Sudarsono Soedomo: Sawit, Lingkungan, dan Kemunafikan Global

Oleh Sudarsono Soedomo, Staf Pengajar IPB Bogor

ORBITINDONESIA.COM - Perdebatan tentang sawit hampir selalu dimulai dari emosi: hutan, satwa, dan perubahan iklim. Jarang sekali ia dimulai dari angka. Padahal, dalam isu lingkungan global, angka adalah pintu masuk akal sehat. Tanpa angka, kita hanya berpindah dari satu moral panik ke moral panik lainnya.

Mari kita mulai dari fakta paling mendasar: produktivitas minyak nabati per hectare.

Rata-rata, 1 hektare sawit menghasilkan sekitar 4 ton minyak per tahun. Bandingkan dengan tanaman minyak nabati utama dunia lainnya: sunflower hanya sekitar 0,7 ton, canola 0,9 ton, kedelai 0,45 ton, kacang tanah 0,8 ton, dan jagung bahkan hanya 0,16 ton minyak per hektare per tahun. Artinya, secara kasar tetapi jujur, 1 hektare sawit setara dengan sekitar 6 hektare sunflower, 4–5 hektare canola, 9 hektare kedelai, atau 25 hektare jagung dalam menghasilkan minyak.

Implikasinya sederhana, tetapi sering dihindari: sawit jauh lebih hemat tanah. Untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama, dunia membutuhkan lahan berkali-kali lipat lebih luas jika mengandalkan tanaman minyak nabati non-sawit. Dalam era krisis iklim dan keterbatasan lahan, fakta ini seharusnya menjadi titik awal diskusi, bukan justru disingkirkan.

Dari sini, sebuah kemungkinan logis terbuka—meskipun jarang dibicarakan. Bayangkan jika pembangunan 1 hektare sawit di daerah tropis diiringi dengan penutupan 6 hektare ladang sunflower di wilayah beriklim sedang, lalu keenam hektare itu direforestasi.

Secara matematis sederhana, dunia tidak kehilangan minyak nabati, tetapi justru menambah luas hutan bersih sekitar 5 hektare. Ini bukan mimpi utopis, melainkan konsekuensi langsung dari perbedaan produktivitas biologis.

Lebih jauh lagi, hutan hasil reforestasi tersebut akan menyerap dan menyimpan karbon. Dalam skema global yang rasional, Indonesia tidak hanya menjual minyak sawit, tetapi juga membeli jasa penyerapan karbon dari bekas ladang minyak nabati di Eropa Barat atau Amerika Utara yang telah kembali menjadi hutan.

Selama ini, narasi yang dominan selalu satu arah: negara maju membeli karbon dari negara tropis. Padahal, dengan keunggulan produktivitas sawit, relasi itu dapat dibalik. Kita bukan hanya objek pasar karbon, tetapi juga subjeknya.

Uraian ini membawa kita pada kesimpulan yang tidak nyaman bagi banyak pihak: sawit berpotensi memperbaiki ekonomi dan lingkungan global secara bersamaan. Namun, apakah konsep ini akan diterima oleh negara-negara penghasil minyak nabati non-sawit?

Hampir pasti tidak. Alasannya bukan ekologis, melainkan ekonomi politik. Jika sawit diterima secara jujur sebagai tanaman paling efisien, maka petani sunflower, canola, atau kedelai di negara maju terancam kehilangan pasar. Di sinilah wajah lain dari moral lingkungan global muncul: hijau di lidah, proteksionis di kebijakan.

Inilah yang jarang disadari publik: banyak kampanye anti-sawit bukan lahir dari kepedulian ekologis murni, melainkan dari ketakutan kelas produsen di negara maju. Lingkungan dijadikan bahasa yang indah untuk melindungi struktur ekonomi lama. Sebuah hipokrisi yang rapi, karena dibungkus oleh jargon keberlanjutan.

Keunggulan sawit bahkan tidak berhenti di produktivitas. Sawit adalah tanaman tahunan. Tanah tidak perlu diolah setiap tahun, berbeda dengan sunflower, kedelai, atau jagung yang memerlukan pembajakan rutin. Setiap kali tanah dibuka dan diolah, karbon dilepaskan ke atmosfer. Dalam siklus panjang, jejak emisi dari pengolahan tanah tahunan ini bukan hal sepele. Lagi-lagi, sawit unggul secara biofisik, bukan karena retorika.

Esai ini tidak bermaksud menghalalkan perusakan hutan atau praktik sawit yang serampangan. Tata kelola tetap krusial. Namun, menolak sawit tanpa memahami angka sama saja menolak akal itu sendiri. Jika dunia sungguh-sungguh ingin menurunkan emisi dan menekan ekspansi lahan, maka diskusi tentang sawit harus keluar dari moral panik dan masuk ke wilayah rasionalitas.

Lingkungan tidak membaik karena slogan. Ia membaik karena keputusan yang berani berangkat dari fakta, meskipun fakta itu tidak nyaman bagi kepentingan lama. Sawit, suka atau tidak, memaksa dunia untuk berpikir ulang: apakah kita benar-benar peduli pada bumi, atau hanya ingin mempertahankan ladang kita sendiri?

Bogor, 24 Desember 2025 ***