spiritual.

Yusuf al-Qaradawi mengingatkan bahwa riba bukan hanya bentuk, tetapi juga ruh ketidakadilan.

 Ia menulis, “Ekonomi Islam bukan ekonomi tanpa bunga semata, tetapi ekonomi tanpa kezaliman.” Maka, setiap akad syariah harus dijaga substansinya, bukan hanya kulitnya. Bank syariah sejati adalah yang menolak tipu-daya riba yang berpakaian halal.

Namun jika ditelusuri lebih dalam, keduanya berbeda secara filosofis dan moral. Perbedaan paling penting adalah pada spirit moralitasnya. Jika bank konvensional melihat uang sebagai alat kekuasaan, maka bank syariah melihat uang sebagai alat pengabdian.

Istilah-Istilah Kunci dalam Perbankan Syariah

Untuk memahami sistem syariah, kita perlu mengenal istilah-istilah kunci yang menjadi fondasinya:

Mudarabah: Kerja sama antara pemilik modal dan pengelola usaha dengan bagi hasil. Usaha kecil dan menengah.

Musyarakah: Kemitraan di mana dua pihak sama-sama menanam modal. Investasi proyek.

Murabahah: Jual beli dengan margin keuntungan disepakati. Pembiayaan kendaraan,rumah.

Ijarah: Sewa guna usaha (leasing). Alat produksi, transportasi.

Qard Hasan: Pinjaman kebajikan tanpa bunga. Sosial, pendidikan, bencana.

Sukuk: Surat berharga syariah. Infrastruktur & investasi halal.

Konsep-konsep ini menegaskan bahwa keuntungan dalam Islam harus berbasis kerja nyata, bukan spekulasi.

Pendapat Para Pakar Ekonom

Menurut Yusuf al-Qaradawi, keuangan Islam bukan hanya tentang “bebas bunga”, tetapi tentang penerapan nilai moral dalam seluruh transaksi. Ia mengingatkan bahwa akad yang tampak syariah secara bentuk tetapi masih mengandung unsur riba secara substansi, adalah bentuk penyimpangan moral. Qaradawi menegaskan pentingnya model mudarabah dan musyarakah, karena keduanya merepresentasikan keadilan dan berbagi risiko, berbeda dengan sistem bunga yang hanya menguntungkan satu pihak.

 “Ekonomi Islam bukan ekonomi tanpa bunga semata, tetapi ekonomi tanpa kezaliman.”  —Yusuf al-Qaradawi

Ekonom Muslim Umer Chapra melihat sistem ekonomi Islam sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Menurutnya, akar masalah dunia modern bukan pada kurangnya produksi, melainkan pada ketimpangan distribusi dan hilangnya nilai moral.

Chapra menjelaskan bahwa sistem keuangan Islam didasarkan pada:

-Risk sharing (pembagian risiko), bukan risk transfer.

-Asset-based finance, bukan money-based finance.

-Tujuan akhirnya adalah human well-being (kesejahteraan manusia), bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.

“Keuangan Islam bertujuan mengembalikan nilai moral dalam ekonomi agar manusia lebih manusiawi.”  — M. Umer Chapra

Muhammad Nejatullah Siddiqi, menekankan bahwa keberhasilan ekonomi Islam tidak hanya diukur dari pertumbuhan aset, tetapi dari bagaimana sistem itu memerangi kemiskinan dan ketimpangan.

 Dr Adiwarman A. Karim, pakar ekonomi Islam Indonesia, menyebut bank syariah sebagai gerakan moral umat. Menurutnya, bank syariah bukan sekadar lembaga keuangan, melainkan alat untuk menegakkan maqasid syariah: melindungi agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

“Ekonomi syariah tidak mencari laba tanpa batas, tetapi laba yang membawa berkah.” — Adiwarman A. Karim

Masa Depan Bank Syariah

Dari sisi bisnis, bank syariah sering dianggap kalah cepat dan kurang praktis dibandingkan bank konvensional. Prosedur yang ketat, verifikasi akad yang panjang, dan keterbatasan likuiditas sering membuatnya tampak lamban. Namun, perlambatan itu sebenarnya adalah bagian dari kehati-hatian moral. Sebab Islam menuntut kejelasan (bayan) dan keadilan (adl) dalam setiap transaksi. Lebih baik lambat tapi bersih, daripada cepat namun penuh syubhat.

Masa depan bank syariah di Indonesia sangat cerah. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi menjadi pusat keuangan syariah global. Namun tantangannya tidak kecil: masih rendahnya literasi masyarakat, keterbatasan inovasi, dan kecenderungan sebagian lembaga untuk meniru bank konvensional secara kosmetik. Solusinya adalah pendidikan, inovasi, dan spiritualisasi. Bank syariah masa depan harus menjadi bank yang berteknologi tinggi tetapi berhati suci — digital, efisien, dan tetap berlandaskan iman.***

Pondok Kelapa, 23 Oktober 2025