DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kisah Alin yang Dibikin Menangis Tapi Tetap Tegar dan Sukses

image
Ilustrasi Alin

ORBITINDONESIA.COM - Kemarin saya bertemu dengan Alin di Central Park Hotel Pulman. Usianya mungkin mendekati 40. Tetap cantik.
 
Alin merangkul saya dengan erat. I miss you,“ katanya. “Terakhir kita ketemu tahun 2011."
 
“Kamu kan meeting di Singapura. Ada apa kemari?"
“I miss you," ujar Alin. Saya senyum saja.
 
 
“Kemarin di Singapura, saya sudah lunasi utang pabrik garmen di Banglades. Saya iseng bilang ke ibu Wenny, apakah saya bisa ketemu anda. Eh ternyata dia izinkan ketemu. Saya senang sekali ada kesempatan bertemu lagi dengan Anda,” Kata Alin.
 
Saya senyum saja. Itu karena saya tahu dia bisa selesaikan utang atas ekspansinya. Belum setahun dia bisa lunasi. Memang garmen produk branded semakin tinggi permintaan. Karena orang kaya terus bertambah dan harga juga semakin tinggi.
 
“Kita makan ya. Mau makan apa kamu?"
“Apa saja kamu tawarkan, saya suka,“ katanya tersenyum.
 
Tahun 2008, setelah pabrik garmen berdiri. Tiga bulan operasional, saya datang ke pabrik di Dongguan. Alin tersenyum melihat saya datang ke pabrik. Saya keliling pabrik.
 
 
Saya lihat para pekerja sedang menjahit pakaian. Saya lihat ruang quality control dan finishing. Saya juga lihat gudang dan proses loading untuk ekspor. Saya tatap dia ketika masuk kamar kerjanya. Kemudian saya baca laporan kinerja atau produktifitas pabrik.
 
“Kenapa statistik kinerja pabrik masih di bawah 50 persen?” tanya saya.
“ B, sabar. Kita masih berproses mendidik mereka.”
 
“Dengar lin, Kalau tiga bulan tidak ada progres kinerja mereka. Itu artinya ada yang salah. Ini bukan lagi bisnis, tapi penampungan sosial. Kita bukan pemerintah yang harus bersabar untuk mendidik orang. Kita bukan Tuhan yang harus mencintai semua.“
 
“Tapi B, kapasitas yang ada sekarang sudah bagus.”
 
“ Bagus?“ Suara saya kencang. “Jangan berpikir dengan cara kamu. Karena kamu itu pecundang. Makanya kamu dibuang oleh pria. Sampah bagi mereka. Itu bukan salah mereka, tetapi mindset kamu memang sampah,” lanjut saya, tetap dengan nada tinggi. Dia menangis.
 
 
“ Kita manusia memang punya standar berbeda satu sama lain. Itu sebabnya nasib orang berbeda beda. Dan saya tidak mau bernasib sama dengan kamu, karena mengikuti standar kamu. Paham?“ kata saya.
 
Dia menangis terus. Tetapi tidak meratap.
“Kenapa kamu nangis?" tanya saya lagi. Dia diam.
 
“Sekali lagi kamu menangis di depan saya, kamu keluar. Saya tidak ada masalah hilang uang pada tahap awal, daripada saya stres terus bemitra dengan pecundang.
 
Ingat, Lin, saya tidak anti kesamaan gender. Bagi saya wanita dan pria sama. Tidak rasis. Semua sama bagi saya. Ukuran saya, apakah menguntungkan atau tidak. Kalau tidak, sorry to say...saya buang kamu,” kata saya lagi. Dia mengangguk.
 
 
“Pastikan tiga bulan ke depan, kinerja meningkat,“ kata saya, berlalu dari kamar kerjanya.
 
Dari pabrik saya terus ke Hong Kong. Di Hong kong saya telepon Wenny. “Wen, bantu saya.”
 
“Ada apa?" tanya Wenny.
“Tadi saya habis marahin Alin. Dia nangis. Bantu tenangkan dia.”
 
“Bagus. Biarkan saja. Tidak usah dibujuk.“
“Tapi dia nangis, karena mungkin kata-kata saya kasar.”
 
Wenny tertawa. “B, wanita China itu tidak pernah menyerah. Tidak baper mereka. Kalau dia nangis bukan karena kata-kata kamu, tetapi karena dia sedang menyalahkan dirinya sendiri. Mereka tidak pernah menangis karena ulah orang lain. Pahami itu. Santai aja.”
 
 
Empat bulan kemudian saya datangi pabrik. Saya sudah terima laporan statistik kinerja pabrik. Saya puas, Karena produksi meningkat 4 kali lipat dari sebelumnya. Sehingga saya bisa tingkatkan volume ekspor dan kontrak outsourcing.
 
Sampai di pabrik saya lihat Alin sedang di bagian produksi. Memang sebagian besar pekerja baru. Saya perhatikan dia sedang mengarahkan pekerja bagian quality control. Dia melihat saya datang. Mukanya pucat. Masih takut dia dengan saya.
 
“Lin,“ seru saya,” Bisa temani saya makan malam di Shenzhen?”
“Ya ya,” katanya bergegas sambil memanggil GM-nya. Dia bicara sebentar dengan GM. Kemudian segera menghampiri saya.
 
“Mari jalan,” katanya. Dia mengemudikan kendaraan untuk saya. Selama dalam perjalanan dia tetap diam dan terkesan tegang. Saya diamkan saja sambil tiduran.
 
 
Sampai di restoran, masih tegang wajahnya.
“B,” ada pria menegur saya, “Saya disuruh ibu Wenny untuk menemui Anda di sini.”
“Kamu dari property agency?” tanya saya ke pria itu.
“Ya.“
 
“Ok, kamu bicara dengan wanita itu. Tanya ke dia. Apartemen seperti apa dia mau,” kata saya melirik ke arah Alinn. Mereka bicara sebentar.
 
“B, semua apartemen yang dia tawarkan mahal semua,” kata Alin ke saya.
“Kamu fokus ke ukuran apartemen dan lokasi yang dia tawarkan. Bukan harga. Soal harga urusan saya,” kata saya.
 
“B, ...” Air matanya berlinang. Kemudian Alin berlutut.
“Eh, jangan berlutut. Peluk saya...” kata saya. Dia segera berdiri dan peluk saya. Kuat sekali pelukannya. “Terimakasih...” katanya.
 
 
“Saya beri kamu rumah karena itu standar saya untuk eksekutif saya. Jadi tidak perlu bilang terima kasih. Dan itu tidak gratis, Pastikan terus kamu berprestasi baik dan menguntungkan perusahaan,” kata saya.
 
“Kalau kamu ingin mencintai orang lain, cintai diri kamu sendiri dulu. Kalau kamu mau selamatkan orang, selamatkan diri kamu lebih dulu. Kalau kamu ingin mengubah dunia, ubah diri kamu dulu. Paham?” lanjut saya.
 
Dia tersenyum dan menggangguk, “Mimpai.”
 
Setelah dia selesai dengan agen property. Dia kembali ke saya. Dia perlihatkan foto apartemen yang sudah dia pilih. Wajahnya riang. Saya senyum saja.
 
Tiga tahun kemudian, saya datang ke apartemen Alin tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Dia terkejut melihat kedatangan saya.
 
 
Saya lihat isi apartementnya. Di dinding kamarnya ada foto saya dengan dia di Shanghai empat tahun lalu. “My winter my valentine,” tulisan di foto itu. Saya senyum saja.
 
“Sebelum saya kerja sama kamu, kamu sangat romantis. Tapi setelah masuk ke bisnis? Tidak ada lagi kemesraan itu. Tapi berubah jadi tanggung jawab dan kepedulian. I do love you,” kata Alin.
 
“And even if the sun refused to shine. Even if romance ran out of rhyme. You would still have my heart, until the end of time. You're all I need, my love," lanjutnya. Saya senyum saja.
 
(Dikutip dari: Diskusi Dengan Babo) ***

Berita Terkait