DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Puisi Esai Denny JA: Rama Menjemput Kematian

image
Denny JA, Penulis yang Aktif Menyuarakan Keprihatinan pada Konflik Bersasis Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan.

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA – Tak ada kata habis buat Denny JA, selaku pegiat hak azasi manusia dalam menyuarakan keprihtinan atas konflik berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di negeri ini.

Baca Juga: Bagus Ahmad Rizaldi: Klub Presiden untuk Wujudkan Angan Seabad Negeri, Belajar dari Tradisi Politik di AS

Denny JA akan terus produktif bersuara agar konflik SARA yang melukai hartkat manusia dan kemanusiaan tidak lagi berkembang di Republik ini.

Dalam menyuarakan keprihatinannya atas konflik SARA itu, Denny JA membuat puisi esai mini. Inilah salah satu puisi esainya itu:

Rama Menjemput Kematian

Baca Juga: Belgia, Denmark, dan Spanyol Menyambut Resolusi tentang Keanggotaan Palestina di Majelis Umum PBB

Inikah yang disebut dunia gaib?

Suara itu tak pernah ia dengar.

Keras tapi lembut.

Baca Juga: Mesir, Arab Saudi, dan Irak Sambut Resolusi Majelis Umum PBB tentang Keanggotaan Palestina

Mendayu tapi menghentak.

Suasana hening.

Teramat sangat.

Baca Juga: Andi Sulaiman Bersama Relawan Mengantar Formulir Bakal Calon Gubernur Kalimantan Utara ke DPC PPP

 

Terowongan itu panjang.

Sangatlah panjang.

Baca Juga: Puluhan Siswi SMA Terpadu Wira Bhakti Gorontalo Lari dari Asrama Sekolah Karena Tak Tahan Dirundung Senior

 

Teramat gelap. Hitam. Pekat.

Ia melihat dirinya kecil sekali dalam terowongan yang besar, besar sekali.

Baca Juga: Brigade Al Qassam Sergap Tentara Israel di Gaza Selatan

 

Di ujung terowongan, ada cahaya. Sinar. Juga besar sekali. Terang sekali, tapi tak silau.

 

Baca Juga: Liga Champions Asia: Hernan Crespo dan Harry Kewell akan Berhadapan di Leg Pertama Final

Terbangun Rama dari tidur.

Dengan badan yang lemah,

ia duduk, lesu, diam di ranjang.

Baca Juga: Gol Jay Idzes tidak Cukup Bawa Venezia Promosi Otomatis ke Serie A Liga Italia

Pukul 3.00 dini hari.

 

Ramapun beristighfar di dalam hati: “Astaghfirullah. Mohon ampun ya Allah. Mohon maaf ya Tuhanku.”

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Jepang ke Semifinal

 

Berkali-kali, gambaran ini datang dalam mimpinya.

Rama bertanya dalam hati:

Baca Juga: Kylian Mbappe Umumkan Tak Perpanjang Kontrak dengan Paris Saint-Germain

Apakah kematianku sudah sangat dekat?

 

Ainun istrinya ikut terbangun.

Baca Juga: Pakar Politik Keamanan Unpad, Muradi: Beli Alutsista untuk Tangani Papua Harus Sesuai Karakter Wilayah

“Mimpi lagi ya pak?” kata istri bertanya.

Rama diam saja.

Ia tak ingin istri bertambah cemas.

Baca Juga: Tiga Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

 

Empat hari lalu,

ditemani istri, Rama ke dokter.

Baca Juga: PM Israel Benjamin Netanyahu Mengaku Gagal Lindungi Warga Israel Ketika Serangan Hamas, 7 Oktober 2023

Di momen itu, Rama minta istrinya menunggu di luar.

 

“Ainun tunggu sebentar ya.

Baca Juga: Sayap Militer Hamas, Brigade Al-Qassam Sergap Pasukan Israel di Rafah Timur, Gaza Selatan

Ada yang ingin bapak bicarakan dengan dokter. Berdua saja.”

 

Dokter menyatakan:

Baca Juga: BMKG: Gempa Magnitudo 5,2 Terjadi di Kabupaten Lumajang Jawa Timur, Sabtu Dinihari Pukul 02.34 WIB

Rama menderita kanker prostat. Stadium empat.

 

“Mohon dokter ceritakan segala. Saya harus punya persiapan. Berapa lama lagi hidup saya, dari sisi kedokteran?”

Baca Juga: Pertamina Fastron Dukung Festival Musik Pestapora 2024 di JIExpo Kemayoran Jakarta, 20-22 September

 

Ujar Rama, “Saya meyakini panjang umur manusia itu urusan Tuhan. Tapi secara ilmu kedokteran saja. Sampai kapan saya bisa bertahan, pak dokter?”

 

Baca Juga: Seni Tradisional Kutai Berupa Tarsul dan Tari Jepen Awali Peluncuran Logo MTQ Nasional XXX di Kalimantan Timur

Awalnya dokter enggan menjawab.

Karena didesak, sangat dipaksa, dokter menyebutnya.

 

Baca Juga: Mohammad Anthoni: Memperingati 100 Tahun Heydar Aliyev, Bapak Reformasi Azerbaijan

“Secara murni ilmu kedokteran, hitungannya sudah menunggu hari saja, pak.“

 

Rama terdiam.

Baca Juga: Wabah Virus Lassa di Nigeria Sebabkan 156 Orang Meninggal Dalam 4 Bulan Terakhir

 

Kayu pentungan itu menjadi hiasan dinding.

Bertahun- tahun sudah tepatok di sana, di ruang tamu.

Baca Juga: Ardil Johan Kusuma: Ada Peluang PAN-Gerindra-Golkar Usung Ridwan Kamil di Pilgub DKI Jakarta

 

Posisi pentungan itu berdiri.

Di sampingnya, di dinding, tertulis: “Amar makruf nahi mungkar.”

Baca Juga: Danrem 131/Santiago Serahkan Bantuan Bagi Pengungsi Korban Erupsi Gunung Ruang di Singkil, Kota Manado

 

Itu seruan agama. Perintah kepada mereka yang saleh.

Tegakkan kebaikan.

Baca Juga: Sekjen PBB Antonio Guterres: Situasi Rafah yang Sedang Diserang Israel Ada di Ujung Tanduk

Cegah kejahatan.”

 

Rama sengaja meletakkan pentungan di dinding itu.

Baca Juga: Kebakaran di Jalan Piere Tendean Manado Hanguskan Lima Rumah, 25 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Pentungan itu sangat ia banggakan.

 

Kepada teman.

Baca Juga: Bupati Konawe Utara Terjang Banjir untuk Salurkan Bantuan Bagi Warga Terdampak di Sulawesi Tenggara

Kepada keluarga besar.

Kepada tamu.

Rama acap bercerita dengan gagah.

Baca Juga: Pakar Ilmu Politik Asrinaldi: Prabowo Akan Menimbang Usulan Nama Artis untuk Jadi Menteri

 

“Ini pentungan yang aku gunakan.

Tak ingat aku.

Baca Juga: Kota Gorontalo Kembali Jadi Juara Umum Pada MTQ Tingkat Provinsi Gorontalo

Sudah berapa banyak tubuh orang Ahmadiyah aku pentung pakai ini.”

 

“Isi rumah orang - orang ajaran sesat itu, aku hancurkan dengan ini.

Baca Juga: Jonminofri Nazir: Bagaimana Prospek eBook?

Mereka harus tahu resikonya.

Kaum penista agama itu perlu menerima hukuman.”

 

Baca Juga: Pasca Lebaran 2024, Sejumlah Agen AMDK di Jakarta dan Depok Kehabisan Stok

Rama terbayang.

Saat itu, para penegak kebenaran agama menyerbu.

Di Ketapang,

Baca Juga: Diskusi Satupena, Bagus M. Adam: Buku Digital Bukan Pengganti Buku Cetak, Tetapi Keduanya Saling Melengkapi

Di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur.

Di desa sebelahnya, Montong Tangi. (1)

 

Baca Juga: 14 Klub Sepak Bola Papan Atas di Asia Tenggara Siap Bertanding di Kualifikasi ASEAN Club Championship Juli

Rama selalu ikut serta.

Ujarnya bangga: “Agama memanggilku!”

 

Baca Juga: Pilkada Jakarta, Anthony Leong: Ahok Punya Energi dan Modal Sosial Besar untuk Bertarung

“Hei ajaran sesat,

enyah kalian dari sini.

Keluar dari kampung kami.

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: China Menang Melawan Thailand

Kalian bawa sial.”

 

Itu kaca jendela, kaca lemari,

Baca Juga: Zulkifli Hasan Bantah Melobi Kursi Kabinet Ketika Kunjungan Rombongan PAN Temui Presiden Jokowi

pecah semua dengan pentungan Rama.

Yang berani melawan,

badannya kena pentung.

Baca Juga: Anggota DPR RI Dedi Mulyadi Sebut Penyanyi Mahalini Dinikahi Rizky Febian Sesuai Syariat Islam

Tangannya kena pentung.

 

Jika masih melawan lagi, bahkan kepalanya kena pentung.

Baca Juga: Pilkada Solo: Kaesang Pangarep Bikin Target Menangkan Calon yang Diusung PSI

 

Seru Rama pada dirinya.

 

Baca Juga: Liga 1: Pertandingan Bali United Melawan Persib Bandung Dipindah ke Training Center Tanpa Penonton

“Pentungan ini perlu diberi kehormatan.

Hei, pentungan. Terima kasih ya. Kau bantu aku tegakkan agama dengan tegas.”

 

Baca Juga: Di World Water Forum di Bali, Sandiaga Uno: Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Siapkan Indonesia Pavilion

Rama kini duduk di ruang tamu.

Di tatapnya pentungan di dinding itu.

 

Baca Juga: Yang Tercecer Di Era Kemerdekaan (7): Wahidin dan Rel Kereta Api Kematian

Tapi ini Rama yang berbeda.

Tatapannya juga berbeda.

Ini Rama yang segera menjemput kematian.

Baca Juga: Liga Conference Europa: Olympiakos Lolos ke Final Melawan Fiorentina

 

Rasa yang dulu bangga, setiap menatap pentungan, kini lari kamana?

Kok kini rasanya hambar belaka?

Baca Juga: Liga Eropa: Bayer Leverkusen Lolos ke Final Melawan Atalanta

 

Berhari- hari,

Rama selalu duduk di situ.

Baca Juga: Presiden FIFA Gianni Infantino Berpesan kepada Indonesia: Banggalah dengan Timnas

Kadang 30 menit tanpa jeda.

Kadang berjam- jam.

Rama mencari mengapa rasa bangga itu tak lagi muncul?

Baca Juga: Sepak Bola Indonesia Gagal Tembus Olimpiade Paris

 

Ainun istrinya bertanya:

“Ada apa pak?

Baca Juga: Media Irlandia: Sejumlah Negara Uni Eropa Pertimbangkan Akui Negara Palestina pada 21 Mei 2024

Kok melihat pentungan itu terus.”

 

Sore hari itu,

Baca Juga: Presiden AS Joe Biden Akui Bom AS Digunakan Israel untuk Bunuh Warga Sipil di Gaza Palestina

Rama menangis.

Keras sekali.

Segugukan.

Baca Juga: Satrio Arismunandar: Era Digital Tak Cuma Hadirkan Tantangan, Tetapi Juga Peluang Baru Bagi Dunia Perbukuan

Lama sekali.

 

Ainun kaget.

Baca Juga: Satupena Akan Diskusikan Buku di Era Digital, Dengan Pembicara Bagus M. Adam dan Jonminofri

Rama itu gagah.

Tak pernah menangis,

apalagi seperti ini.

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (6): Samin Terkapar di Anyer Sampai Panarukan

 

Ainun mencoba mengerti.

Rama sedang sakit.

Baca Juga: Melawan Guinea, Pelatih Shin Tae Yong Cemaskan Pertahanan Indonesia

Parah.

Walau Ainun tak tahu.

Tak diberi tahu soal penyakit Rama yang sebenarnya.

Baca Juga: Liga Champions: Real Madrid Melaju ke Final Melawan Borussia Dortmund

 

Tak tahu pula Ainun.

Dokter sudah menyatakan itu.

Baca Juga: Pemerintah Kamboja Belajar Pencegahan Perkawinan Anak ke Sukabumi, Jawa Barat

Kematian Rama sudah dekat.

 

“Aku kangen ibuku, Ainun.

Baca Juga: TNI AU Bertemu Perwakilan Angkatan Udara Seluruh Dunia Dalam Konferensi Kekuatan Udara di Australia

Aku ingin dipeluk Ibuku.”

Keluh Rama sore itu.

Juga sambil menangis.

Baca Juga: Air Minum Jernih Belum Tentu Bersih, Nadine Chandrawinata Pilih AMDK yang 100 Persen Murni

 

“Doakan saja ibu pak.

Insha Allah, di akherat, ibu mendengar.”

Baca Juga: Didiet Maulana: Pengajuan Kebaya Sebagai Warisan Budaya ke UNESCO Dapat Menjadi Bentuk Kebanggaan

Ainun memeluk suaminya.

 

Seraya meningat-ingat,

Baca Juga: Liga Champions: Disiarkan Langsung SCTV Kamis Dini Hari WIB, Real Madrid Melawan Bayern Muenchen

sudah berapa lama ibu mertua wafat.

Semakin heran pula Ainun.

Belakangan ini suaminya sering menangis.

Baca Juga: Presiden Jokowi Tanggapi Santai Fotonya Hilang di Kantor DPD PDIP Sumatra Utara

 

Akhirnya Rama bercerita.

“Ainun, umur  di tangan Tuhan.

Baca Juga: Imigrasi Jakarta Barat Amankan 2 Warga Negara Asing Asal Nigeria dan Kamerun

Tapi aku merasa badanku sudah berbeda.

Waktuku segera tiba, Ainun.”

 

Baca Juga: China Minta Israel Hentikan Serang Rafah

“Bapak,” sanggah Ainun kaget dan takut. “Jangan ngomong begitu.”

 

“Aku sudah ke dokter, Ainun.”

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Jepang Menang Telak Melawan Thailand

 

Ainunpun menangis memeluk suami.

Rama ikut menangis memeluk istri.

Baca Juga: Liga Champions: Mats Hummels Bawa Borussia Dortmund ke Final

 

Semua ini akan ia tinggalkan.

Tak lama lagi.

Baca Juga: PM Banglades Sheikh Hasina Minta Organisasi Pengungsi IOM Cari Sumber Dana Baru untuk Warga Rohingya

 

Sore itu, Rama mengumpulkan istri dan dua anaknya.

 

Baca Juga: Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Ajak Semua Elemen Bangsa Sukseskan Pilkada Serentak 2024

Lima belas tahun lalu,

tahun 2006, ketika Rama menyerbu komunitas Ahmadiyah di ketapang,

usia Akbar masih 10 tahun.

Baca Juga: Kuasa Hukum Irman Gusman Optimistis, Mahkamah Konstitusi Kabulkan Permohonan Pemungutan Suara Ulang

Usia Rahmi masih 8 tahun.

 

Kini tahun 2021,

Baca Juga: Anggota DPR RI Kamrussamad: Stabilitas Politik Usai Pemilu 2024 Membuat Ekonomi Nasional Lebih Baik

tak terasa dua anaknya tumbuh dewasa.

 

Setelah cerita soal kondisi kesehatan,

Baca Juga: Pakar Politik UI Cecep Hidayat: Jika Ditunjuk Jadi Menteri, Eko Patrio Harus Bisa Menerjemahkan Visi Presiden

setelah satu keluarga saling peluk dan menangis sedih,

Rama menyampaikan pesan.

 

Baca Juga: Kemenag Nusa Tenggara Barat Terapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bagi Calon Haji yang Mau Berangkat

“Bapak ingin tinggalkan dunia ini tanpa beban.

Insha Allah, tak ada hutang materi bapak.”

 

Baca Juga: Dubes Iwan Bogananta Dampingi Komisi I DPR RI Kunjungi Pabrik Rendang Bella di Bulgaria

“Tapi ada satu yang mengganjal.”

Belum sempat selesaikan kalimat, Rama menangis.

Terguncang- guncang badannya.”

Baca Juga: Menag Yaqut Cholil Qoumas: 70 Ton Bumbu Indonesia Sudah Didatangkan untuk Penuhi Kebutuhan Jamaah Haji

 

Ainun istrinya memeluk Rama, tanpa suara, ikut menangis.

Akbar dan Rahmi menetes air mata. Menatap dari tempat duduk saja.

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: China Menang Melawan Australia

 

“Bapak ingin,” sambung Rama, “ibu, Akbar dan Rahmi mewakili Bapak.

Semua datang ke tempat pengungsian Ahmadiyah,

Baca Juga: Pilkada Jakarta, Pengamat Ujang Komarudin: Ahok dan Anies Sulit Dipasangkan

di Transito, Mataram.”

 

“Uang Bapak tak banyak.

Baca Juga: Menteri Dito Ariotedjo Minta Dukungan Pemerintah Jepang Desak Cerezo Osaka Izinkan Justin Hubner Perkuat Timnas

Berikan tabungan Bapak ini,

Dua puluh juta rupiah.

Sampaikan kepada RT di sana.

Baca Juga: Hamas Setujui Gencatan Senjata Usul dari Mesir dan Qatar

Gunakan uang ini untuk tambahan.

Untuk sekolah anak- anak Ahmadiyah di sana.”

 

Baca Juga: Senator Amerika Serikat Ancam Sanksi ke ICC Bila Perintahkan Menangkap Benjamin Netanyahu

“Jangan lupa, sampaikan juga, mohon maaf Bapak sebesar- besarnya.”

 

Ainun, Akbar dan Rahmi saling pandang.

Baca Juga: Usman Kansong Mencari Buku Spinoza tentang Konsep Tuhan yang Dianut Einstein

Betapa sudah berubah Bapak mereka.

 

Ainun, Akbar dan Rahmi berkunjung ke Transito.

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (5): Luka Itu Dia Bawa Sampai Mati

Mereka bersilahturahmi.

Berjumpa komunitas Ahmadiyah di pengungsian.

 

Baca Juga: Menteri PUPR Basuki Hadimuljono: Progres Rumah Dinas 36 Menteri di IKN Capai 87 Persen dan Selesai Juli 2024

Ainun, Akbar dan Rahmi mendengar banyak cerita.

 

“Saat awal pindah ke sini, tahun 2006, fasilitas pengungsi seadanya.”

Baca Juga: Pilkada Jakarta, Hasto Kristiyanto: PDI Perjuangan Cermati Figur Ahok dan Anies Baswedan

 

Yang lain menimpali:

“Setiap keluarga diberi sepetak ruangan.

Baca Juga: Menag Yaqut Cholil Qoumas Bertolak ke Arab Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Haji di Tanah Suci

Sekat ruangan itu  spanduk bekas pemilu.

Ada gambar PDIP.

Ada gambar Golkar.

Baca Juga: test

PKB.” (2)

 

Mereka tertawa.

Baca Juga: Gubernur Rohidin Mersyah: 200 Tahun Traktat London Jadi Momentum Bengkulu untuk Makin Strategis

Seolah tak ada kesedihan di sana.

 

“Rata-rata luas ruangan satu keluarga adalah 8x4 meter. “

Baca Juga: Senator AS dari Partai Republik Ancam Sanksi Keras ICC Jika Perintahkan Tangkap PM Israel Benjamin Netanyahu

 

“Tahun 2013, ada kemajuan.

Sekat ruangan dari spanduk partai berganti kain.”

Baca Juga: Selasa Ini, Vladimir Putin Akan Dilantik Sebagai Presiden Rusia untuk Masa Jabatan ke-5

 

“Tahun 2015, ada kemajuan lagi. Dari kain berubah tripleks sebagai pembatas ruang.”

 

Baca Juga: Diberi Tiket Gratis, Klub Qatar Al Duhail FC Minta Bantuan Dukungan Suporter Indonesia

“Sekarang kami sudah tidur di kasur. Dulu alas tidur kami dari kardus. Awalnya badan sakit- sakit. Lama- lama terbiasa.”

 

“Dulu, 800 orang Ahmadiyah tinggal di sini. Sekarang tinggal  120 orang jemaat Ahmadiyah  saja.”

Baca Juga: Indonesia Usul Pemotongan Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 dengan Korea Selatan Sehingga Jadi Rp7 Triliun

 

Akbar bertanya: “Apakah ada bantuan pemerintah?”

 

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Indonesia Dipermalukan Filipina

Ibu di sana menjawab. “Oh, ada. Bantuan  pemerintah sesekali  saja datang. Itu lebih untuk lansia, penduduk usia lanjut.”

 

Rahmi bertanya:  “pekerjaan apa yang dilakukan untuk nafkah keluarga?”

Baca Juga: China Respons Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr yang Tolak Gunakan Meriam Air di Kapal Penjaga Pantai

 

Bapak itu menjawab:

“Kami para pengungsi bekerja serabutan.

Baca Juga: Liga Inggris: Dikalahkan Crystal Palace, Manchester United Keluar dari Zona Eropa

Saya sebagai sopir ojek online.

Tetangga ada yang dagang di pasar.”

 

Baca Juga: Ganjar Pranowo Deklarasikan Diri Jadi Oposisi di Kabinet Prabowo-Gibran untuk Tegakkan Keseimbangan

Ibu itu menjelaskan lagi: “kami tak tahu sampai kapan tinggal di pengungsian.  Kami buat diri senyamannya. Kami ubah fasilitas di sini sebisanya.”

 

“ Tahun ini ke-15 kali kami akan berlebaran di sini, di pengungsian.”

Baca Juga: Anindito Aditomo: Literasi Siswa tentang AI Jadi Kunci Mencapai Peningkatan Mutu dan Kecakapan di Era Digital

 

Ainun bertanya: “Tak

Ingin kembali ke Ketapang, ke kampung halaman?”

Baca Juga: KPU Kota Cirebon Mulai 5 Mei 2024 Buka Pendaftaran Calon Perseorangan pada Pilkada 2024

 

Bapak itu menjawab dengan suara keras dan getir. “Itu yang kami mau. Tanah kami ada di sana. Sawah kami ada di sana.”

 

Baca Juga: Bupati Ahmad Muhdlor Ali Dijadwalkan Penuhi Panggilan KPK Terkait Kasus Korupsi di BPPD Sidoarjo Jawa Timur

“Walau rumah kami dibakar, rata dengan tanah, tapi itu tanah kami. Itu saya dapat dari warisan keluarga. Bapak ini malah membeli sendiri tanahnya. Ada sertifikat hak milik.”

 

“Satu jemaat Ahmadiyah mencoba pulang ke sana. Ingin tinggal kembali di sana. Ada juga yang hanya ingin berternak saja.”

Baca Juga: Vorta Beauty Clinic Buka Cabang Terbaru di Kelapa Gading Jakarta Utara, Tawarkan Pilihan Perawatan Kecantikan

 

"Baru bediri tembok saja, eehhhh, sudah kena tegur.

Ada yang baru bawa ternak, tapi ditakut- takuti.

Baca Juga: Polisi Buru Komplotan Pencuri Sepeda Motor di Kawasan Koja, Jakarta Utara

Akan diserbu lagi.”

 

“Mulanya tinggal di pengungsian merana sekali.

Baca Juga: Menparekraf Sandiaga Uno: World Water Forum Berpotensi Bawa Rp800 Miliar untuk Ekonomi Bali

Banyak  yang depresi berat.

Hampir gila.”

 

Baca Juga: Presiden China, Prancis dan Komisi Eropa Lakukan Pertemuan Trilateral di Istana Elysee, Paris

Ainun pun menyampaikan pesan suaminya.

 

“Mohon diterima.

Baca Juga: Pilkada Jakarta: PDI Perjuangan Buka Penjaringan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Mulai Rabu

Ini sumbangan dana dari suami saya.

Suami mohon maaf atas segala perbuatan.

Sungguh saya malu hati datang ke sini.”

Baca Juga: Setelah Ditangkap dan Digebuki Warga, Polres Metro Jakarta Selatan Amankan Pencuri Sepeda Motor di Tebet

 

“Tapi ini amanah dari suami.

Ia sedang sakit keras.

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Korea Utara Menang Telak Melawan Korea Selatan

Ia merasa waktunya tak lagi lama. Suami tak ingin menghadap Tuhan dengan beban”

 

Ainun menangis.

Baca Juga: KAS Eupen, Klub Tempat Shyane Pattynama Bermain di Liga Belgia Terdegradasi  

Bapak, Ibu dan ketua RT terdiam. Terharu.

 

Mereka menerima amanah.

Baca Juga: THE Asia University: Universitas Indonesia adalah Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia

Walau dari orang yang dulu mengusir mereka.

Ini amanah dari hati.

Dari orang yang akan menjemput kematian.

Baca Juga: THE Asia University: Universitas Indonesia adalah Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia

 

Lebaran pun datang.

Takbir menggema di langit kota Mataram.

Baca Juga: Palyoff Olimpiade 2024: Indonesia Sudah Tiba di Paris

Getaran yang suci menyebar, dibawa angin, menyelinap lewat jendela dan pintu rumah.

 

Rama kini duduk di kursi roda.

Baca Juga: Hamid Awaludin: Hamas Minta Mantan Wapres RI Jusuf Kalla Memediasi Upaya Akhiri Konflik di Palestina

Sore hari, ia minta diantarkan keluarga.

Rama ingin berkunjung ke Transito.

 

Baca Juga: KAMPUZ, Komite Aliansi Mahasiswa Anti Amerika dan Israel Ajak Semua Civitas Academica Dukung Palestina

Di sana, penghayat Ahmadiyah merayakan lebaran kelima-belas kali di pengungsian.

 

Rama ingin meminta maaf sekali lagi, atas kekerasan yang pernah ia lakukan.

Baca Juga: PBB Kecam Pelanggaran Kebebasan Pers oleh Israel Terkait Penutupan Kantor Lokal Al Jazeera di Yerusalem

Keyakinan agama Rama tak berubah.

Tapi suasana kematian menyadarkannya.

 

Baca Juga: Klasemen Formula 1: Max Verstappen Pimpin Klasemen Usai GP Miami

Ia harus lemah lembut menegakkan agama.

Rama katakan pada diri sendiri:

 

Baca Juga: Formula 1: Lando Norris Juara GP Miami

“Tak boleh ada paksaan.

Tak boleh ada kekerasan.

Tak boleh main hakim sendiri.

Baca Juga: Ahmad Azzam Muhammad, Siswa SMA Labschool Jakarta Diterima di 6 Perguruan Tinggi di Amerika: Terampil Menulis Esai

Kini semua kesalahanku harus kutebus. Sebelum kematian datang.”

 

Malam hari masih di hari lebaran.

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (4): 50 Tahun Kututup Rahasia Itu Rapat-rapat

Di pekarangan rumah.

Rama minta keluarga menurunkan kayu pentungan itu.

Yang dulu ia banggakan.

Baca Juga: Piala Thomas 2024: Indonesia Runner Up

 

Kayu pentungan kini tergeletak di rumput.

Rama menyiramnya dengan minyak tanah.

Baca Juga: Liga Belanda Eredivisie: PSV Eindhoven Juara

“Byaaar! Pentungan itu pun dibakar oleh Rama.

 

Ainun, Akbar dan Rahmi diam saja. Membiarkan Rama lakukan apa saja.

Baca Juga: Pemain Timnas Jay Idzes Bawa Venezia Menang untuk Dekati Promosi ke Serie A

 

Tengah malam, Rama kembali bermimpi.

Tentang dunia gaib itu.

Baca Juga: M Haris: Peserta MITA Tingkat Nasional Diminta Perkenalkan Wisata Bangka ke Masyarakat dan Dunia Internasional

Tentang besar, panjang dan gelapnya terowongan itu.

Tentang dirinya yang ada di sana.

Tentang cahaya itu.

Baca Juga: Lenovo Perkenalkan LISSA, Solusi AI Berkelanjutan Dalam Teknologi Informasi, Termasuk Kurangi Jejak Karbon

Oh betapa heningnya. Sejuknya. Damainya.

 

Namun ada yang berbeda.

Baca Juga: Ketum PKB Muhaimin Iskandar Kumpulkan 230 Bakal Calon Kepala Daerah yang Akan Diusung di Makassar

Rama tak lagi terbangun dari mimpi itu.

Rama tetap tidur.

Tidur  untuk selama- lamanya. ***

Baca Juga: Muhammadiyah Kabupaten Kediri Jawa Timur Tak Ingin Pilkada 2024 Hanya Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong

 

CATATAN

1. Berbagai wilayah Ahmadiyah di NTB diserbu dan diserang

Baca Juga: PM Israel Benjamin Netanyahu Sebut Tuntutan Gencatan Senjata Hamas Tak Dapat Diterima

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44187364.amp

2. Sudah 15 kali pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, merayakan lebaran di sana.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210513034534-20-642069/rindu-jemaat-ahmadiyah-15-kali-lebaran-di-pengungsian/amp

Baca Juga: Korea Selatan Ikut Pelatihan Perang Siber Multinasional yang Dipimpin AS pada 5-11 Mei 2024

Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012)

Berita Terkait