Puisi Satrio Arismunandar: Pahlawan Tanpa Nama

ORBITINDONESIA.COM - Di ujung gang berlumpur,
seorang anak kecil menunggu ibunya pulang.
Lampu-lampu kota bergetar di matanya,
seperti harapan yang nyaris padam tapi tak mau mati.

Ibunya pergi saat malam jatuh,
berbalut wangi murah dan diam yang berat.
Perempuan itu bukan perempuan biasa,
ia menjual tubuhnya kepada pejabat dan pengusaha
yang haus kuasa dan lupa malu.
Mereka menatapnya tanpa nama,
tapi bagi anaknya,
ia adalah hidup itu sendiri —
roti di pagi hari, seragam sekolah, dan rasa aman di pelukan.

Orang-orang di kampung menunduk pura-pura suci,
menyebutnya kotor, najis, perempuan rusak.
Mereka tak tahu,
bahwa di balik setiap langkahnya yang gontai
ada tiga perut kecil menanti kenyang,
ada utang yang menagih tanpa belas kasih,
ada kehidupan yang menolak menyerah.

Sebelum semua ini, ada seorang lelaki —
ayah si anak —
yang memilih jalan gelap bersama serbuk putih.
Ia mati ditembak polisi
dalam penggerebekan di gudang narkoba,
meninggalkan berita di koran dan luka di dada.
Sejak itu, rumah jadi sepi,
dan hidup berjalan seperti pelancong yang tersesat.

Ibunya masih muda,
dan dunia tak memberinya banyak pilihan.
Sekolah tak selesai, ijazah tak ada,
pintu pekerjaan tertutup rapat.
Yang terbuka hanyalah pintu malam,
dan di sanalah ia menjual sisa harga diri
agar anak-anaknya tetap punya masa depan.

Anak itu tumbuh dengan dua wajah dunia:
di satu sisi, ejekan; di sisi lain, pelukan hangat ibunya.
Ia sering mendengar tawa getir di balik pagar,
kata-kata yang menusuk lebih tajam dari pisau.
Namun setiap pagi, ibunya tetap menyiapkan sarapan,
mengelus rambutnya, dan berkata,
“Belajarlah, Nak. Jangan jadi sepertiku.”

Hari Pahlawan datang.
Bendera berkibar, pidato bergema,
nama-nama besar disebut penuh hormat.
Anak itu diam,
menunduk, lalu menulis di kertas upacara: “Pahlawanku: Ibu.”

Sebab pahlawan baginya bukan yang mati di medan perang,
melainkan yang hidup di medan aib
demi menyelamatkan tiga anak dari kelaparan.
Yang berjuang bukan dengan senjata,
melainkan dengan air mata dan keberanian menanggung hinaan dunia.

Kelak, bila anak itu dewasa,
ia akan menulis kisah ibunya
tanpa memoles luka, tanpa menutupi dosa,
karena dari dosa itulah tumbuh pengorbanan.
Ia akan menulis:

“Tidak semua yang berdosa itu jahat,
dan tidak semua yang suci itu benar.
Ibuku berjalan di neraka
demi memastikan kami tetap hidup di bumi.”

Dan di setiap tanggal sepuluh November,
ia menatap langit —
bukan mencari bendera,
tapi wajah ibunya
yang mungkin tak pernah disebut sejarah,
namun baginya,
itulah satu-satunya pahlawan yang benar-benar ia kenal.

Jakarta, 10 November 2025

Puisi ini ditulis dalam rangka peringatan Hari Pahlawan

-000-

*Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., MBA adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.

Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).

Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.

Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.

Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.

Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).

Pernah mengajar sebagai dosen tak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), IISIP, President University, Universitas Bakrie, Sampoerna University, Kwik Kian Gie School of Business, dan lain-lain.

Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com