DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Puan, Mega, dan Titik Koma Perdamaian di Korea

image
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar dalam Focus Group Discussion Sosialisasi Peraturan DPR RI tentang komitmen Energi Hijau Indonesia

Oleh: Dr. Indra Iskandar, Sekretaris Jenderal DPR RI

ORBITINDONESIA - Ibu Puan Maharani, Ketua DPR RI, mendapat gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Pukyong National University (PKNU), Busan, Korea Selatan, Senin, 7 November 2022 lalu.

Kehadiran 42 anggota DPR RI -- termasuk Ketua Fraksi Utut Adiyanto dan Sekretaris Fraksi Bambang Wuryanto di PKNU, menyambut penganugerahan Dr HC tadi -- menambah bobot gelar doktor kehormatan tersebut.

Penghargaan PKNU tidak hanya mengapresiasi kiprah Puan terhadap perjuangan kesetaraan gender dan humanisme yang luar biasa, tapi juga (niscaya) mengapresiasi cucu Bung Karno yang “diharapkan mampu” meneruskan jejak politik sang kakek yang sangat dihormati di Semenanjung Korea di atas.

Baca Juga: Podcast Disabotase, Denise Chariesta Sebut RD Mirip Ibu Ibu Komplek dan Emak Emak Arisan

Hal yang kedua ini, tampaknya “kurang” terlihat pendarnya di mata publik Indonesia. Termasuk di kalangan politisi. Padahal, bagi dua presiden di Semenanjung KoreaPuan adalah sebuah harapan.

Harapan untuk mendamaikan dua negara – Korea Selatan dan Korea Utara – yang konflik berkepanjangan tersebut. Bagi publik di Semenanjung Korea, Puan tak bisa dipisahkan dari Bung Karno dan Bu Mega.

Tak bisa dipisahkan bukan dalam perspektif genealogis semata. Tapi juga dari perspektif politik, di mana sang kakek pernah menjadi pemrakarsa Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT Asia-Afrika), 1955 di Bandung yang sangat fenomenal itu.

Sampai sekarang Bung Karno tercatat dengan tinta emas sebagai pemrakarsa konferensi yang sangat bersejarah dan mendapat pujian dunia internasional.

Baca Juga: Piala Dunia 2022, Gareth Bale Masuk Dalam Skuad Wales

Para pemimpin di Semenanjung Korea yang rindu damai, niscaya terus berharap trah Sang Fajar akan mampu memberi sinar terang di hati mereka yang terlibat konflik itu.

Sebuah artikel di The Jakarta Post, 5 November 2022, oleh wartawan senior Kornelius Purba (KP), berjudul “Korean Leaders would welcome Megawati as peacemaker” tiba-tiba menyentak kesadaran kita.

Di tulisan itu terbersit munculnya perdamaian di semenanjung Korea yang selama ini seperti menghadapi jalan buntu.

Artikel Kornelius Purba itu, tampaknya perlu direspon secara serius oleh DPR dan PDIP sebagai partai berkuasa di Indonesia, di mana Presiden Jokowi ada di dalamnya.

Baca Juga: Lowongan Kerja Terbaru 2022 di PT Summarecon Agung Tbk Butuh Staff Admisi

Inti dari tulisan itu adalah Indonesia punya harapan besar untuk mendamaikan konflik panas di Semenanjung Korea.

Tulis Kornelius di The Jakarta Post: "Saya merasa heran mengapa sampai enam presiden Korsel meminta bantuan Megawati Soekarnoputri untuk berperan mendamaikan negara mereka dengan Korea Utara."

Sebagai wartawan senior The Jakarta Post yang berbasis di Istana Negara dan meliput dunia internasional, Kornelius sering berkomunikasi dengan pejabat dan diplomat Korsel. Mereka, para pemimpin Korea Selatan, selalu memuji ketua PDI-P itu.

Dan pujian tersebut bukan diplomasi sambal. Tapi serius karena ayah Megawati, Bung Karno adalah sedikit dari pemimpin dunia yang bersahabat dengan pimpinan pertama Korut, Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un.

Baca Juga: Piala Dunia 2022, Amerika Serikat Rilis Skuad Terbaiknya

Di Semenanjung Korea, semua orang tahu Megawati waktu remaja juga berteman dengan Kim Jong-il, putra Kim Il-sung. Kim Jong-il adalah ayah dari Kim Jong-un, pemimpin tertinggi Korut saat ini.

Kenapa para pemimpin Korea Selatan menaruh harapan besar kepada Bu Mega dan trah Bung Karno? Ceritanya ada di bawah ini.

"Kami selalu percaya Ibu Megawati bisa berperan penting untuk perdamaian Korea," itu jawaban pimpinan Korsel kepada wartawan. Jawaban tersebut jelas tidak mengada-ada. Tapi ada preferensinya.

Sebagai gambaran betapa apresiasi dan harapan Korea Selatan terhadap peran Indonesia dalam memediasi perundingan damai di Semenanjung, bisa terlihat di uraian bawah ini.

Baca Juga: Timnas Indonesia U20 Tantang Tim Prancis Dalam Turnament Costa Calida Super Cup

Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengundang Presiden ke-5 RI, Megawati, ke acara pelantikannya sebagai presiden baru Korsel bulan Mei lalu bersama dengan Wapres AS Kamala Harris.

Ada foto yang mengharukan ketika Presiden Yoon menggandeng tangan Megawati di Istana Kepresiden.

Presiden sebelumnya, Moon Jae-in juga mengundang Megawati ke kantornya tidak lama setelah dia dilantik tahun 2017.

Dan meminta Megawati untuk menjadi penengah perseteruan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un yang selalu mengancam akan menghancurkan Korsel dengan senjata nuklirnya.

Baca Juga: Seluruh Pebalap WorldSBK Sudah Tiba di Lombok

Selain Yoon dan Moon, empat presiden sebelumnya-- Park Heun-hye, Lee Myung-bak, Roh Moo-hyun dan Kim Dae-jung, telah juga meminta Megawati untuk menjadi juru damai untuk Semenanjung Korea.

Ketika masih menjadi Presiden RI tahun 2003 Megawati bertemu dengan Pemimpin Korut Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un di Pyongyang.

Presiden Korsel saat itu, Kim Dae-jung, segera meminta Megawati untuk terbang ke Seoul karna ingin tahu hasil pertemuan Megawati dengan Kim Jong-il.

Meskipun sudah bukan presiden, Megawati bertemu kembali dengan pemimpin Korut itu di Pyongyang tahun 2005 dan 2006.

Baca Juga: Vladimir Putin Tidak Hadir, Rusia Diwakili Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov di KTT G20

Dari catatan itu, Megawati sangat dihormati di Korea. Puan Maharani sebagai Ketua DPR (putri Megawati dan cucu Bung Karno), ketika mendapat gelar doktor kehormatan dari PKNU tersebut, selayaknya “kembali menyegarkan apresiasi” harapan Korsel tadi.

Sebagai manusia yang punya hati nurani, niscaya para pemimpin dan rakyat Semenanjung Korea -- baik Selatan maupun Utara – rindu perdamaian.

Persoalannya, memang terletak di langkah awal. Bagaimana mencari titik temunya? Buya Ahmad Syafii Maarif punya kredo menarik.

Bahwa segala sesuatu, awalnya adalah dari titik dan koma. Termasuk munculnya perdamaian. Titik dan koma itu, mungkin sepintas terlihat sederhana. Tapi di balik kesederhanaan, bila dilakukan dengan tulus, akan mampu memancarkan sinar terang.

Baca Juga: Kini Bepergian Pakai Taksi Online, Jessica Iskandar: Seru Banget

Presiden Jokowi sudah datang ke Ukraina dan Rusia untuk mendamaikan dua negara yang sedang konflik tersebut.

Modalnya adalah diplomasi pangan. Akibat perang Rusia-Ukraina, dunia mengalami kekurangan pangan. Rusia dan Ukraina adalah lumbung gandum dunia.

Betul, sekarang diplomasi damai Jokowi belum menunjukkan hasil yang diharapkan dunia.

Tapi langkah Jokowi tercatat dalam tinta emas sebagai presiden pertama di dunia yang berani mencoba “mendamaikan” Presiden Vladimir Putin dan Volodymyr Zelenskyy.

Baca Juga: BANGKRUT, Jessica Iskandar Bepergian Pakai Taksi Online: Rasanya Aneh

Melihat modal diplomasi damai Korsel dan Korut yang sangat besar – terutama dari keakraban Sang Proklamator (termasuk Bu Mega) dengan kedua pemimpin di Semenanjung Korea – niscaya “titik dan koma” itu akan segera tercetak dalam lembaran putih.

Jika itu berhasil, apresiasi dunia terhadap Indonesia sebagai “juru damai” akan benar-benar terwujud.***

Berita Terkait