DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kuratorial Lukisan Denny JA, Resma Ramesh dkk di Pameran Seni Rupa International Minangkabau Literacy Festiva

image

Oleh Iswandi

ORBITINDONESIA.COM - Pameran seni rupa yang menjadi salah satu kegiatan pada International Minangkabau Literasi Festival (IMLF) 2023 terbilang unik dan istimewa, khususnya dari materi karya-karya yang ditampilkan.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Pada pameran ini karya-karya konvensional dengan corak naturalis, realis dan abstrak yang menjadi ciri dari perkembangan awal seni rupa modern di Indonesia bersanding dengan karya-karya yang pada perkembangan terkini di katagorikan kedalam Digital Art (fotografi dan  Artificial Inteligence).

Lima orang seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini diantaranya Minda Sari (Padang – Indonesia), Nazhatulshima Nolan (Malaysia), Herisman Is (Pekanbaru –Indonesia), Reshma Ramesh (India) dan Denny JA (Jakarta – Indonesia) membawa bahasa rupa yang berbeda satu dan yang lainnya.

Minda Sari sebagai salah seorang pelukis senior Sumatera barat masih setia dengan corak naturalisnya dengan objek pemandangan alam yang ada di ranah Minang.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Herisman Is yang saat ini berdomisili di kota Pekanbaru hadir dengan beberapa buah lukisan abstrak yang sudah menjadi ciri khas dari karya-karyanya dari dulu.

Sementara Reshma Ramesh salah seorang penyair dari India mengetengahkan puluhan karya –karya fotografinya.

Artificial intelligence (AI) yang saat ini menjadi fenomenal dan memiliki pengaruh dalam dunia seni rupa terlihat pada karya-karya Denny JA.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Disamping bahasa visual yang sangat beragam, pameran Lintas Masa juga istimewa karena karya-karya dibangun dari kultur yang juga berbeda dari para senimannya.

Namun demikian, nilai-nilai spiritualitas personal dipadu dengan problematika sosial dan kemudian dipresentasikan kedalam bentuk karya sepertinya menjadi kecenderungan umum yang terlihat pada karya-karya peserta pameran.

Dalam hal ini sangat terlihat karya-karya mereka sangat personal dan sarat dengan pesan-pesan yang bersifat transidental, dimana para seniman seolah-olah mengajak para apresiannya untuk kembali merenungi nilai – nilai religi, etika dan moralitas.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Membangun ikatan atau mencari titik sambung dengan kecenderungan bahasa serta media yang berbeda dalam sebuah pameran tentunya bukanlah perkara mudah.

Salah satu aspek yang dirasa memungkinkan untuk mendapatkan ketersambungan keempat peserta pameran adalah menelaah sisi histori dari perkembangan seni rupa. Dimana antara naturalisme hingga digital art berada  dalam lintasan perkembangan seni rupa dari masa ke masa.

Inilah yang melatarbelakangi pemilihan tema pameran ini, Lintas Masa. Selain perihal perkembangan, cakupan dari tema pada pameran ini juga tidak terlepas dari ruang sosial para perupanya yang menjadi gagasan dalam penciptaan karya.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Corak Naturalistik

Di Minangkabau (baca: Sumatra Barat), naturalistik diperkenalkan kepada kaum pribumi di Hindia Belanda oleh para pelukis Belanda atau bangsa Eropa lainnya baik belajar secara pribadi maupun, melalui pendidikan menggambar/melukis di Kweek School.

Naturalistik awalnya berasal dari aliran Barbiinzon di Perancis. Lukisan naturalistik (pemandangan alam) merupakan kesukaan masyarakat kelas menengah (borjuasi) di Eropa.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Lukisan bercorak naturalistik muncul bersamaan dengan perkembangan kelas menengah, yaitu kelas masyarakat yang berlatar belakang saudagar dan pengusaha yang kurang menyukai lukisan yang menggambarkan adegan cerita dari Injil sebagai ciri lukisan abad pertengahan di Eropa.

Corak ini berawal dari munculnya pergeseran cara pandang dari the age of authority menjadi the age of reason yang membawa pengaruh besar terhadap perubahan sosial pada masa neoklassisme di Eropa.

Sebuah babak baru memunculkan terjadinya pertentangan sosial antara kaum bangsawan dengan kaum borjuasi. Kaum borjuasi lebih memilih lukisan bercorak naturalistik (Pemandangan Alam).

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Corak yang berasal dari aliran Barbiinzon Perancis inilah yang dibawa oleh para pelukis Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia) pada abad ke-19.

Tokoh –tokoh naturalis seperti Raden Saleh, Abdullah Suryosubroto, Mas Pirngadie, Wakidi dan Basuki Abdullah adalah penggerak corak Naturalis di Indonesia.

Tebaran corak naturalistik sebagai bentuk modernitas seni rupa di Sumatra Barat dipelopori oleh pelukis pada Wakidi pada tahun 1940-an.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Dalam perjalanannya hingga sekarang, Wakidi melahirkan para murid – muridnya yang dikenal dengan istilah Wakidian. Corak Naturalistik menjadi satu-satunya corak dalam perkembangan seni lukis modern periode awal perjalanan seni rupa Sumatera Barat.

Salah seorang Wakidian yang hingga saat ini masih aktif berkaya adalah pelukis Minda Sari yang pada saat ini menjadi salah satu peserta pameran Lintas Masa Minangkabau International Literacy Festival.

Seni Abstrak

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Sejarah perkembangan seni abstrak dimulai di Eropa pada abad ke-19 dan kemudian berkembang pesat di Amerika Serikat pada awal abad ke-20.

Pada awal kemunculannya, seni abstrak berhasil menjadi aliran seni baru, sebagai bentuk respon terhadap karya-karya realis.

Para pelukis mulai merepresentasikan obyek nyata ke seni abstrak dengan mengutamakan warna simbolik dibanding warna alami.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Saat beralih ke seni abstrak, para pelukis di era itu mulai mengabaikan tiruan kenyataan atau obyek nyata alam dan lebih memilih membuat isyarat obyek tersebut.

Para pelukis juga lebih mengutamakan gagasan mereka tentang karya seni yang akan dibuat, dibanding observasi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi juga salah satu alasan berkembangangnya seni abstrak.

Di Indonesia seni abstrak berkembang pada era 1950-an melalui para tokoh pelukis yang umumnya berasal dari Bandung dan Jogjakarta.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Pada awal perkembangannya di Indonesia corak abstrak dibagi menjadi dua yaitu figuratif dan non figuratif. Dalam hal ini ekspresionime dengan tokoh-tokohnya seperti Affandi. Zaini, Popo Iskandar dikategorikan kedalam seni abstrak Figuratif.

Sementara karya – karya Ahmad Sadali, A.D Firous dan beberapa orang lagi katagori seni Abstrak non figuratif.

Seni abstrak sendiri cukup berkembang di Sumatera Barat sejak era 70-an sampai sekarang. Pengaruh perkembangan corak ini tidak terlepas dari tokoh – tokoh pelukis asal Sumatera Barat yang cukup berperan dalam perjalanan seni abstrak di Indonesia diantaranya Oesman Efendi, Zaini, Muchtar Apin dan Nashar.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Pembahasan seni abstrak dalam tulisan ini tentunya berkenaan dengan keikutsertaan perupa Herisman Is pada pameran seni rupa lintas waktu yang karya –karyanya konsisten dengan gaya abstrak sejak dulu.

Dua buah karya Herisman Is dibangun oleh kekuatan rasa yang disajikan melalui permainan garis dan warna. Cerita tentang perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Minankabau (Sumatra Barat) sangat terlihat dalam lukisan Herisman Is yang ditampilkan melalui simbol warna – warna marawa (Hitam, Merah dan kuning).

Torehan garis- garis yang kasar dan spontan seolah pernyataan bahwa herisman Is mencoba melepaskan kegelisahannya dalam memandang perubahan yang ada, khususnya  perubahan nilai dan pergeseran makna filosofi adat Minangkabau.

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Ekspresionime

Corak ekspresionis terlihat dari tiga buah karya Nazhatulshima Nolan, pelukis sekaligus penulis berkebangsaan Malaysia pada pameran lintas masa.

Lukisan-llukisannya dibangun melalui perpaduan antara luapan emosi  dan bahas visual yang cenderung ekspresif.

Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat

Karya-karya Nazatukshima Nolan mengingatkan kita kepada esensi awal berkembangnya ekspresionisme pada abad ke-19 yang diilhami oleh aliran simbolisme.

Obyek- objek yang dihadirkan diatas kanvas penuh dengan simbol tentang kehidupan dan alam dengan bahasa–bahasa kontradiktif, sebagaimana halnya kelahiran ekspresionime yang memandang alam yang telah berubah dan tidak lagi indah seperti pandangan kaum realis.

Seniman memiliki ingatan dan cara pandang tersendiri dari apa yang pernah dilihatnya di alam, lalu diekspresikan pada karyanya.

Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan

Seniman ekspresionis mengabaikan berbagai teknik penciptaan formal untuk mendapatkan ekspresi yang lebih murni dan tanpa tekanan dari kepentingan ekstrinsik seni.

Singkatnya dapat dikatakan bahwa Ekspresionisme adalah aliran seni rupa yang menonjolkan ungkapan dari dalam jiwa.

Ekspresionisme muncul sebagai bagian dari reaksi terhadap Impresionisme dan seni akademis klasik yang sudah mencapai puncak artistik yang mapan yang dianggap terlalu kaku karena hanya meniru alam.

Baca Juga: Syafrin Liputo: DKI Jakarta Bebas Kendaraan Bermotor Malam Natal dan Tahun Baru di Jalan Sudirman-MH Thamrin

Ekspresionisme sangat diilhami oleh aliran Simbolisme pada seni abad ke-19. Vincent van Gogh, Edvard Munch, dan James Ensor adalah seniman-seniman yang sangat berpengaruh pada munculnya aliran ekspresionisme.

Gerakan aliran ekspresionisme berlangsung dari sekitar 1905 hingga 1920 dan menyebar ke seluruh Eropa bahkan dunia.

Istilah aliran ekspresionisme juga pada awalnya sering digunakan untuk mengkategorikan para seniman post-impresionisme.

Baca Juga: Taman Mini Indonesia Indah Gelar Konser Musik untuk Natal dan Tahun Baru

Itu sebabnya mengapa Vincent Van Gogh juga sering disebut sebagai pengusung aliran ekspresionisme. Karena ia memang dikategorikan sebagai ekspresionis sebelum pengkategorian aliran Post-Impresionisme dibuat.

Vincent juga dapat dikatakan sebagai seorang ekspresionis, Karena ia merupakan salah satu tokoh penting dari kemunculan aliran ini.

Beberapa seniman yang menjadi tokoh penting dalam aliran ekspresionisme meliputi Edvard Munch dengan lukisan “The Scream”, Ernst Ludwig Kirchner, dan nama Affandi adalah seorang maestro dalam seni luks Ekspresionisme di Indonesia.

Baca Juga: Dinas Kesehatan: Pengidap COVID 19 di Jakarta Mencapai 200 Kasus per Hari

Seni fotografi

Perkembangan seni rupa modern yang diawali dengan penemuan teknologi fotografi pada pertengahan abad 19 yang lalu telah mempengaruhi cara pandang dalam berkesenian di seluruh dunia khususnya dalam bidang seni rupa dan desain, selain muncul beragam aliran baru dalam seni lukis, muncul pula berbagai gerakan dan pendidikan seni dan desain dengan metode baru yang lebih konstruktif.

Demikian pula berpengaruh terhadap aspek pemanfaatan teknologi dalam seni. Fotografi dapat diartikan sebagai sebuah cara melukis dengan menggunakan media cahaya.

Baca Juga: Relawan Santri Muda Garut Dukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD

Fotografi seakan mampu menggantikan peran lukisan sebagai sebuah seni representasi karena hasil yang dihasilkan kamera saat itu mirip atau menyerupai lukisan.

Dengan melihat pengertian dan awal perkembangan fotografi, terlihat bahwa fotografi berusaha masuk dalam kategori seni visual yang mampu merepresentasikan keindahan secara sempurna bak sebuah lukisan.

Pada pameran Lintas Masa ini ditampilkan karya-karya fotografi Reshma Ramesh, seorang sastrawan sekaligus fotografer asal India.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Ikut Kirab Budaya Nitilaku UGM  Yogyakarta

Karya-karya fotografi Reshma Ramesh lebih banyak bercerita tentang alam, realita sosial yang sarat dengan nilai-nilai moral dan religi.

Kemunculan seni berbasis teknologi digital termasuk karya-karya fotografi dan video art yang berkembang di Eropa dan kemudian menyebar hingga ke Indonesia, telah memperkenalkan media dan paradigma baru dalam berkesenian yang tidak terbatas lagi pada media, ruang, waktu dan konteks tertentu.

Pada karya-karya fotografi Reshma Ramesh tersaji sebuah narasi tentang eksotika dan romantisme kehidupan manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari semesta.

Baca Juga: Buruh Rokok di Kudus Deklrasi Dukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka

Kemampuannya meramu ide lokal menjadi global, tradisi menjadi modern, serta mengangkat nilai-nilai spiritualitas dari masa lampau menjadi kontekstual patut diapresiasi sebagai sebuah upaya untuk menjaga ‘kemurnian’ ditengah hiruk pikuk globalisasi saat ini.

Artificial Intelligence (AI Arts)

Pesan-pesan spritualitas juga sangat terasa pada karya-karya artificial intelligence ( AI Arts) oleh Denny JA.

Baca Juga: Pesantren Lirboyo Kediri Dukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar

Proses berkarya bagi Denny JA sepertinya merupakan sebuah media kontemplasi sekaligus penyeimbang ditengah hiruk pikuk kehidupannya sebagai seorang konsultan, enterpreneur, dan peneliti.

Spiritualitas dalam berkarya Denny JA tidak terlepas dari pengaruh berbagai karya maestro dunia di era impresionis seperti Van Gogh, Monet, dan para maestro dunia lainnya.

Perjalanan batin yang ia rasakan saat menikmati karya para maestro dunia tersebut ternyata memberikan pengaruh besar dalam proses kreatifnya.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Neng Dara Affiah: Umat Islam tidak Punya Alasan Menolak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Pada pameran Lintas Masa ini, Denny JA mencoba membawa kita menyusuri perjalanan kontemplatif ke dalam ruang batin dengan menghadirkan atmosfer dari lukisan-lukisan impresionis para maestro dunia lewat sentuhan teknologi artificial intelligence.

Akan halnya lingkup senirupa berbasis artificial intelligence yang menjadi fenomena baru dalam perkembangan senirupa modern saat ini, tentu sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut.

Teknologi digital membuat batasan pada klasifikasi seni menjadi semakin baur. Seperti halnya ketika awal berkembangnya seni fotografi,  keterlibatan Artificial intelligence dalam dalam dunia seni menimbulkan berbagai pertanyaan dan melahirkan diskursus panjang.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam Terus Berkembang

Di satu sisi, khususnya para pelaku seni rupa mempertanyakan apakah karya yang dihasilkan AI merupakan karya seni.

Pertanyaan ini tentunya berdasarkan bahwa karya seni dibuat dengan jiwa dan emosi pekaryanya, hal yang tidak bisa digantikan oleh mesin.

Senada dengan pendapat ini, sebagian orang menganggap bahwa seni tidak selalu bergantung pada apa yang didapatkan oleh audiens ketika mengapresiasinya.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis SATUPENA Hadirkan Neng Dara Affifah dalam Diskusi Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam

Sisi lainnya berpendapat bahwa AI hanyalah sebagai media atau alat yang dimanfaatkan oleh seniman  dalam menuangkan berbagai ide dan gagasan. Dan hasil karya yang di buat dengan media AI tetap memiliki emosi dan jiwa berdasarkan si pembuatnya.

Disadari atau tidak, penggunaan AI dalam bidang seni kreatif sudah menjadi hal wajar untuk sebagian besar orang. Fitur-fitur yang sering kita jumpai di perangkat lunak penyunting gambar seperti penghalus garis, penajam gambar, sampai ke penghapus latar belakang otomatis merupakan salah satu sistem kecerdasan buatan yang dapat memudahkan manusia di bidang seni kreatif.

Salah satu hal yang menjadi batasan utama AI dalam menciptakan sebuah seni adalah ketidakmampuan-nya untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman manusia.

Baca Juga: Kampanye di Pelabuhan Perikanan, Nelayan Minta Gibran Bikin Aturan yang Memudahkan Penjualan Ikan

Meskipun AI dapat menganalisis dan belajar dari sejumlah data yang besar secara cepat, AI tidak memiliki kemampuan untuk berempati dan memahami kompleksitas dari kondisi manusia.

Artinya, ide kreatif dan solusi yang dihasilkan oleh AI akan cenderung memiliki keterbatasan pada kedalaman emosional dan nuansa yang menjadi ciri khas pemikiran terbaik manusia.

Namun terlepas dari segala polemik tentang kehadiran artifical intelligence dalam senirupa, seni adalah sebuah media penyampai pesan, konsep atau gagasan yang dinarasikan oleh senimannya.

Baca Juga: Ahmad Syahroni Nasdem: Anies Baswedan Harapan Perubahan untuk Indonesia Timur

Pemikiran, perenungan dan berbagai pengalaman spiritual yang terangkum dalam perjalanan hidup tentunya dapat diabadikan dalam berbagai media.

Pada akhirnya keberhasilan sesungguhnya bagi seorang seniman adalah ketika pesan atau narasi yang disuguhkan dalam karya-karyanya dapat dirasakan dan menyentuh sanubari para penikmatnya. ***

 

Berita Terkait