Farid Mustofa: Makna Pahlawan
Oleh Farid Mustofa, dosen Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
ORBITINDONESIA.COM - Nama Jenderal Soeharto kembali muncul dalam perbincangan publik. Bukan soal kekuasaannya, pun perannya dalam sejarah, tapi soal gelar. Gelar Pahlawan Nasional yang menuai perdebatan. Tulisan ini tidak membahas kontroversi tersebut. Fokusnya bukan nama, tetapi makna. Apa sebenarnya pahlawan? Bagaimana konsep ini dipahami dalam kerangka filosofis serta ajaran Islam.
Pahlawan bukan sekadar orang berjasa. Bukan pula yang banyak dipuja. Tapi gambaran nilai yang hidup. Gelar pahlawan tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan etis “apa yang diperjuangkan?”, “bagaimana cara memperjuangkannya?”, dan “siapa yang terdampak oleh perjuangan itu?”
Dalam sejarah Islam pahlawan tidak hanya ditemukan di medan perang. Ada yang menang atas diri sendiri, bukan atas musuh. Nabi menyebut orang paling kuat adalah yang mampu menahan amarah. Pengendalian diri menjadi bentuk kepahlawanan mendalam.
Ada pula yang disebut pahlawan karena membela sesama, memperjuangkan keadilan sosial, menolong yang tertindas. Sebagian lain disebut pahlawan karena memajukan ilmu, membela kebenaran lewat pemikiran, menulis, mengajar, dan membuka cakrawala masyarakat. Ada juga yang benar-benar berjuang secara fisik, mengangkat senjata demi membela tanah air dan melindungi kehidupan umat.
Keempat bentuk ini, pahlawan diri, pahlawan sosial, pahlawan intelektual, dan pahlawan fisik, tidak saling meniadakan. Justru saling melengkapi. Tapi tidak semua pejuang bisa disebut pahlawan. Ada syarat moralnya.
Harus ada niat jernih, bukan demi nama atau imbalan, ada keberanian mengambil risiko, bukan demi posisi tapi demi kebaikan. Harus ada konsistensi, bukan tindakan sesaat. Harus ada keberpihakan pada keadilan. Dan memberi manfaat nyata bagi kehidupan orang lain.
Tanpa semua itu seseorang mungkin terkenal dan disanjung, tapi tidak layak disebut pahlawan. Maka pahlawan tidak diukur dari popularitas dan kemasyhuran, tapi dari kualitas batin dan dampak tindakannya. Tidak semua yang populer itu pahlawan. Kadang justru pahlawan sejati senyap. Tidak mengeluh, tidak menuntut, tidak membangun citra. Tapi kehadirannya memberi harapan.
Sedikit bercanda Spiderman dan Batman bisa disebut pahlawan versi modern. Menolong tanpa pamrih, sambil bergelantungan dari gedung ke gedung, meski harus berbohong pada bibi sendiri.
Batman lebih rumit. Muncul di malam hari, menyebar ketakutan ke penjahat, sambil menyimpan trauma masa kecil. Keduanya menyelamatkan kota tanpa pernah naik gaji, tidak ikut pemilu, dan tidak minta gelar. Tapi ada satu kesamaan mereka berjuang sendiri, diam-diam, dan dengan segala beban pribadi. Di balik topeng dan drama mereka terdapat satu pelajaran pahlawan bukan soal punya power kekuatan tapi bagaimana itu digunakan.
Konsep pahlawan dalam filsafat moral tidak terlepas dari karakter. Pahlawan adalah mereka yang menjaga kebajikan. Bukan hanya sekali tapi terus menerus. Kejujuran, keberanian, keadilan, dan pengorbanan bukan aksesoris, tapi bagian dari jati diri. Karakter inilah yang membuat tindakan mereka bermakna. Tanpa karakter tindakan besar bisa berubah menjadi alat kekuasaan.
Pahlawan juga bukan manusia sempurna. Setiap manusia bisa keliru. Tapi pahlawan sejati tidak bersembunyi dari kesalahan. Tidak menyalahkan orang lain. Tidak membungkus kegagalan dengan propaganda. Justru di situlah letak keteladanan. Bukan pada kemenangan tapi pada sikap terhadap kekalahan. Bukan pada kejayaan, tapi pada cara memelihara martabat.
Jika ukuran pahlawan hanya pada jasa, maka banyak yang masuk daftar. Tapi jika ukurannya juga tanggung jawab moral, maka tidak semua jasa bisa lolos. Tidak semua pencapaian bisa menghapus pelanggaran. Sebaliknya tidak semua orang yang gagal dalam sejarah layak dilupakan. Bisa jadi mereka justru menjadi cermin generasi berikutnya.
Menjaga makna pahlawan seperti menjaga moral bersama. Gelar bukan pengakuan administratif, tapi bentuk penghormatan pada nilai. Kalau gelar diberikan sembarangan, generasi berikutnya kebingungan. Maka gelar pahlawan bukan hadiah. Bukan kompensasi. Bukan alat politik. Tapi pengingat agar generasi berikutnya punya panutan, punya arah, punya gambaran hidup yang layak dijalani. Bukan hidup yang dipuja saja.
Akhirnya, pahlawan sejati tidak menuntut diakui. Bahkan Spiderman pun tidak pernah mengajukan diri ke kantor walikota. Pahlawan bekerja karena merasa harus, dan tentu tidak semua orang bisa. Tapi jika ada satu dua yang muncul tugas kita bukan saja memberi gelar tapi belajar darinya.***