DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Idul Ghadir, Festival Muslim Syiah yang Merayakan Ali Sebagai Pemimpin Umat Penerus Nabi

image
Perayaan Idul Ghadir

ORBITINDONESIA - Ada perayaan istimewa bagi Muslim Syiah di Indonesia pada Senin, 18 Juli 2022. Ini bertepatan dengan 18 Zulhijjah tahun 1443 Hijriyah. Pada tanggal itu, Majelis Tahlil dan Sholawat Pimpinan Ust. Wahyu Yunus M.D. memperingati Hari Ghadir Khum atau Idul Ghadir.

Acara Idul Ghadir itu berlangsung di Kampung Ciparay, Kelurahan Lebakjaya, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Peringatan Ghodir Khum di Garut ini dihadiri sekitar 1.500 jamaah.

Idul Ghadir merupakan salah satu festival Muslim Syiah terbesar. Dalam hadis-hadis Syiah, hari raya ini disebutkan dengan frasa lain. Seperti, Idul Fitri Al-Akbar atau Idul Fitri terbesar. Atau, disebut juga Idul Fitri Ahlul Bayt Muhammad dan Ashraf Al-Ied.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Baca Juga: KPK Sebut Rektor Unila Prof Karomani dapat Dijerat Pasal TPPU

Ini dianggap sangat penting karena terkait penunjukan secara eksplisit Ali bin Abi Thalib. Ali disebut sebagai Imamah atau pemimpin umat setelah Nabi Muhammad SAW, Nabi terakhir.

Menurut kaum Syiah, berdasarkan khotbah Nabi Muhammad di Ghadir Khum, beliau memperkenalkan Ali sebagai penggantinya. Rasulullah mengumumkan suksesinya untuk semua Muslim.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Peristiwa ini dinamai Idul Ghadir karena terjadi di tempat bernama Ghadir Khum. Ghadir Khum adalah sebuah lokasi di Arab Saudi. Kira-kira terletak di tengah-tengah antara Mekkah dan Madinah.

Peristiwa ini persisnya ini terjadi pada 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah. Artinya, 10 tahun sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Atau, sama dengan tahun 632 Masehi.

Baca Juga: MotoGP Austria 2022: Gagal Naik Podium, Aleix Espargaro Tetap Bangga Sembari Berswafoto Bersama Keluarga

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Menurut Muslim Syiah, di Ghadir Khum telah dilakukan pengukuhan kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib oleh Rasulullah SAW. Penobatan ini terjadi setelah Rasulullah SAW selesai melaksanakan Haji Wada.

Haji Wada adalah ibadah haji perpisahan. Haji terakhir dan satu-satunya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sepulang melakukan Haji Wada di Makkah, rombongan Rasulullah pulang menuju Madinah. Di tengah perjalanan, rombongan sempat singgah di Ghadir Khum. Di tempat ini, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Teks Khutbah ini dengan sanad-nya berasal dari kitab al-Wilayah fi Thurug Ahadits al-Ghadir. Kitab ini ditulis oleh al-Hafidz Abi Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Atau, yang lebih dikenal dengan Ibnu Jarir ath-Thabari.

Baca Juga: Citra Mahasiswa Jalur Mandiri Jadi Rusak Karena Kasus Rektor Unila yang Ditangkap KPK

Menurut teks itu, Rasulullah SAW mengatakan: “Sesungguhnya aku diperintahkan Allah melalui Jibril, supaya berdiri di tempat keramaian ini, dan memberitahukan bangsa putih dan hitam bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washi-ku, penggantiku dan imam sepeninggalku. Tidak diperkenankan siapa pun menyandang gelar Amirul Mukminin sepeninggalku selain dia.”

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Kemudian Rasulullah SAW mengangkat Ali tinggi-tinggi. Sebegitu tingginya, sehingga kakinya sejajar dengan lutut Rasulullah.

Kaum Syiah percaya bahwa penyebutan ke Ali itu bukan cuma di Ghadir Khum. Nabi Muhammad menyebutkan dan menekankan suksesi ke Ali bin Abi Thalib setelah itu di tempat lain. Seperti peristiwa Yom al-Dar dan kisah perang Tabuk.

Fitur yang membedakan Ghadir Khum dari tempat lain adalah adanya ikrar kesetiaan. Ini sesuai dengan kebiasaan umum Arab waktu itu.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Baca Juga: Gara-Gara Amplop Irjen Ferdy Sambo, LPSK bakal Datangi KPK Hari Ini

Ada kesetiaan semua 120.000 orang yang hadir pada ritual haji. Dan setelah itu mereka hadir di Ghadir Khum.

Kesetiaan ini secara formal, lisan dan praktis, diambil alih oleh para penerus Ali. Muslim Syiah di seluruh dunia merayakan acara ini setiap tahun.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Festival ini diadakan dengan adat yang beragam. Ini diadakan di berbagai negara, seperti Iran, India, Pakistan, Azerbaijan, Irak. Juga Uni Emirat Arab, Yaman, Afganistan, Lebanon, Turki, Bahrain, dan Suriah.

Muslim Syiah juga merayakan ini di Eropa dan Amerika. Termasuk di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, dan Prancis.

Baca Juga: Robert Lewandowski Banjir Pujian di Ultah ke 34 Tahun Saat Bawa Barcelona Takklukan Real Sociedad

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Menurut riwayat, Hassan bin Ali biasa mengadakan upacara di Kufah pada hari Ghadir. Ia biasa mengikuti upacara tersebut dengan ditemani sekelompok pengikutnya.

Setelah upacara, Hasan bin Ali akan memberikan hadiah kepada orang-orang. Mengucapkan salam, berjabat tangan, memakai baju baru, menggunakan wewangian. Juga bersedekah, membantu orang lain, berdoa, memberi makan orang lain.

Terakhir, membuat orang lain bahagia dan memberi hadiah kepada orang lain. Semua itu adalah beberapa kebiasaan yang disarankan dalam riwayat.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Kaum Syiah menganggap Idul Ghadir sebagai hari raya umat Islam terbesar. Dan merupakan hari raya keagamaan terpenting bagi kaum Syiah. Idul Ghadir adalah hari libur resmi di Iran, yang mayoritas warganya penganut Syiah.

Baca Juga: Hasil Liga Spanyol: Barcelona Bungkam Real Sociedad, Robert Lewandowski Cetak 2 Gol di Ultah ke 34

Sebaliknya, Muslim Sunni tidak merayakan Idul Ghadir. Muslim Sunni juga tidak menerima kepercayaan Syiah akan penerus setelah Muhammad.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Hadis Gadir Khum menjadi titik tolak perpisahan mazhab Sunni dan Syiah. Padahal hadis ini juga terdapat dalam kitab-kitab hadis utama kaum Sunni. Para ulama Sunnah juga mengakui keabsahan derajat hadis-hadis tersebut.

Bahkan hadis-hadis itu dianggap mutawatir. Namun, antara kaum Syiah dan Sunni memiliki pemahaman yang berbeda. Perbedaan terjadi dalam memahami kata mawl?.

Kaum Sunni berpendapat, kata itu bermakna pelindung atau penolong. Sementara kaum Syiah berpendapat, kata itu bermakna khalifah atau pemimpin.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Baca Juga: Puan Maharani Dikawal Petinggi PDI Perjuangan Temui Surya Paloh

Perbedaan ini membawa kedua kelompok itu terlibat pertengkaran di sepanjang sejarah Islam.

Namun, banyak kalangan di Sunni dan Syiah berupaya membangun hubungan harmonis. Yakni, dengan mencari hal-hal yang sama di antara keduanya. Semata-mata untuk kepentingan ukhuwwah Isl?miyyah dan kejayaan umat Islam.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Semangat seperti inilah yang seharusnya kita teguhkan. ***

Berita Terkait