DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Manuel Kaisiepo: Soeharto...

image
Mantan Presiden RI ke-2, Jendral Soeharto

ORBITINDONESIA.COM - Hari ini 20 tahun lalu (21 Mei 1998), Soeharto mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI setelah berkuasa selama 32 tahun. Suatu keputusan historis yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tapi bukankah mundur pertanda kegagalan? Sebaliknya hari-hari terakhir ini kita dikejutkan oleh publikasi hasil survey IndoBarometer: Presiden Terbaik di Indonesia adalah Soeharto! Soekarno di urutan ke-2, disusul Jokowi ke-3, Susilo Bambang Yudhoyono, BJ Habibie, Gus Dur, dan terbawah Megawati. Sungguh mengherankan!

Lalu teringatlah slogan politik yang dulu pernah populer dan kini lebih populer lagi lewat lagu penyanyi yang lagi ngetop Via Vallen: "isih penak jamanku toh!" Tentang mundurnya Soeharto, sudah banyak kajian tentang peristiwa monumental itu, baik dari sisi politik maupun dari sisi ekonomi.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Baca Juga: Sabar: Saya Tidak Ada Rasa Empati dan Kasihan Sedikit pun untuk Johnny G Plate dan Nasdem

Intinya rezim Orde Baru (OB) di bawah kendali Soeharto mengalami guncangan dahsyat akibat krisis moneter 1998 yang akhirnya ikut mendelegitimasi rezim dan khususnya Soeharto.

Tetapi tetap merupakan misteri ! Bagaimana seseorang dengan karakter kuat seperti Soeharto bisa menyerah.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Ada tekanan internasional? Karena demo mahasiwa? Karena mundurnya para menteri? Atau ancaman kudeta dari dalam negeri? Sebagai jenderal "berdarah dingin" dan maestro strategi, yang mengendalikan sepenuhnya militer, jelas tidak terbayangkan ancaman semacam itu.

Apakah peristiwa pengunduran diri Soeharto ini bisa juga dipahami dari perspektif yang lain?

Baca Juga: Menikmati Panorama 8 Pantai di Taman Nasional Baluran Situbondo, Wisata Bahari Baru yang Lagi Hits

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Seorang teman berkelakar: ini peristiwa "religio-mistis" yang hanya bisa dipahami lewat konsep hubungan kekuasaan dalam kultur Jawa yang dihayati dan menjadi acuan seorang Soeharto.

Memang mungkin tidak valid, tapi setidaknya menggelitik rasa ingin tahu: bagaimana kekuasaan diperoleh, dikelola, dipertahankan, dan kapan berakhirnya.

Maka teringatlah tulisan lama Ben Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture", atau juga buku klasik karya Pak Soemarsaid.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Sudah lama kajian Soemarsaid Moertono tentang konsep negara pada era Mataram abad 16-18 membantu memberikan pemahaman yang baik atas topik ini lewat bukunya, STATE AND STATECRAFT IN OLD JAVA: A STUDY OF THE LATER MATARAM PERIOD, 16th to 19th CENTURY (Cornell MIP, 1968).

Baca Juga: Teluk Love Jember, Bukit Paling Romantis dengan Pemandangan Pantai Selatan yang Eksotis

Menurut kajiannya, dalam konsepsi Jawa kekuasaan itu sakral, legitimasinya dari "langit". Penguasa adalah representasi kekuasaan adikodrati, sehingga legitimasinya tidak boleh dipersoalkan.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Kekuasaan itu tidak usah dicari. Itu adalah nasib baik, "pinesti" (sudah ditentukan), "tinitah" (ditakdirkan), istilah pinjaman bahasa Arab, "takdir".

Kekuasaan itu baru akan berakhir ketika si penguasa memiliki pamrih, sehingga mendapat hukuman tidak lagi memperoleh legitimasi dari "langit". Contoh-contoh karakter kekuasaan macam ini banyak dijumpai dalam Babad Tanah Jawi, misalnya kisah Jaka Tingkir dan Ki Ageng Pamanahan.

Kajian yang juga mengupas lebih dalam lagi tema ini adalah dari Ben Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture", yang pertama kali dimuat dalam Claire Holt (ed.), CULTURE AND POLITICS IN INDONESIA (1972).

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Baca Juga: Deretan Mobil Mewah yang Nongkrong di Film Fast X, ada Chevrolet Impala hingga Lamborghini Gallardo

Tulisan itu kemudian dimuat kembali dalam Ben Anderson, LANGUAGE AND POWER: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990).

Lewat kajiannya ini, Ben Anderson mengungkapkan bahwa berbeda dengan konsep kekuasaan modern di Barat yang selama ini dipahami; dalam kultur Jawa kekuasaan itu bersifat kongkret, homogen, besarnya konstan, dan kekuasaan itu tidak mempertahankan keabsahan.

Dari kajian Soemarsaid Moertono dan Ben Anderson yang kemudian dikembangkan para ilmuwan lainnya, kita bisa memperoleh pemahaman bagaimana negara Indonesia di bawah Soeharto berkarakter patrimonial ala Mataram abad 15. Dan Soeharto sendiri membayangkan dirinya seorang Sultan atau Raja Jawa.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Pemusatan kekuasaan, otoritarianisme, 'state-corporatism', manipulasi konsep "manunggaling kawulo-gusti" ke dalam paham negara integralistik, adalah sebagian ciri-ciri karakter patrimonial Mataram masa lalu yang diadopsi dalam era Orde Baru.

Baca Juga: Suka Olahraga Surfing, Inilah Rekomendasi Tempat Menginap Terdekat di Pantai G Land Taman Nasional Alas Purwo

Celakanya karakter patrimonial Mataram ini mendapat "pembenaran" dari konsep-konsep ilmu sosial Barat saat itu dengan modernisasi dan pembangunan sebagai grand theory.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Usaha mewujudkan modernisasi (pembangunan) membutuhkan prasyarat stabilitas politik, seperti kata Huntington.

Dan stabilitas politik membutuhkan kepemimpinan yang kuat, bila perlu otoriter. Kritik dalam masyarakat harus dibungkam, karena itu adalah patologi sosial dalam struktur masyarakat ideal model Parsonian.

Tertib sosial dan stabilitas politik menjamin pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya membawa 'trickledown effect' bagi rakyat kebanyakan. Ideal bukan?

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Baca Juga: Adian Napitupulu: PDI Perjuangan dan 7 Kemenangan Jokowi

Maka tak heran bahwa pada awal kekuasaanya, Soeharto (dengan teknokrat dan militer) merumuskan doktrin terkenal: TRILOGI PEMBANGUNAN (1.Stabilitas politik, 2. Pertumbuhan ekonomi, dan 3. Keadilan sosial atau pemerataan). Stabilitas politik di urutan teratas.

Tertib sosial dan stabilitas untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di bawah Soeharto pada fase awal terutama medio 1970-80an memang berhasil mewujudkan konsepsi lama "toto tentrem kerto raharjo, gema ripah loh jinawi."

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Atau seperti yang dikemukakan Herbert Feith, Orde Baru Soeharto adalah contoh bagus "rezim represif-developmentalis!".

Semua kajian dalam perspektif kultural di atas menunjukkan, dalam alam pikiran atau kultur Jawa, kekuasaan itu bersifat adikodrati, numinus, "ilahiah".

Baca Juga: Cetak Sejarah, Jakarta Bhayangkara Presisi Melaju ke Final Asian Club Volleyball Championship

Maka penguasa yang bijak, wicaksono dalam memahami dan menafsir konsepsi ini, tidak akan khawatir atas kelanggengan kekuasaannya selama ia merasa benar dan tidak punya pamrih dalam menjalankan kekuasaannya.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Sebaliknya, dia akan mundur apabila dia menyadari telah kehilangan legitimasi "langit", yang ditandai oleh munculnya berbagai peristiwa yang tidak dialami sebelumnya.

Bisa bencana alam, wabah penyakit, kelaparan (kegagalan ekonomi), kerusuhan, dan seterusnya, adalah sasmita, simbol atau sinyal delegitimasi kekuasaan. "Kesaktian" (atau "karisma" dalam pengertian Weber) yang dimiliki sang penguasa sudah hilang, sirna!

Apakah mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan 20 tahun lalu adalah manifestasi pemimpin Jawa yang wicaksono, paham bahwa karismanya sudah hilang?
Atau ada faktor lain? Silahkan dikaji dan tafsir sendiri? 

Catatan: tulisan ini pertama kali dipublikasikan 21 Mei 2018. ***

Berita Terkait