Memahami “Air Pegunungan”: Antara Ilmu, Industri, dan Persepsi Publik

ORBITINDONESIA.COM — Isu tentang sumber air industri air minum dalam kemasan (AMDK) kembali ramai dibicarakan setelah muncul pernyataan publik yang menyebut air yang digunakan perusahaan besar hanyalah “air bor biasa”. Polemik ini sontak memicu diskusi di berbagai media sosial dan ruang publik, karena menyangkut persepsi masyarakat terhadap apa yang disebut sebagai air pegunungan.

Menanggapi hal itu, para ahli hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI) menggelar diskusi ilmiah bertajuk “Jejak Air Pegunungan, Mata Air, dan Air Tanah: Antara Alam, Industri, dan Masyarakat” di kampus ITB, Bandung. Forum ini melibatkan akademisi, peneliti, serta perwakilan pemerintah dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.

Ketua Umum PAAI, Irwan Iskandar, yang juga dosen FITB ITB, membuka diskusi dengan meluruskan pemahaman dasar mengenai definisi air mineral alami. Menurutnya, standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara jelas menyebut bahwa air mineral alami (natural mineral water) harus berasal dari air tanah yang terlindungi secara alami, bukan dari air permukaan seperti sungai, danau, atau air hujan yang tertampung.

“Kalau menjual air permukaan lalu disebut sebagai air mineral, itu keliru. Natural mineral water harus berasal dari sumber bawah tanah yang terlindungi,” tegas Irwan.

Dalam forum yang sama, Prof. Lambok Hutasoit, guru besar hidrogeologi ITB, menjelaskan bahwa istilah air pegunungan tidak berarti air yang keluar langsung dari mata air di lereng gunung. Menurutnya, sumber air yang dimanfaatkan industri AMDK justru berasal dari sistem akuifer bawah tanah di kawasan pegunungan, yang terbentuk secara alami melalui proses resapan air hujan ke dalam batuan vulkanik.

“Air hujan yang meresap di pegunungan kemudian tersimpan di lapisan batuan bawah tanah dan membentuk akuifer. Dari sinilah air dengan kandungan mineral stabil diambil. Jadi, air pegunungan adalah air tanah yang terbentuk di kawasan pegunungan,” papar Lambok.

Ia menambahkan, kualitas air dari sistem akuifer pegunungan jauh lebih stabil dibanding air permukaan karena terlindungi dari kontaminasi. Namun, untuk menjaga keberlanjutannya, konservasi daerah resapan dan pengelolaan air secara berkelanjutan menjadi kunci penting.

Ahli hidrogeologi ITB lainnya, Prof. Lilik Eko Widodo, juga menegaskan bahwa industri AMDK yang serius dalam menjaga reputasi produk tidak mungkin menggunakan air dangkal yang rentan terhadap pencemaran. “Sumber air terbaik adalah yang berasal dari akuifer dalam, terutama di sekitar gunung-gunung vulkanik. Selain terlindungi dari polusi, sumber ini juga memiliki komposisi mineral yang konsisten,” ujar Lilik.

Menurut Lilik, perusahaan yang memanfaatkan air tanah dalam juga wajib mengikuti ketentuan pemerintah terkait volume pengambilan, izin eksploitasi, dan pelestarian daerah tangkapan air. “Tidak mungkin industri mengambil air tanpa memperhitungkan keseimbangan alam. Ada kajian, izin, dan batasan yang harus dipatuhi,” katanya.

Pandangan serupa disampaikan Prof. Heru Hendrayana, pakar hidrogeologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menjelaskan bahwa dalam industri AMDK, aspek kuantitas dan kualitas sumber air menjadi pertimbangan utama.

“Pegunungan memiliki potensi air tanah yang lebih besar karena proses pembentukan akuifernya bagus. Batuan vulkanik di pegunungan memungkinkan air meresap lebih dalam, menyimpan mineral, dan menghasilkan air yang stabil secara kimiawi,” kata Heru.

Namun, Heru juga menegaskan bahwa tidak semua air yang berada di kawasan pegunungan dapat disebut sebagai air pegunungan. “Kalau airnya keluar dari tanah dangkal atau sistem koluvial, walaupun di pegunungan, itu bukan air pegunungan. Air pegunungan sejati adalah air dari sistem akuifer vulkanik yang terlindung dan mengikuti sistem bawah tanah yang dalam,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dasapta Erwin Irawan, Wakil Dekan Sumber Daya FITB ITB, menjelaskan secara logis bahwa tidak ada industri yang mau mengambil air dari sumber yang mudah tercemar.

“Orang yang ingin menjual air pasti mencari sumber yang aman dan terlindungi. Tidak mungkin mengambil air dari sungai, walaupun asalnya dari mata air pegunungan. Semua industri air kemasan yang kredibel mengambil air dari dalam tanah, dari sumber yang terjamin,” Erwin menjelaskan.

Penjelasan para akademisi ini juga diperkuat oleh pandangan para pejabat pemerintah. Agus Cahyono Adi, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa air dangkal di akuifer bebas diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat.

“Air untuk rumah tangga, misalnya sumur terbuka atau pompa di bawah 20 meter, bisa digunakan tanpa izin. Namun, untuk industri yang mengambil air di atas 40 meter, wajib ada izin dan pengawasan ketat,” ujar Agus.

Bambang Tirtoyuliono, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, menambahkan bahwa air tanah memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi sosial, fungsi ekonomi atau pengusahaan, dan fungsi konservasi. “Kami bersama pemerintah pusat terus memastikan pengelolaan air tanah berjalan sesuai regulasi agar ketersediaannya tetap berkelanjutan,” kata Bambang.

Dari sisi pengawasan lingkungan, Resmiani, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan DLH Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa lembaganya berperan mengawasi perusahaan yang sudah berizin dalam hal pengelolaan limbah dan konservasi sumber daya air. “Kami fokus memastikan keberlanjutan sumber air agar tetap lestari. Karena ini bukan hanya soal industri, tapi soal keberlanjutan kehidupan,” ujar Resmiani.

Melalui forum ilmiah ini, para ahli dan pemangku kebijakan sepakat bahwa istilah air pegunungan harus dipahami secara ilmiah, bukan hanya geografis. Air pegunungan bukan sekadar air dari daerah tinggi, tetapi air tanah dari sistem akuifer vulkanik yang terlindung dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan alam serta pasokan air bersih bagi masyarakat.***