Puisi Esai Denny JA: Rama Menjemput Kematian
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 17 Agustus 2022 06:50 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA – Tak ada kata habis buat Denny JA, selaku pegiat hak azasi manusia dalam menyuarakan keprihtinan atas konflik berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di negeri ini.
Denny JA akan terus produktif bersuara agar konflik SARA yang melukai hartkat manusia dan kemanusiaan tidak lagi berkembang di Republik ini.
Dalam menyuarakan keprihatinannya atas konflik SARA itu, Denny JA membuat puisi esai mini. Inilah salah satu puisi esainya itu:
Rama Menjemput Kematian
Baca Juga: Belgia, Denmark, dan Spanyol Menyambut Resolusi tentang Keanggotaan Palestina di Majelis Umum PBB
Inikah yang disebut dunia gaib?
Suara itu tak pernah ia dengar.
Keras tapi lembut.
Baca Juga: Mesir, Arab Saudi, dan Irak Sambut Resolusi Majelis Umum PBB tentang Keanggotaan Palestina
Mendayu tapi menghentak.
Suasana hening.
Teramat sangat.
Baca Juga: Andi Sulaiman Bersama Relawan Mengantar Formulir Bakal Calon Gubernur Kalimantan Utara ke DPC PPP
Terowongan itu panjang.
Sangatlah panjang.
Teramat gelap. Hitam. Pekat.
Ia melihat dirinya kecil sekali dalam terowongan yang besar, besar sekali.
Baca Juga: Brigade Al Qassam Sergap Tentara Israel di Gaza Selatan
Di ujung terowongan, ada cahaya. Sinar. Juga besar sekali. Terang sekali, tapi tak silau.
Baca Juga: Liga Champions Asia: Hernan Crespo dan Harry Kewell akan Berhadapan di Leg Pertama Final
Terbangun Rama dari tidur.
Dengan badan yang lemah,
ia duduk, lesu, diam di ranjang.
Baca Juga: Gol Jay Idzes tidak Cukup Bawa Venezia Promosi Otomatis ke Serie A Liga Italia
Pukul 3.00 dini hari.
Ramapun beristighfar di dalam hati: “Astaghfirullah. Mohon ampun ya Allah. Mohon maaf ya Tuhanku.”
Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Jepang ke Semifinal
Berkali-kali, gambaran ini datang dalam mimpinya.
Rama bertanya dalam hati:
Baca Juga: Kylian Mbappe Umumkan Tak Perpanjang Kontrak dengan Paris Saint-Germain
Apakah kematianku sudah sangat dekat?
Ainun istrinya ikut terbangun.
“Mimpi lagi ya pak?” kata istri bertanya.
Rama diam saja.
Ia tak ingin istri bertambah cemas.
Baca Juga: Tiga Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO
Empat hari lalu,
ditemani istri, Rama ke dokter.
Di momen itu, Rama minta istrinya menunggu di luar.
“Ainun tunggu sebentar ya.
Baca Juga: Sayap Militer Hamas, Brigade Al-Qassam Sergap Pasukan Israel di Rafah Timur, Gaza Selatan
Ada yang ingin bapak bicarakan dengan dokter. Berdua saja.”
Dokter menyatakan:
Baca Juga: BMKG: Gempa Magnitudo 5,2 Terjadi di Kabupaten Lumajang Jawa Timur, Sabtu Dinihari Pukul 02.34 WIB
Rama menderita kanker prostat. Stadium empat.
“Mohon dokter ceritakan segala. Saya harus punya persiapan. Berapa lama lagi hidup saya, dari sisi kedokteran?”
Baca Juga: Pertamina Fastron Dukung Festival Musik Pestapora 2024 di JIExpo Kemayoran Jakarta, 20-22 September
Ujar Rama, “Saya meyakini panjang umur manusia itu urusan Tuhan. Tapi secara ilmu kedokteran saja. Sampai kapan saya bisa bertahan, pak dokter?”
Awalnya dokter enggan menjawab.
Karena didesak, sangat dipaksa, dokter menyebutnya.
Baca Juga: Mohammad Anthoni: Memperingati 100 Tahun Heydar Aliyev, Bapak Reformasi Azerbaijan
“Secara murni ilmu kedokteran, hitungannya sudah menunggu hari saja, pak.“
Rama terdiam.
Baca Juga: Wabah Virus Lassa di Nigeria Sebabkan 156 Orang Meninggal Dalam 4 Bulan Terakhir
Kayu pentungan itu menjadi hiasan dinding.
Bertahun- tahun sudah tepatok di sana, di ruang tamu.
Baca Juga: Ardil Johan Kusuma: Ada Peluang PAN-Gerindra-Golkar Usung Ridwan Kamil di Pilgub DKI Jakarta
Posisi pentungan itu berdiri.
Di sampingnya, di dinding, tertulis: “Amar makruf nahi mungkar.”
Itu seruan agama. Perintah kepada mereka yang saleh.
Tegakkan kebaikan.
Baca Juga: Sekjen PBB Antonio Guterres: Situasi Rafah yang Sedang Diserang Israel Ada di Ujung Tanduk
Cegah kejahatan.”
Rama sengaja meletakkan pentungan di dinding itu.
Baca Juga: Kebakaran di Jalan Piere Tendean Manado Hanguskan Lima Rumah, 25 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal
Pentungan itu sangat ia banggakan.
Kepada teman.
Baca Juga: Bupati Konawe Utara Terjang Banjir untuk Salurkan Bantuan Bagi Warga Terdampak di Sulawesi Tenggara
Kepada keluarga besar.
Kepada tamu.
Rama acap bercerita dengan gagah.
Baca Juga: Pakar Ilmu Politik Asrinaldi: Prabowo Akan Menimbang Usulan Nama Artis untuk Jadi Menteri
“Ini pentungan yang aku gunakan.
Tak ingat aku.
Baca Juga: Kota Gorontalo Kembali Jadi Juara Umum Pada MTQ Tingkat Provinsi Gorontalo
Sudah berapa banyak tubuh orang Ahmadiyah aku pentung pakai ini.”
“Isi rumah orang - orang ajaran sesat itu, aku hancurkan dengan ini.
Baca Juga: Jonminofri Nazir: Bagaimana Prospek eBook?
Mereka harus tahu resikonya.
Kaum penista agama itu perlu menerima hukuman.”
Baca Juga: Pasca Lebaran 2024, Sejumlah Agen AMDK di Jakarta dan Depok Kehabisan Stok
Rama terbayang.
Saat itu, para penegak kebenaran agama menyerbu.
Di Ketapang,
Di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur.
Di desa sebelahnya, Montong Tangi. (1)
Rama selalu ikut serta.
Ujarnya bangga: “Agama memanggilku!”
Baca Juga: Pilkada Jakarta, Anthony Leong: Ahok Punya Energi dan Modal Sosial Besar untuk Bertarung
“Hei ajaran sesat,
enyah kalian dari sini.
Keluar dari kampung kami.
Baca Juga: Piala Asia Putri U17: China Menang Melawan Thailand
Kalian bawa sial.”
Itu kaca jendela, kaca lemari,
Baca Juga: Zulkifli Hasan Bantah Melobi Kursi Kabinet Ketika Kunjungan Rombongan PAN Temui Presiden Jokowi
pecah semua dengan pentungan Rama.
Yang berani melawan,
badannya kena pentung.
Baca Juga: Anggota DPR RI Dedi Mulyadi Sebut Penyanyi Mahalini Dinikahi Rizky Febian Sesuai Syariat Islam
Tangannya kena pentung.
Jika masih melawan lagi, bahkan kepalanya kena pentung.
Baca Juga: Pilkada Solo: Kaesang Pangarep Bikin Target Menangkan Calon yang Diusung PSI
Seru Rama pada dirinya.
Baca Juga: Liga 1: Pertandingan Bali United Melawan Persib Bandung Dipindah ke Training Center Tanpa Penonton
“Pentungan ini perlu diberi kehormatan.
Hei, pentungan. Terima kasih ya. Kau bantu aku tegakkan agama dengan tegas.”
Rama kini duduk di ruang tamu.
Di tatapnya pentungan di dinding itu.
Baca Juga: Yang Tercecer Di Era Kemerdekaan (7): Wahidin dan Rel Kereta Api Kematian
Tapi ini Rama yang berbeda.
Tatapannya juga berbeda.
Ini Rama yang segera menjemput kematian.
Baca Juga: Liga Conference Europa: Olympiakos Lolos ke Final Melawan Fiorentina
Rasa yang dulu bangga, setiap menatap pentungan, kini lari kamana?
Kok kini rasanya hambar belaka?
Baca Juga: Liga Eropa: Bayer Leverkusen Lolos ke Final Melawan Atalanta
Berhari- hari,
Rama selalu duduk di situ.
Baca Juga: Presiden FIFA Gianni Infantino Berpesan kepada Indonesia: Banggalah dengan Timnas
Kadang 30 menit tanpa jeda.
Kadang berjam- jam.
Rama mencari mengapa rasa bangga itu tak lagi muncul?
Baca Juga: Sepak Bola Indonesia Gagal Tembus Olimpiade Paris
Ainun istrinya bertanya:
“Ada apa pak?
Baca Juga: Media Irlandia: Sejumlah Negara Uni Eropa Pertimbangkan Akui Negara Palestina pada 21 Mei 2024
Kok melihat pentungan itu terus.”
Sore hari itu,
Baca Juga: Presiden AS Joe Biden Akui Bom AS Digunakan Israel untuk Bunuh Warga Sipil di Gaza Palestina
Rama menangis.
Keras sekali.
Segugukan.
Lama sekali.
Ainun kaget.
Baca Juga: Satupena Akan Diskusikan Buku di Era Digital, Dengan Pembicara Bagus M. Adam dan Jonminofri
Rama itu gagah.
Tak pernah menangis,
apalagi seperti ini.
Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (6): Samin Terkapar di Anyer Sampai Panarukan
Ainun mencoba mengerti.
Rama sedang sakit.
Baca Juga: Melawan Guinea, Pelatih Shin Tae Yong Cemaskan Pertahanan Indonesia
Parah.
Walau Ainun tak tahu.
Tak diberi tahu soal penyakit Rama yang sebenarnya.
Baca Juga: Liga Champions: Real Madrid Melaju ke Final Melawan Borussia Dortmund
Tak tahu pula Ainun.
Dokter sudah menyatakan itu.
Baca Juga: Pemerintah Kamboja Belajar Pencegahan Perkawinan Anak ke Sukabumi, Jawa Barat
Kematian Rama sudah dekat.
“Aku kangen ibuku, Ainun.
Baca Juga: TNI AU Bertemu Perwakilan Angkatan Udara Seluruh Dunia Dalam Konferensi Kekuatan Udara di Australia
Aku ingin dipeluk Ibuku.”
Keluh Rama sore itu.
Juga sambil menangis.
Baca Juga: Air Minum Jernih Belum Tentu Bersih, Nadine Chandrawinata Pilih AMDK yang 100 Persen Murni
“Doakan saja ibu pak.
Insha Allah, di akherat, ibu mendengar.”
Baca Juga: Didiet Maulana: Pengajuan Kebaya Sebagai Warisan Budaya ke UNESCO Dapat Menjadi Bentuk Kebanggaan
Ainun memeluk suaminya.
Seraya meningat-ingat,
Baca Juga: Liga Champions: Disiarkan Langsung SCTV Kamis Dini Hari WIB, Real Madrid Melawan Bayern Muenchen
sudah berapa lama ibu mertua wafat.
Semakin heran pula Ainun.
Belakangan ini suaminya sering menangis.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tanggapi Santai Fotonya Hilang di Kantor DPD PDIP Sumatra Utara
Akhirnya Rama bercerita.
“Ainun, umur di tangan Tuhan.
Baca Juga: Imigrasi Jakarta Barat Amankan 2 Warga Negara Asing Asal Nigeria dan Kamerun
Tapi aku merasa badanku sudah berbeda.
Waktuku segera tiba, Ainun.”
Baca Juga: China Minta Israel Hentikan Serang Rafah
“Bapak,” sanggah Ainun kaget dan takut. “Jangan ngomong begitu.”
“Aku sudah ke dokter, Ainun.”
Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Jepang Menang Telak Melawan Thailand
Ainunpun menangis memeluk suami.
Rama ikut menangis memeluk istri.
Baca Juga: Liga Champions: Mats Hummels Bawa Borussia Dortmund ke Final
Semua ini akan ia tinggalkan.
Tak lama lagi.
Baca Juga: PM Banglades Sheikh Hasina Minta Organisasi Pengungsi IOM Cari Sumber Dana Baru untuk Warga Rohingya
Sore itu, Rama mengumpulkan istri dan dua anaknya.
Baca Juga: Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Ajak Semua Elemen Bangsa Sukseskan Pilkada Serentak 2024
Lima belas tahun lalu,
tahun 2006, ketika Rama menyerbu komunitas Ahmadiyah di ketapang,
usia Akbar masih 10 tahun.
Baca Juga: Kuasa Hukum Irman Gusman Optimistis, Mahkamah Konstitusi Kabulkan Permohonan Pemungutan Suara Ulang
Usia Rahmi masih 8 tahun.
Kini tahun 2021,
Baca Juga: Anggota DPR RI Kamrussamad: Stabilitas Politik Usai Pemilu 2024 Membuat Ekonomi Nasional Lebih Baik
tak terasa dua anaknya tumbuh dewasa.
Setelah cerita soal kondisi kesehatan,
setelah satu keluarga saling peluk dan menangis sedih,
Rama menyampaikan pesan.
Baca Juga: Kemenag Nusa Tenggara Barat Terapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bagi Calon Haji yang Mau Berangkat
“Bapak ingin tinggalkan dunia ini tanpa beban.
Insha Allah, tak ada hutang materi bapak.”
Baca Juga: Dubes Iwan Bogananta Dampingi Komisi I DPR RI Kunjungi Pabrik Rendang Bella di Bulgaria
“Tapi ada satu yang mengganjal.”
Belum sempat selesaikan kalimat, Rama menangis.
Terguncang- guncang badannya.”
Ainun istrinya memeluk Rama, tanpa suara, ikut menangis.
Akbar dan Rahmi menetes air mata. Menatap dari tempat duduk saja.
Baca Juga: Piala Asia Putri U17: China Menang Melawan Australia
“Bapak ingin,” sambung Rama, “ibu, Akbar dan Rahmi mewakili Bapak.
Semua datang ke tempat pengungsian Ahmadiyah,
Baca Juga: Pilkada Jakarta, Pengamat Ujang Komarudin: Ahok dan Anies Sulit Dipasangkan
di Transito, Mataram.”
“Uang Bapak tak banyak.
Berikan tabungan Bapak ini,
Dua puluh juta rupiah.
Sampaikan kepada RT di sana.
Baca Juga: Hamas Setujui Gencatan Senjata Usul dari Mesir dan Qatar
Gunakan uang ini untuk tambahan.
Untuk sekolah anak- anak Ahmadiyah di sana.”
Baca Juga: Senator Amerika Serikat Ancam Sanksi ke ICC Bila Perintahkan Menangkap Benjamin Netanyahu
“Jangan lupa, sampaikan juga, mohon maaf Bapak sebesar- besarnya.”
Ainun, Akbar dan Rahmi saling pandang.
Baca Juga: Usman Kansong Mencari Buku Spinoza tentang Konsep Tuhan yang Dianut Einstein
Betapa sudah berubah Bapak mereka.
Ainun, Akbar dan Rahmi berkunjung ke Transito.
Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (5): Luka Itu Dia Bawa Sampai Mati
Mereka bersilahturahmi.
Berjumpa komunitas Ahmadiyah di pengungsian.
Ainun, Akbar dan Rahmi mendengar banyak cerita.
“Saat awal pindah ke sini, tahun 2006, fasilitas pengungsi seadanya.”
Baca Juga: Pilkada Jakarta, Hasto Kristiyanto: PDI Perjuangan Cermati Figur Ahok dan Anies Baswedan
Yang lain menimpali:
“Setiap keluarga diberi sepetak ruangan.
Baca Juga: Menag Yaqut Cholil Qoumas Bertolak ke Arab Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Haji di Tanah Suci
Sekat ruangan itu spanduk bekas pemilu.
Ada gambar PDIP.
Ada gambar Golkar.
Baca Juga: test
PKB.” (2)
Mereka tertawa.
Baca Juga: Gubernur Rohidin Mersyah: 200 Tahun Traktat London Jadi Momentum Bengkulu untuk Makin Strategis
Seolah tak ada kesedihan di sana.
“Rata-rata luas ruangan satu keluarga adalah 8x4 meter. “
“Tahun 2013, ada kemajuan.
Sekat ruangan dari spanduk partai berganti kain.”
Baca Juga: Selasa Ini, Vladimir Putin Akan Dilantik Sebagai Presiden Rusia untuk Masa Jabatan ke-5
“Tahun 2015, ada kemajuan lagi. Dari kain berubah tripleks sebagai pembatas ruang.”
Baca Juga: Diberi Tiket Gratis, Klub Qatar Al Duhail FC Minta Bantuan Dukungan Suporter Indonesia
“Sekarang kami sudah tidur di kasur. Dulu alas tidur kami dari kardus. Awalnya badan sakit- sakit. Lama- lama terbiasa.”
“Dulu, 800 orang Ahmadiyah tinggal di sini. Sekarang tinggal 120 orang jemaat Ahmadiyah saja.”
Akbar bertanya: “Apakah ada bantuan pemerintah?”
Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Indonesia Dipermalukan Filipina
Ibu di sana menjawab. “Oh, ada. Bantuan pemerintah sesekali saja datang. Itu lebih untuk lansia, penduduk usia lanjut.”
Rahmi bertanya: “pekerjaan apa yang dilakukan untuk nafkah keluarga?”
Bapak itu menjawab:
“Kami para pengungsi bekerja serabutan.
Baca Juga: Liga Inggris: Dikalahkan Crystal Palace, Manchester United Keluar dari Zona Eropa
Saya sebagai sopir ojek online.
Tetangga ada yang dagang di pasar.”
Baca Juga: Ganjar Pranowo Deklarasikan Diri Jadi Oposisi di Kabinet Prabowo-Gibran untuk Tegakkan Keseimbangan
Ibu itu menjelaskan lagi: “kami tak tahu sampai kapan tinggal di pengungsian. Kami buat diri senyamannya. Kami ubah fasilitas di sini sebisanya.”
“ Tahun ini ke-15 kali kami akan berlebaran di sini, di pengungsian.”
Ainun bertanya: “Tak
Ingin kembali ke Ketapang, ke kampung halaman?”
Baca Juga: KPU Kota Cirebon Mulai 5 Mei 2024 Buka Pendaftaran Calon Perseorangan pada Pilkada 2024
Bapak itu menjawab dengan suara keras dan getir. “Itu yang kami mau. Tanah kami ada di sana. Sawah kami ada di sana.”
“Walau rumah kami dibakar, rata dengan tanah, tapi itu tanah kami. Itu saya dapat dari warisan keluarga. Bapak ini malah membeli sendiri tanahnya. Ada sertifikat hak milik.”
“Satu jemaat Ahmadiyah mencoba pulang ke sana. Ingin tinggal kembali di sana. Ada juga yang hanya ingin berternak saja.”
"Baru bediri tembok saja, eehhhh, sudah kena tegur.
Ada yang baru bawa ternak, tapi ditakut- takuti.
Baca Juga: Polisi Buru Komplotan Pencuri Sepeda Motor di Kawasan Koja, Jakarta Utara
Akan diserbu lagi.”
“Mulanya tinggal di pengungsian merana sekali.
Baca Juga: Menparekraf Sandiaga Uno: World Water Forum Berpotensi Bawa Rp800 Miliar untuk Ekonomi Bali
Banyak yang depresi berat.
Hampir gila.”
Baca Juga: Presiden China, Prancis dan Komisi Eropa Lakukan Pertemuan Trilateral di Istana Elysee, Paris
Ainun pun menyampaikan pesan suaminya.
“Mohon diterima.
Baca Juga: Pilkada Jakarta: PDI Perjuangan Buka Penjaringan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Mulai Rabu
Ini sumbangan dana dari suami saya.
Suami mohon maaf atas segala perbuatan.
Sungguh saya malu hati datang ke sini.”
“Tapi ini amanah dari suami.
Ia sedang sakit keras.
Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Korea Utara Menang Telak Melawan Korea Selatan
Ia merasa waktunya tak lagi lama. Suami tak ingin menghadap Tuhan dengan beban”
Ainun menangis.
Baca Juga: KAS Eupen, Klub Tempat Shyane Pattynama Bermain di Liga Belgia Terdegradasi
Bapak, Ibu dan ketua RT terdiam. Terharu.
Mereka menerima amanah.
Baca Juga: THE Asia University: Universitas Indonesia adalah Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia
Walau dari orang yang dulu mengusir mereka.
Ini amanah dari hati.
Dari orang yang akan menjemput kematian.
Baca Juga: THE Asia University: Universitas Indonesia adalah Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia
Lebaran pun datang.
Takbir menggema di langit kota Mataram.
Baca Juga: Palyoff Olimpiade 2024: Indonesia Sudah Tiba di Paris
Getaran yang suci menyebar, dibawa angin, menyelinap lewat jendela dan pintu rumah.
Rama kini duduk di kursi roda.
Baca Juga: Hamid Awaludin: Hamas Minta Mantan Wapres RI Jusuf Kalla Memediasi Upaya Akhiri Konflik di Palestina
Sore hari, ia minta diantarkan keluarga.
Rama ingin berkunjung ke Transito.
Di sana, penghayat Ahmadiyah merayakan lebaran kelima-belas kali di pengungsian.
Rama ingin meminta maaf sekali lagi, atas kekerasan yang pernah ia lakukan.
Keyakinan agama Rama tak berubah.
Tapi suasana kematian menyadarkannya.
Baca Juga: Klasemen Formula 1: Max Verstappen Pimpin Klasemen Usai GP Miami
Ia harus lemah lembut menegakkan agama.
Rama katakan pada diri sendiri:
Baca Juga: Formula 1: Lando Norris Juara GP Miami
“Tak boleh ada paksaan.
Tak boleh ada kekerasan.
Tak boleh main hakim sendiri.
Kini semua kesalahanku harus kutebus. Sebelum kematian datang.”
Malam hari masih di hari lebaran.
Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (4): 50 Tahun Kututup Rahasia Itu Rapat-rapat
Di pekarangan rumah.
Rama minta keluarga menurunkan kayu pentungan itu.
Yang dulu ia banggakan.
Baca Juga: Piala Thomas 2024: Indonesia Runner Up
Kayu pentungan kini tergeletak di rumput.
Rama menyiramnya dengan minyak tanah.
Baca Juga: Liga Belanda Eredivisie: PSV Eindhoven Juara
“Byaaar! Pentungan itu pun dibakar oleh Rama.
Ainun, Akbar dan Rahmi diam saja. Membiarkan Rama lakukan apa saja.
Baca Juga: Pemain Timnas Jay Idzes Bawa Venezia Menang untuk Dekati Promosi ke Serie A
Tengah malam, Rama kembali bermimpi.
Tentang dunia gaib itu.
Tentang besar, panjang dan gelapnya terowongan itu.
Tentang dirinya yang ada di sana.
Tentang cahaya itu.
Oh betapa heningnya. Sejuknya. Damainya.
Namun ada yang berbeda.
Baca Juga: Ketum PKB Muhaimin Iskandar Kumpulkan 230 Bakal Calon Kepala Daerah yang Akan Diusung di Makassar
Rama tak lagi terbangun dari mimpi itu.
Rama tetap tidur.
Tidur untuk selama- lamanya. ***
CATATAN
1. Berbagai wilayah Ahmadiyah di NTB diserbu dan diserang
Baca Juga: PM Israel Benjamin Netanyahu Sebut Tuntutan Gencatan Senjata Hamas Tak Dapat Diterima
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44187364.amp
2. Sudah 15 kali pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, merayakan lebaran di sana.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210513034534-20-642069/rindu-jemaat-ahmadiyah-15-kali-lebaran-di-pengungsian/amp
Baca Juga: Korea Selatan Ikut Pelatihan Perang Siber Multinasional yang Dipimpin AS pada 5-11 Mei 2024
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012)