DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Faktor Industri Media, Iklan dan Rating TV dalam Tragedi di Kanjuruhan

image
Praktisi media Dr Ir Satrio Arismunandar, MSi,MBA tentang faktor media di tragedi Kanjuruhan

ORBITINDONESIA - Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022 berujung menjadi tragedi nasional, yang menewaskan setidaknya 131 orang (data kepolisian, 5 Oktober 2022).

Publik sibuk menyalahkan pihak-pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas insiden di Kanjuruhan itu. PSSI dan Panitia Penyelenggara Liga Indonesia Baru (LIB) dikecam.

Yang menjadi bulan-bulanan  adalah polisi. Polisi disalahkan karena menembakkan gas air mata ke tribun Stadion Kanjuruhan, yang menimbulkan kepanikan, desak-desakan, massa yang terinjak-injak, dan menyebabkan mereka tewas.

Baca Juga: Begini Kondisi Terkini Tukul Arwana, Sudah Membaik Tapi...

Namun ada satu pihak yang sebetulnya ikut berperan dalam terjadinya kerusuhan di Kanjuruhan itu, namun kurang disorot publik.

Pihak itu adalah industri media (khususnya stasiun TV). Mereka menayangkan langsung pertandingan Arema FC vs Persebaya dan mendapat pemasukan iklan dari sana.

Tampaknya cuma Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang menyinggung peran media tersebut. Pria yang akrab disapa Kang Emil itu menyentil soal rating TV.

Sebab, ujarnya, laga-laga penting dan menyita perhatian kerap digelar dan disiarkan malam hari karena pertimbangan rating.

Baca Juga: Saiful Huda Ems: Anies Tak Mungkln Menjadi Capres 2024

"Jangan selalu kejar demi rating TV dengan memaksa pertandingan selalu malam hari. Semoga kita belajar dan mengambil hikmah dari semua ini. Hatur Nuhun," kata Ridwan Kamil, 2 Oktober 2022.

Rating TV berkaitan dengan jam tayang. Di Indonesia, jam tayang utama (prime time) adalah pada pukul 18.00 – 22.00 WIB.

Jam tayang utama adalah blok pemrograman siaran yang berlangsung selama petang hingga malam hari untuk program televisi.

Jam tayang utama adalah bagian hari (blok jadwal pemrograman sehari), dengan sebagian besar jumlah pemirsa, di mana jaringan televisi dan stasiun lokal menuai banyak pendapatan iklan.

Baca Juga: Kader Kabah Jakarta dari PPP Deklarasi Dukungan kepada Ganjar Pranowo jadi Capres

Dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat, misalnya, belanja iklan selama prime time paling tinggi di antara drama televisi.

Rupanya jauh sebelum dilakukannya pertandingan, pihak kepolisian pada 13 September 2022 sudah membuat perkiraan intelijen.

Kepolisian mengantisipasi bahwa situasi akan sulit terkendali dan ada kerawanan keamanan, jika pertandingan dilakukan pada malam hari (pukul 20.00 WIB).

Pada 18 September 2022, Kapolres Malang AKB Ferli Hidayat sudah mengirim surat ke Panpel Arema FC. Ia meminta Panpel untuk memajukan jadwal pertandingan, dari pukul 20.00 ke sore hari pukul 15.30. Ini semata-mata karena alasan keamanan.

Baca Juga: Anies Baswedan Menuju Lengser: Banjir di Jakarta Belakangan Ini Bikin Geger

Namun, peringatan Kapolres itu tidak digubris oleh panitia. Pertimbangan panitia adalah karena sudah ada perjanjian dengan pihak stasiun TV, yang membayar untuk memperoleh hak siar.

Pihak stasiun TV mau membeli atau membayar hak siar, asalkan pertandingan dilangsungkan pada malam hari.

Pihak stasiun TV ingin pertandingan ini ditayangkan pada prime time, jam-jam siaran ketika paling banyak penontonnya. Karena besarnya jumlah penonton itulah, nilai iklan di prime time juga yang paling mahal dibandingkan segmen waktu yang lain.

Stasiun TV harus memperoleh keuntungan dari iklan, sebagai kompensasi karena mereka sudah keluar duit cukup banyak untuk membeli hak siar dari panitia. Ini sepenuhnya soal bisnis siaran. Semua stasiun TV swasta hidup dari iklan.

Baca Juga: Membaca Secara Cerdas Strategi Dagelan Surya Paloh Ketika Nasdem Capreskan Anies

Panitia sendiri juga butuh uang (antara lain dari menjual hak siar), untuk menyelenggarakan pertandingan yang besar ini.

Klub-klub sepak bola juga butuh pemasukan uang, untuk membayar gaji pemain dan kebutuhan lain. Jadi semua ini adalah bentuk hubungan yang saling membutuhkan.

Diakui atau tidak, olahraga bukan hanya tentang partisipasi. Ini juga merupakan bagian dari dunia komersial, yang dikelola dan dipasarkan untuk menghasilkan uang. Sponsor dan media sekarang menjadi pengaruh yang signifikan terhadap olahraga.

Menurut situs BBC, olahraga selalu menarik perhatian orang. Misalnya, kehadiran penonton di pertandingan sepak bola di awal 1900-an secara teratur melebihi 40.000.

Baca Juga: Resmen Kadapi: Profesor Karomani Ingin Ajukan Diri Jadi Justice Collaborator

Stadion yang dibangun untuk Olimpiade London 1908 menampung lebih dari 68.000 penonton, dan merupakan cikal bakal stadion modern, yang semua penontonnya duduk.

Ini berarti olahraga memiliki potensi untuk mempengaruhi banyak orang.

Di masa kini, kombinasi liputan media global, kesepakatan dengan sponsor besar, dan lebih banyak atlet yang berlatih penuh waktu, berarti bahwa beberapa olahraga elit adalah bisnis yang sangat menguntungkan.

Komersialisme dalam olahraga adalah tentang mencari keuntungan dari olahraga. Ini melibatkan tiga kelompok utama: Olahraga – Media – Sponsor.

Baca Juga: Alasan Dirut PT LIB Jadi Tersangka dalam Kerusuhan Kanjuruhan

Olahraga mendapat manfaat dari komersialisme. Peningkatan pendapatan membantu olahragawan individu dan organisasi olahraga untuk meningkatkan partisipasi, meningkatkan kinerja, dan menarik dukungan.

Karena teknologi menjadi elemen yang semakin penting dari olahraga, dan olahraga saling bersaing untuk melibatkan peserta dan penonton, pendanaan menjadi lebih penting.

Media mendapatkan keuntungan dari komersialisasi olahraga. Berita olahraga profil tinggi membantu menarik audiens, pendengar, dan pembaca.

Pada gilirannya, media akan memastikan bahwa olahraga tetap menonjol.

Baca Juga: Alasan Leclerc Suka dengan Balapan di F1 GP Jepang

Sponsor mendapat manfaat dari komersialisasi olahraga. Pendanaan mereka sangat penting untuk pertumbuhan olahraga. Sebagai imbalannya, liputan olahraga profil tinggi memastikan profil tinggi untuk perusahaan dan produk mereka.

Dengan cara ini, olahraga – khususnya olahraga elit, media, dan sponsorship saling terkait. Ini disebut “segitiga emas” (golden triangle).

Selain banyak manfaatnya, komersialisme dalam olahraga juga bisa berdampak negatif.

Misalnya, beberapa orang percaya bahwa komersialisasi sepak bola elit di Inggris telah mengubah permainan menjadi lebih buruk dan menghancurkan hubungan berbasis komunitas tradisional antara pendukung dan klub.

(Tulisan ini aslinya ditujukan untuk Civil Society Watch)***

Berita Terkait