Pembatalan Ibadah Misa Natal, Problem Intoleransi Beragama di Kota Depok Jawa Barat

Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior

ORBITINDONESIA.COM - Pembatalan ibadah Misa Natal di Wisma Sahabat Yesus (WSY), Pondok Cina, Kota Depok, pada 24–25 Desember 2025 ini, kembali menegaskan satu kenyataan pahit: intoleransi beragama di kota ini - kota tempat saya tinggal ini - bukan peristiwa insidental, melainkan pola yang terus berulang.

Pergantian wali kota: dari PKS ke Gerindra — ternyata tidak membawa perubahan berarti. Bungkus politik boleh berganti, tetapi watak kebijakan dan keberpihakan ideologis tetap sama. Walikotanya sudah Gerindra kebijakannya tetap PKS.

Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Unit Selatan mengumumkan pembatalan melalui unggahan resmi. Keputusan itu diambil karena “kendala kebijakan, perizinan, dan hal-hal lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.”

Namun, di balik bahasa yang diplomatis itu, faktanya jelas: umat Kristiani kembali gagal menjalankan ibadahnya di Depok.

Wali Kota Depok Supian Suri — yang diusung Gerindra setelah era panjang kepemimpinan PKS — mengakui telah menerima laporan pembatalan misa di WSY. Namun, pernyataannya justru terkesan ambigu dan mengambang, tanpa sikap tegas sebagai kepala daerah yang wajib menjamin kebebasan beragama.

“Informasi yang kami dapatkan, semua sudah bersepakat tidak ada hal yang intinya bahwa pihak wisma memang yang membatalkan rencana misa di wisma, tetapi kita terus dalami,” ujar Supian saat ditemui wartawan di Gereja Katolik Paroki Santo Thomas, Rabu malam. Pernyataan yang bernada mengukur waktu dan mengalihkan perhatian.

Alih-alih menegaskan hak konstitusional warga untuk beribadah, Supian justru menekankan narasi bahwa pembatalan dilakukan oleh pihak wisma sendiri. Padahal, publik paham bahwa “pembatalan sepihak” semacam ini kerap terjadi setelah tekanan sosial, keberatan warga, atau sinyal-sinyal pelarangan dari lingkungan sekitar—sebuah pola lama di Depok.

Supian juga menyebut bahwa misa tersebut diinisiasi oleh mahasiswa Katolik yang tinggal di wisma bersama seorang Romo, dan bukan kegiatan rutin. Pernyataan ini seolah ingin mereduksi makna ibadah sebagai kegiatan insidental, bukan hak dasar.

Penjelasan serupa disampaikan Lurah Pondok Cina, Nurman Hakim. Ia menyebut telah dilakukan pertemuan antara warga dan pihak WSY, yang disebutnya sebagai upaya “meluruskan informasi.”

Menurut Nurman, tidak ada pencegahan dari warga, dan pembatalan disebut berasal dari keputusan Romo. Pola yang sama kembali terlihat: negara dan aparat lokal berlindung di balik klaim “kesepakatan”, “musyawarah”, dan “keputusan internal”, tanpa mau menyebut adanya tekanan mayoritas.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA) menilai pembatalan ini sebagai persoalan serius yang menyangkut jaminan konstitusional kebebasan beragama.

Ketua LBH GEKIRA, Santrawan Paparang, menegaskan bahwa kebebasan beribadah tidak boleh dikalahkan oleh tekanan sosial atau kekhawatiran mayoritas.

“Negara wajib hadir menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Ketika ibadah dihentikan bukan karena pelanggaran hukum, melainkan karena tekanan sosial, ini menjadi preseden yang tidak sehat bagi kehidupan berbangsa,” ujarnya.

LBH GEKIRA menekankan bahwa dialog dan musyawarah memang penting, tetapi tidak boleh berujung pada pengorbanan hak kelompok minoritas. Kebebasan beribadah, sebagaimana dijamin Pasal 29 UUD 1945, tidak bersyarat pada persetujuan mayoritas.

LBH GEKIRA juga menyoroti ironi lain: WSY selama ini menjalankan pendampingan pastoral mahasiswa Katolik, pendidikan agama, serta kegiatan sosial lintas iman yang justru diterima dan didukung warga sekitar. Namun, ketika sampai pada ibadah, justru dihentikan.

“Jika kegiatan sosial diterima tetapi ibadahnya dihentikan, ini menunjukkan masih adanya kesalahpahaman serius tentang makna kebebasan beragama,” kata Santrawan.

Pihak WSY melalui Romo Robertus Bambang Rudianto SJ menyatakan bahwa WSY bukan gereja, melainkan pusat pendampingan pastoral mahasiswa. Pembatalan misa, katanya, dilakukan demi menghormati proses dialog dan menjaga ketenangan lingkungan.

Namun, pernyataan ini justru memperkuat kritik LBH GEKIRA: ketika ketenangan semu dijadikan alasan, hak konstitusional dikorbankan.

LBH GEKIRA meminta pemerintah daerah, aparat keamanan, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tidak sekadar menjadi mediator konflik, tetapi bertindak sebagai penjaga konstitusi. Kerukunan sejati, tegas mereka, bukan menghentikan ibadah demi ketenangan sementara, melainkan memastikan semua warga dapat menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut.

Kasus WSY ini bukan yang pertama, dan tampaknya belum akan menjadi yang terakhir di Depok. Ia menegaskan bahwa pergantian wali kota tidak otomatis mengubah watak intoleran sebuah kota jika ideologi kebijakan dan keberpihakan terhadap minoritas tetap sama. Depok, sekali lagi, menunjukkan bahwa intoleransi bukan soal individu, melainkan sistem yang dibiarkan terus hidup.

Kasus WSY ini bukan yang pertama, dan tampaknya belum akan menjadi yang terakhir di Depok. Ia menegaskan bahwa pergantian wali kota tidak otomatis mengubah watak intoleran sebuah kota jika ideologi kebijakan dan keberpihakan terhadap minoritas tetap sama. Depok, sekali lagi, menunjukkan bahwa intoleransi bukan soal individu, melainkan sistem yang dibiarkan terus hidup. ***