DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Puisi Esai Denny JA: Mata Dibalas Mata, Parang Dibalas Parang

image
Konflik Berlatar Primodial di Lampung tahun 2012 Membawa Banyak Penderitaan bagi Manusia.

 

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA – Penulis dan pegiat hak azasi manusia Denny JA tidak pernah kering dengan ide menyuarakan kehidupan dalam keberagaman di Republik ini.

Melalui karya puisi esainya, Denny JA juga mengugkapkan keprihatinan sekaligus kedamaian terhadap konflik yang berlatar etnis, termasuk yang pernah berkecamuk di Provinsi Lampung antara suku Lampung dan Bali tahun 2012.

Inilah salah satu puisi esainya yang ia tulis:

 

Mata Dibas Mata, Parang Dibalas Parang

“Wahai Laut Jawa yang maha luas.

Penyimpan segala.

Jaga adikku.”

 

“Sampaikan salamku padanya.

Mata akan berbalas mata.

Parang berbalas parang.

Katakan, aku kakaknya,

terus mencari siapa yang membunuhnya.”

 

“Adikku sayang.

Bantu Kakakmu dari dunia gaib sana.

Agar segera kutemukan pembunuhmu.

Dan kupenuhi janjiku pada Ibu.”

 

Khusyuk sekali Bharata hari itu.

Di tepi pantai pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, baru pukul 5 sore.

Tapi langit sudah agak gelap.

 

Hari itu, awal November 2015.

Tiga tahun sudah sejak ngaben kematian massal warga Bali asal desa Balinuraga, Lampung Selatan.

 

Di Laut Jawa, abu jasad Prastika, adik Bharata, dilarungkan. Disatukan ke laut.

 

“Dari air kembalilah kau ke air, Adikku.”

Saat itu, Bhatata melepas abu hasil ngaben pembakaran jenazah adiknya.

 

Sebisanya, Bharata menahan air mata.

 

Sejak saat itu, setiap tahun, setiap awal November, Bharata menghadap Laut Jawa.

 

Ia selalu ingat pesan Ibu, menjelang wafat.

Prastika masih berusia 8 tahun.

Bharata 10 tahun lebih tua.

Usia Bharata saat itu 18 tahun.

 

Tubuh sekarat, dengan suara lemah, tapi kuat pesan Ibu.

 

“Jaga adikmu, Bharata.

Ia tak sekuat dirimu.

Ibu belum ikhlas menghadap Tuhan sebelum mendengar janjimu.”

 

“Ayahmu di alam baka juga mendengar. Janjilah pada Ibu, Nak.”

 

Bharata pun berjanji kepada Ibu:

“Akan kujaga Adik selalu, Ibu.

Jangan ini memberatkanmu.

Kujaga adik dengan nyawaku.”

 

 

Setiap berkunjung ke laut itu,

berulang Bharata menangis.

“Maafkan Ibu.

Aku tak bisa menjaga Adik.

Tak kupenuhi janjiku padamu.”

 

“Aku tak tahu, Ibu.

Ketika Adik dibunuh,

aku tidak di sana.”

 

-000-

 

Tanggal 24 Oktober 2012.

Tak ada yang menduga,

jika tiga hari lagi, desa Balinuraga akan diserang oleh penduduk etnik lampung, dari desa Agom.

 

Bharata dan istri saat itu pergi ke Bali. Mereka menghadiri pernikahan adik sepupu.

Paman sangat ingin Bharata hadir.

 

Bharata juga mengajak Prastika.

“Aku di rumah saja, Kak,”

jawab Prastika.

“Aku selesaikan saja puri kecil ini. Juga patung akan kupahat ulang.”

 

“Salam saja buat Paman dan keluarga.”

 

Prastika bangga.

“Rumah Kakak mungkin paling bagus di seluruh desa.

Memang rumah Kakak tak semewah rumah Pak Raja.

Tapi rumah Kakak paling terasa nuansa Bali.”

 

“Tapi terasa kurang jika tak ada puri kecil di depan.”

 

Bharata juga sangat bangga dengak rumahnya.

Ibu dulu cerita rumah kakek di Bali.

 

Sebisanya Bharata terapkan filosofi arsitektur Bali di rumahnya, seperti rumah Kakek.

 

Ada tingkat ruangan.

Ruang Utama.

Ruang Madya.

Ruang Nista.

 

Bahan rumah juga banyak dari kayu yang diukir. Khas ukiran Bali.

 

Apa daya.

Justru karena rumah ini paling kuat, paling terasa nuansa Bali, rumah ini jadi sasaran utama.

 

Tanggal 27, 28, 29 Oktober 2012, tiga hari berturut-turut.

Desa Balinuraga diserang.

500 orang dari desa Agom menyerbu mendadak.

 

Mereka membawa parang, kayu pemukul, golok, senapan angin, pemancik api.

 

Ada komando yang teriak: “Bakar, bakar.”

 

“Hei orang kafir.

Penyembah berhala.

Pemakan babi.

Angkat kaki semua.

Pergi kalian dari sini.”

 

Ini tanah kami.

Tanah leluhur kami.

Kalian pendatang.

Mau sok kuasa di sini?”

 

Hujatan. Teriak ketakutan.

Tangisan. Erang kesakitan.

Suara api. Suara pentungan.

Jeritan minta tolong.

Semua terdengar. Tumpang tindih. Sambung menyambung.

 

Puluhan rumah terbakar.

14 tewas. 1200 orang Balinuraga pergi mengungsi.

 

Bharata pulang terlambat.

Ia hanya mendengar cerita saja.

 

Ujar tetangga:

“Aku sudah seret adikmu agar berlari. Pergi.”

 

“Adikmu tak mau. Katanya, ia sudah janji padamu. Ia harus menjaga rumah.”

 

“Aku hanya melihat dari kejauhan. Adikmu dikeroyok.

Aku melihat ada orang yang menyabet badannya pakai parang. Dari jauh juga terlihat rumahmu dibakar.”

 

Bharata menangis tak terkira.

“Adik, adik.

Rumah kita memang berharga.

Tapi nyawamu jauh lebih berharga. Mengapa kau tak lari saja, bersama yang lain?”

 

“Ampun, Adik. Apa yang harus kukatakan pada Ibu. Aku tak bisa menjagamu.”

 

-000-

 

Bharata sempat ingin balas dendam.

Sendirian, ia menyusup ke desa Agom.

Ia bawa parang.

 

Dalam hati, ia niatkan:

“Ini untukmu, Adikku.

Kubalas kematianmu.

Juga ini caraku meminta maaf pada Ibu.”

 

“Jika aku mati karena ini, tak apa. Yang penting aku sudah jalankan pembalasanku untukmu, Dik.”

 

Tapi Bharata ketangkap polisi.

Ia pun diangkut ke kantor polisi.

Sehari ia dikurung di penjara.

 

Lalu Bharata dibawa ke area pengungsian,

di SPN kemiling, 80 km dari desa Agom.”

 

Sesepuh menasehati Bharata.

 

“Berhentilah membalas dendam.

Sudah ada sepuluh kesepakatan.

Jangan kau rusak, Bharata.”

 

“Gara-gara dendam pribadimu, dua desa bisa perang lagi.

Aku mengerti kau kehilangan adikmu.

Aku juga kehilangan anakku.”

 

Itu sesepuh tunjukkan lembaran kesepakatan penduduk Lampung dan Bali. (1)

 

Antara lain:

Sepakat  berdamai.Sepakat tidak mengulangi kekerasan.

Sepakat tak lagi menyerang.

 

Sepakat jika berselisih, semua pihak melibatkan sesepuh masing-masing.

 

Sepakat tak saling menuntut secara hukum.

Sepakat jika ada masalah konflik selanjutnya, serahkan kepada aparat hukum.

 

Bharata hanya diam saja.

Tapi hatinya menolak.

Kesadaran purba di dirinya bekata:

 

“Aku tak ada urusan dengan kesepakatan. Ini masalah pribadi. Ini janjiku pada ibu. Persetan dengan itu semua.”

 

-000-

 

Sesepuh yang lain, kembali menasehati Bharata.

Rumahmu kita bangun lagi.

Ada dana bantuan pemerintah.

 

Sesepuh itu menunjukkan kertas dari polisi.

 

Pemerintah pusat membantu miliaran rupiah. (2)

Bantuan melalui Kementerian Sosial dan Perumahan Rakyat.

 

Ada bantuan rehabilitasi rumah.

Jumlah bantuan 11 juta rupiah per rumah.

 

Ada perbaikan sarana umum.

Renovasi tempat ibadah.

Perbaikan sekolah.

 

Keluarga yang meninggal juga diberi santunan.

Besarnya 5 juta per korban meninggal.

 

Bharata mendengar sesepuh itu tanpa respon.

Ia diam saja.

 

Tapi hatinya berkata:

“Persetan bantuan itu.

Aku juga punya uang.

Murah sekali mereka hargai nyawa Adikku.”

 

“Tapi ini bukan soal uang.

Ini janjiku pada Ibuku.

Ini soal adikku satu-satunya.”

 

Siang dan malam, Bharata berpikir.

 

Bagaimana menemukan siapa yang membunuh Adiknya.

500 orang dari desa Agom menyerbu.

Siapa dari 500 orang itu yang mengayunkan parang ke badan adiknya?

 

Jika aku bunuh siapa saja,

yang penting orang desa Agom, adilkah? Bisakah dibenarkan?

 

Kerja Bharata tak lagi fokus.

Istri Bharata paham awalnya.

Tapi sudah tiga tahun Bharata sering melamun.

 

Ini Bharata yang berbeda.

Ini mahluk yang pundaknya terlalu berat memikul dendam.

Ini hewan yang merintih karena rasa bersalah.

 

Istrinya sempat protes.

“Bharata, kau tak hanya punya adik.  Kau juga punya anak. Ia juga butuh perhatianmu.”

 

“Kau juga punya istri.  Aku juga butuh kehangatanmu.”

 

“Kau selalu murung.

Rumah kita juga jadi murung.

Sampai kapan?”

 

Tengah malam,  Bharata sering terpana.

Betapa berat memikul beban sebuah dendam.

Apalagi, ia tak tahu siapa yang membunuh adiknya.

Tak tahu pula cara mencarinya.

 

Ia pernah lapor polisi.

Kata polisi:

 

“Itu  amuk massa.

Ada 500 orang yang menyerang.

Bagaimana cara tahu satu dari 500 orang itu, yang membunuh adikmu?”

 

“Polisi bisa saja menyelidiki.

Tapi kan sudah ada kesepakatan para sesepuh.

Kasus ini ditutup.”

 

“Tak adil ini pak,” sanggah Bharata. “Ini kriminal. Mengapa kasus ini dikalahkan oleh kesepakatan sesepuh desa?”

 

Kata polisi: “kau bicara saja dengan sesepuhmu di sana. Jika kesepakatan dilanggar, apa kau siap desamu diserang lagi?”

 

Karena renungan yang intens.

Karena beban dendam yang makin berat,

malam itu, selepas berdoa,

Bharata bermimpi.

 

Ibunya datang.

Pakaian ibu serba putih.

Ibu memangku adik.

 

Terjaga dari mimpi, Bharata menangis tersedu.

Bharata semakin merasa bersalah.

Janjinya pada ibu tak bisa ia penuhi.

 

-000-

 

Bharata mencari Guru Dewo.

Ini orang tua yang sakti. Penuh welas asih. Ia punya indera keenam.

 

Guru Dewo sejak lama hidup menyepi, di dekat hutan.

Empat jam perjalanan naik motor menuju tempat Guru Dewo.

 

Bharata sampaikan beban hidupnya. Rasa bersalahnya.

 

Guru Dewo berkata:

“Nak, kau perlu peristiwa puncak. Lalu dari sana, semua akan diakhiri.”

 

“Pergilah kau ke laut yang menyimpan abu jasad adikmu. Bicaralah dengan adikmu di sana. Bicaralah dari jiwamu. Tanpa kata.”

 

Guru dewo memberikan air untuk diminum Bharata. Dipegangnya kepala Bharata.

Terdiam Bharata. Ada rasa hening menyusup di hati. Hening yang gaib.

 

Sore itu.

Di Laut Jawa,

di awal november 2015,

Bharata menyewa perahu.

 

Ia minta diantar ke tengah laut.

Itu area ketika ia melepaskan abu jasad adiknya.

 

Di area yang sama,

Bharata berdoa dan berucap kepada adiknya.

 

“Adikku sayang,

maafkan Kakak.

Aku tak bisa menemukan pembunuhmu.

Dan aku tak bisa terus menyimpan dendam.”

 

Bharata mengeluarkan parang dari tasnya. Ia kembali bicara kepada abu jasad adiknya di laut.

 

“Ini parang sudah kusiapkan, Dik.

Mata berbalas mata.

Parang berbalas parang.

Orang yang membunuhmu dengan parang, akan kubunuh juga dengan parang ini.”

 

“Maafkan aku, Dik.

Aku tak bisa menuntaskannya.”

 

“Kucukupkan memikul dendamku.

Marahku harus kubuang.

Aku punya istri dan anak.

Mereka selama ini kulupakan.”

 

“Istirahatlah, Dik.”

 

Bharata lalu membuang parangnya ke laut.

Dibuangnya pula dendamnya.

Dibuangnya pula rasa bersalah.

 

Hujan turun.

Mereka kembali ke pantai.

 

Tukang perahu menatap wajah Bharata.

Basah.

Tak lagi bisa  tukang perahu itu bedakan air di wajah Bharata

Mana air hujan?

Mana air mata?

 

Sampai di pantai.

Bharata merasa lega.

 

Tiga tahun sudah.

Ia lebih memikirkan yang mati.

Tiga tahun sudah, ia tak memperhatikan tanggung jawabnya kepada  yang hidup. ***

 

CATATAN

(1) Terjadi 10 kesepakatan damai etnik Lampung dn Bali dalam konflik di tahun 2012.

https://nasional.tempo.co/amp/439634/sepuluh-kesepakatan-warga-yang-bentrok-di-lampung

(2) Pemerintah menurunkan bantuan kepada korban konflik

https://www.beritasatu.com/archive/81570/miliaran-rupiah-untuk-korban-konflik-warga-di-lampung

Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).

Berita Terkait