DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Agama Digital: Redefinisi Cara Kita Beragama

image
Ilustrasi redefinisi cara Beragama di era digital.

ORBITINDONESIA.COM - Digitalisasi telah menjadi bagian inklusif di dalam cara beragama kontemporer.

Diperlukan kerangka kerja teologis untuk memberikan batasan dan sejauh mana digitalisasi itu dipergunakan di ruang beragama.

Salah satu ketakutan agama arus utama (mainstream) ketika digitalisasi telah menjadi arus besar di ruang ibadah adalah bagaimana memberi penjelasan terhadap ritus dan ritual agama konvensional secara digital.

Baca Juga: Profil Lengkap Dewa United, Tim yang Ikut Kompetisi BRI Liga 1: Simak Sejarah Berdiri dan Siapa Pemilik Klub

Baca Juga: Bupati Banjar Saidi Mansyur Ingatkan Petugas Haji Agar Prioritaskan Pelayanan Bagi Jamaah Lansia

Pertanyaan lain yang sejenis adalah apakah kita dapat menjadikan ruang digital sebagai sebuah sacred-place?

Apakah kita dapat menggantikan ruang fisik konvensional yang selama ini menjadi ruang tumbuh bersama di dalam iman dan komunitas sehingga wajah kemanusiaan kita menjadi semakin baik di dalam peradaban?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu menjadi perdebatan baik di kalangan ahli komunikasi, pakar internet, sosiolog, dan terlebih kalangan teolog.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sapa Masyarakat dan Santap Nasi Goreng di Pusat Perbelanjaan Kendari, Sulawesi Tenggara

Pada akhirnya semua pertanyaan itu akan menuntun kepada problem dikotomis, mana dari agama yang dapat didigitalkan dan mana ya tidak.

Baca Juga: Profil Lengkap Han So He Artis Cantik yang Ribut dengan Jungkook BTS di Video Klip Seven, Tanggal Lahir,Zodiak

Untuk membicarakan ini, pandangan terhadap konsep agama digital harus dibawa ke dalam platform yang sama. Jika pengertian ini menjadi sebuah perspektif, pendekatan dan penjelasan, entah dari sosiolog, teolog, atau disiplin ilmu lainnya akan berada di dalam koridor yang sama.

Baca Juga: Pilkada Jakarta: Dharma Pongrekun Antarkan Syarat Dukungan dari Jalur Independen ke KPU DKI Jakarta

Ibarat sebuah barang, dapat dilihat dari berbagai sisi, tanpa mengubah esensinya.
Dari sekian banyak rumusan yang ada, konstruksi konseptual dari Heidi Campbell dapat dijadikan rujukan.

Campbell dikenal sebagai seorang yang konsisten membicarakan topik ini dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Dalam salah satu tulisannya berjudul ”The Rise of the Study of Digital Religion”, Campbell (2013) merumuskan bahwa istilah “agama digital” merupakan sebuah ruang teknologi dan budaya yang ditimbulkan ketika terjadi integrasi antara lingkup agama online dan offline telah berkelindan satu sama lain.

Baca Juga: Amerika Tawarkan Data Rahasia ke Israel untuk Temukan Pemimpin Hamas Tanpa Harus Menyerang Rafah

Baca Juga: Komjen Wahyu Widada Dilantik Jadi Kabareskrim

Dalam pengertian ini, digitalisasi agama menjadi sebuah extention atau dapat dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan dan memperluas praktik dan ruang keagamaan, yang sekalipun dilaksanakan secara online, tetapi tetap di dalam konteks keagamaan offline, dan sebaliknya.

Rumusan ini mencerahkan karena dua alasan. Pertama, Campbell tidak mengatakan bahwa digital religion adalah agama.

Baca Juga: Hamas: Seorang Sandera Warga Inggris Tewas Terkena Bom Israel

Baginya agama tetaplah agama, sebagai sebuah definisi yang menyatakan bagaimana seseorang menjelaskan keyakinan dan sistem kepercayaannya (termasuk di dalamnya doktrin, iman, ritus, dan ritual) secara personal dan kemudian bergabung bersama orang-orang yang memiliki sistem kepercayaan yang sama.

Internet muncul dan memudahkan manusia dalam segala hal, termasuk dalam menjalani agamanya. Meskipun praktik offline tetap berjalan, siar agama kini telah berlangsung di dalam ruang maya.

Baca Juga: Inilah Sinopsis, Pemeran dan Link NontonStreaming Film Voice of Silence penuh Airmata yang Trending di Google

Baca Juga: Bebaskan Palestina: Ratusan Orang dari Berbagai Kalangan di Jepang Ikuti The Intifada March

Materi-materi dakwah, konten teologi, yang semula oral dan berbentuk kertas, telah bertransformasi dalam berbagai wujud digital dan paperless.

Akses dan pola ibadah memperlihatkan pergeseran yang signifikan. Ibadah yang semula terpusat pada gedung fisik, kini telah menempati ruang maya. Sacred-space meluas, dan telah mencakup ruang digital (cyberspace).

Semua ini berarti, manusia dapat bertemu muka dan menjalani praktik agamanya secara online.

Baca Juga: MotoGP Prancis: Disiarkan Langsung Oleh Trans7 Minggu Malam Ini

Perubahan ini bertumpu kepada sifat dinamis agama yang menurut Dhavamony (2016) telah melalui sebuah proses evolusi yang sangat panjang sebagai sebuah konsekuensi logis di dalam menyikapi perubahan. Agama menjadi adaptif dan bukan produk usang.

(Dikutip sebagian dari opini di kompas.id). ***

Berita Terkait