DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kebijakan Diskriminatif dan Perundungan Terkait Pengaturan Busana Siswa Perempuan Nonmuslim

image
Ilustrasi siswa SMA Negeri. Ada isu soal perundungan terkait busana siswa perempuan nonmuslim.

ORBITINDONESIA.COM - Nama saya Ari Wijaya. Saya seorang ibu beragama Islam, dengan anak-anak beragama Katolik.

Sebagai perempuan muslim di Indonesia, saya melewati tradisi belajar agama di pengajian dan sekolah formal.

Seiring perjalanan waktu, sejak saya SMA sekitar tahun 1989 mulai muncul gerakan jilbabisasi yang marak dan mulai ada nada-nada sumbang kepada para siswi yang tidak mengenakan jilbab, apalagi saat mengikuti kajian agama Islam.

Baca Juga: Priyanka Chopra Tidak Suka Mencium Pria Lebih Tua seperti Annu Kapoor di Film Saat Khoon Maaf

Tahun 1992 ketika saya mulai kuliah, di FMIPA UI, kami mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti mentoring kajian agama Islam (kegiatan ini masih berlangsung sampai sekarang).

Isinya didominasi pengajian dan imbauan kepada para mahasiswi untuk wajib mengenakan jilbab. Inilah pengalaman pertama saya yang agak mulai keras dalam menghadapi perundungan dalam berbusana.

Dalam bersosialisasi di medsos, saya tak luput dari perundungan berbusana juga. Misalnya, saat mengunggah foto-foto traveling, ada komentar: “cantik deh, apalagi kalau berjilbab dan bareng mahramnya”, atau “kapan ini mbak ari pake kerudung, biar aman saat traveling”.

Teman-teman  juga sering bertanya “kapan saya pakai jilbab” atau “kapan nih mb ari nyusul?”. Di tempat-tempat umum seperti kolam renang, kadang kami yang tidak berjilbab, juga mengalami perundungan.

Baca Juga: Prediksi Skor Madura United vs Persija Jakarta, Lengkap dengan Link Nonton Streaming

Yang menjadi concern kami, saya dan teman-teman alumni UI, adalah para mahasiswa baru yang selama ini dirancang dan digiring untuk masuk ruang-ruang pendoktrinan dalam beragama dan berbusana.

Maka beberapa tahun terakhir kami mengadakan gerakan untuk meredam langkah-langkah tersebut, dengan mengajak para mahasiswa baru untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan, selain kegiatan yang memberi ruang untuk perundungan dalam berbusana.

Kami juga memberi pemahaman bahwa semua kegiatan yang diarahkan oleh senior-senior di kampus, bukanlah suatu kewajiban yang mutlak dari kampus. Artinya, tidak akan ada sanksi akademis.

Tapi selain jilbab dan busana perempuan, perlu juga kita memperhatikan busana laki-laki terutama yang masih usia sekolah, karena di usia merekalah, terjadi banyak perundungan. Saya mengamati berdasarkan pengalaman pribadi anak saya dan teman-temannya yang beragama Katolik di sekolah.

Baca Juga: Anton DH Nugrahanto: Ada Tommy Suharto di Balik Perilaku Politik Ade Armando dan Grace Natalie

Kebetulan dia sempat bersekolah di 2 sekolah dasar negeri: Depok dan Karawang. Saya pikir setelah pindah ke Karawang, kondisi seputar perundungan anak-anak yang tidak berbusana dengan busana yang dianggap mewakili agama tertentu, akan lebih baik.

Ternyata sama saja, bahkan lebih rumit kondisinya.Saya akan menceritakan kondisi ketika anak saya sekolah, di masing-masing kedua sekolah:

Tahun 2019 di kelas 1 SDN Beji 4, Depok, kami diwajibkan membeli 1 set seragam sekolah, salah satunya “seragam muslim”, dipakai setiap hari Jumat, mirip dengan baju koko untuk anak-anak, warna hijau.

Saya kemudian minta kebijaksanaan untuk mengganti seragam muslim dengan baju olahraga, 3 kali negosiasi dengan guru wali kelasnya. Akhirnya dipersilakan menghadap kepala sekolah, yang menyanggupi permintaan saya untuk mengganti seragam muslim dengan baju olahraga.

Praktek seperti ini, di mana memaksa siswa non muslim membeli seragam muslim, 100 persen terjadi di semua sekolah negeri di Depok. Alasannya: sudah merupakan aturan dari dinas pendidikan Depok.

Baca Juga: Mengapa Denzel Washington Menolak Mencium Julia Roberts di Film The Pelican Brief

Tahun 2020 di kelas 2 SDN Adiarsa Barat 2, Karawang, bersyukur tidak ada drama seragam muslim lagi, karena ada baju adat Sunda yang wajib dipakai setiap Rabu. Tapi anak saya selalu mengalami perundungan berkaitan dengan agamanya yang Katolik, termasuk saat ada acara-acara sekolah yang mengharuskan siswa-siswanya memakai baju muslim.

Teman-temannya meledek anak saya karena datang ke sekolah tidak dengan mengenakan baju muslim, padahal anak saya datang karena diabsen kedatangan semua siswa.

Puncaknya saat kelas 4, anak saya didorong-dorong, jatuh dan terluka, disertai ejekan bahwa dia adalah non muslim yang akan masuk neraka jahanam. Ejekan-ejekan ini masih berlangsung sampai sekarang di kelas 5.

Demikian, kami sangat berharap ada kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang ketat mengawal persoalan-persoalan tersebut, karena jika hanya kami yang bergerak dirasa tidak akan maksimal hasilnya.

Baca Juga: Libatkan Konten Kreator Dunia, Dinas Pariwisata DKI dan Kementerian Luar Negeri Kolaborasi Promosikan Jakarta

Kami ingin: (1) Ada pengawasan dan peraturan melekat di kampus universitas negeri, untuk membatasi ruang terjadinya perundungan berbusana pada para mahasiswi,

(2) Pengawasan dan peraturan yang dipatuhi segenap guru sekolah negeri, untuk melindungi siswa-siswinya yang berada di usia yang rentan kena bullying, dan terluka karena belum bisa membela diri sendiri.

(3) Juga penghapusan peraturan membeli seragam muslim, apalagi pemaksaan pemakaian seragam muslim pada siswa non muslim.

 Notes:

Tulisan Ari Wijaya ini diajukan untuk Diskusi Penyusunan Rekomendasi Penanganan Praktek dan Kebijakan Diskriminatif tentang Pengaturan Busana, Komnas Perempuan, Jakarta, 14 Agustus 2023. ***

Berita Terkait