DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr Abdul Aziz: Korupsi Itu Extraordinary Crime, Marsekal

image
Dr. Abdul Aziz, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.

Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta

ORBITINDONESIA.COM - Esensi korupsi "dikaburkan" bendera korps militer. Sampai-sampai (sesampai) tersangka korupsi Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi, minta KPK menghormati posisinya sebagai militer aktif.

Seperti kita ketahui: KPK menetapkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Kabasarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus suap Rp 88,3 miliar (26 Juli 2023).

Sebelumnya, KPK menetapkan Koordinator Administrasi Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka untuk kasus yang sama. Mereka diduga menerima suap dalam pengadaan alat-alat elektronik untuk deteksi korban reruntuhan akibat bencana dari 2021-2023.

Baca Juga: Seorang Pelajar 15 Tahun Tewas Usai Jadi Korban Penganiayaan Anak Ketua DPRD Ambon, Alasannya Sepele

Namun Marsdya Henri Alfiandi menolak penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Menurut Henri, KPK dalam kasus tersebut telah bertindak melebihi kewenangannya. TNI juga menganggap penangkapan Marsdya Henri melanggar UU.

Henri menegaskan dirinya masih menjadi prajurit aktif. Karena itu KPK harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono dalam melakukan penegakan hukum.

Pernyataan Henri pun mendapat dukungan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda Agung Handoko.

Sesampai Danpuspom mendatangi Gedung Merah Putih (kantor pusat KPK) untuk menyatakan "penolakannya" atas penangkapan Marsdya Henri tanpa koordinasi dengan pihaknya. Dampaknya luar biasa: KPK minta maaf kepada Danpuspom atas kekhilafannya.

Baca Juga: Tak Hanya Kualitas Indukan, Ini Tips Budidaya Ikan Cupang untuk Breeder Pemula Lengkap dengan Penjelasannya

Sebegitu besarkah kesalahan KPK atas penangkapan Marsdya Henri sehingga Danpuspom perlu "nglurug" ke KPK? Kenapa fokus masalahnya tertuju pada UU militer bukan kepada korupsinya?

Bukankah korupsi adalah extraordinary crime yang menghancurkan negara; sehingga semua aparat hukum dalam NKRI wajib mencegahnya dan menindak koruptor tanpa pandang bulu?

Dalam kasus di atas, politikus senior Akbar Faizal berkomentar nyinyir. "Tuan Marsekal bin Basarnas itu keberatan ditangkap KPK dengan bahasa KPK melebihi wewenangnya," ujar Akbar dalam cuitan Twitternya. "Kenapa Kabasarnas tidak pernah bercermin bagaimana dirinya mencubit 10 persen proyek di lembaganya?" ungkapnya.

"Sayangnya tuan ini gak pernah bertanya pada dirinya, wewenang dari mana dia merasa boleh ngentit 10 persen proyek di lembaganya," tukas Akbar "Uncensored" Faizal tadi.

Baca Juga: Profil Lengkap Mark Lee NCT Dream yang Dominasi Trending Topik Di Medsos, Ternyata Ulang Tahun 2 Agustus nanti

Pegiat sosmed terkemuka Denny Siregar juga mengatakan, kasus Marsdya Henri adalah bukti masih tersisanya arogansi militer di zaman Orde Baru. Padahal korupsi tetaplah korupsi. Di era reformasi, militer bukan anak emas lagi.

Sehingga korupsi yang dilakukan siapa pun, sipil maupun militer, harus diperlakukan sama. Karena dampak korupsi, baik oleh sipil maupun militer sama. Yaitu menghancurkan negara.

Itulah sebabnya pendekar hukum mendiang Hakim Agung Artidjo Alkostar mengusulkan agar korupsi dimasukkan dalam kategori kejahatan kemanusiaan (human crime). Jika kategori korupsi adalah human crime, maka hukumannya sangat besar karena termasuk pelanggaran HAM berat.

Mengalahnya KPK pada Puspom TNI menimbulkan polemik. Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, dalam diskusi terbuka membahas perseteruan hukum sipil dan militer di Jakarta, Minggu (30 Juli 2023) menegaskan: "Kenapa prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil? Ini inkonsistensi kebijakan!"

Baca Juga: Apa Itu Fenomena Supermoon dan Bagaimana Dampaknya Terhadap Bumi ?Mitos dan Realita

UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).

Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif, yaitu kantor yang berkenaan dengan politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.

Akan tetapi Pasal 47 ayat (3) beleid yang sama menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.

Ingat, Basarnas adalah lembaga sipil dengan administrasi sipil. Oleh karena itu, kasus hukum yang menjerat pejabat Basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil.

Baca Juga: Lebih dari 1 Juta Formasi Akan Dibuka Pada Seleksi CPNS dan PPPK 2023 September Mendatang, Ini Dia Rinciannya

Apalagi, Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menegaskan bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Sementara di pihak lain, pasal 65 ayat (2) UU TNI menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer".

Pertanyaannya: Apakah korupsi di Basarnas masuk dalam kategori pelanggaran militer? Jelas bukan.

Apakah Basarnas lembaga militer? Jelas bukan.

Dengan demikian, KPK yang menangkap dua perwira militer aktif yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tersebut masih berada di jalur yang benar. KPK masih on track!

Jika begitu, tidak seharusnya TNI ikut "cawe-cawe" ketika KPK menangkap koruptor di Basarnas. TNI haram melindungi koruptor.***

Berita Terkait