DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Yusril Ihza Mahendra: Permasalahan Sekitar Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja

image
Yusril Ihza Mahendra tentang Perpu Cipta Kerja.

Oleh Yusril Ihza Mahendra

ORBITINDONESIA - Dalam beberapa hari terakhir ini ada berbagai pihak, terutama dari kalangan media dan mahasiswa yang menanyakan kepada saya berbagai hal terkait dengan diterbitkannya Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka saya menuliskannya di sini sebagai jawaban, yang secara bebas dapat dikutip dan dishare kepada siapa saja, semoga ada manfaatnya.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Sebagaimana kita maklum, tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus dan menyatakan bahwa prosedur pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertentangan dengan UUD 45 dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Baca Juga: Ini Link Nonton Streaming Gratis Miss Universe 2022, Dukung Laksmi De Neefe Suardana Wakil dari Indonesia

Tetapi MK tidak membatalkan UU tersebut, melainkan menyatakannya sebagai konstitusional bersyarat, dengan ketentuan DPR dan Presiden memperbaiki UU tersebut.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

MK memberi waktu perbaikan tersebut selama dua tahun sampai tanggal 25 November 2023.

Jika lewat waktu dua tahun itu, UU Cipta Kerja itu tidak diperbaiki, maka MK akan menyatakan seluruh UU Cipta Kerja itu bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu ada beberapa ketentuan yang ditetapkan MK antara lain, pemerintah tidak boleh membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU Ciptaker sebelum dilakukan perbaikan.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Spesifikasi Asus ROG Phone 7, Hp Gaming Spek Dewa yang Akan Rilis di Tahun 2023

Putusan MK kali ini memang lain dari biasanya. Namun mau diperdebatkan bagaimanapun juga, putusan MK itu adalah final dan mengikat. Tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya.

Keadaan di atas memang menyulitkan Pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan dan implimentasinya dalam mengatasi masalah bangsa dan negara sebagaimana tercakup dalam UU Cipta Kerja itu.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Apalagi jika difahami bahwa secara normatif pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir 20 Oktober 2024.

Membahas RUU Perbaikan atas UU Cipta Kerja dengan DPR bisa memakan waktu relatif lama, bahkan bisa lebih setahun, sehingga waktu makin sempit bagi Pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah di lapangan.

Baca Juga: Obrolan Politik: KPK, Sesudah Lucas Lalu Yohanes

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Karena itu, menerbitkan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja merupakan pilihan yang diambil Presiden. Tentu bukan pilihan terbaik, apalagi dilihat dari sudut pandang normatif dan akademik.

Tetapi merupakan pilihan yang paling mungkin mungkin untuk diambil dalam mengatasi keadaan. Ini kalau dilihat dari sudut tanggungjawab pemerintah dalam menyelenggarakan negara.

Terhadap Perpu Perbaikan UU Cipta Kerja itu sendiri, tentu semuanya dikembalikan kepada DPR untuk melakukan “legislative review” apakah akan menerima atau menolaknya untuk disahkan menjadi UU.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

DPR tidak dapat mengamandemen Perpu. Pilihannya hanya menerima atau menolak Perpu tersebut. Jika ditolak, maka Perpu tersebut otomatis tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal DPR memutuskan untuk menolaknya.

Baca Juga: Semakin Menggoda, Ini Spesifikasi HP Realme GT 3 Pro Ram 12 Giga Keluaran Terbaru 2023

Apakah MK berwenang menguji Perpu? Saya berpendapat, MK sebenarnya tidak berwenang menguji Perpu sebelum Perpu itu disahkan menjadi UU.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

UUD 45 memberikan kewenangan kepada DPR untuk lebih dulu membahasnya dan kemudian memutuskan apakah akan menerima atau menolak Perpu tsb untuk disahkan menjadi UU.

Dalam pandangan saya, MK bertindak prematur jika menguji Perpu sebelum DPR bersikap. Apa yang akan terjadi jika MK lebih dulu menyatakan sebuah Perpu bertentangan dengan UUD 45, sementara DPR sedang membahas Perpu tersebut.

Sikap MK tersebut potensial menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dengan DPR. Hal semacam itu harus dijauhi MK.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Baca Juga: Lana Del Rey Tunda Album Terbaru, Ini Daftar Lagu Terbaru Did You Know That Theres A Tunnel Under Ocean Blvd

Karena jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dengan MK, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Apakah MK akan mengadili dirinya sendiri?

Salah satu syarat menjadi hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi. Karena itu, semestinya para hakim MK menahan diri untuk menguji Perpu, sebagaimana selama ini telah dilakukan MK.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Walau belum ada satupun yang berhasil diputus karena lebih dulu disahkan oleh DPR menjadi UU. Dengan disahkannya Perpu menjadi UU, maka perkara pengujian Perpu menjadi kehilangan obyeknya.

Apakah dengan menerbitkan Perpu untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, telah cukup alasan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden?

Baca Juga: Tokyo Revengers: Penjelasan Dark Impulse yang Dimiliki Mikey, Penyebab Bantai Orang dengan Brutal

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Kalau dirujuk kepada 7 alasan pemakzulan (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden), sebagaimana diatur Pasal 7A dan 7B UUD 45, penerbitan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut nampaknya masih jauh dari memenuhi kriteria alasan pemakzulan.

Lain halnya jika politik ikut bermain, misalnya DPR menolak pengesahan Perpu tersebut dan DPR berpendapat bahwa isi Perpu tersebut melanggar UUD 45, pintu pemakzulan menjadi mungkin.

Namun masalahnya tidaklah sesederhana itu. Sebab, dengan amandemen UUD 45, kekuasaan membentuk undang-undang bukan lagi pada Presiden dengan persetujuan DPR, melainkan sudah bergeser menjadi kekuasaan DPR dengan persetujuan Presiden.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Baca Juga: Mengenal Lana Del Rey, Penyanyi Amerika Serikat yang Punya Jiwa Sosial Tinggi

Maka, untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun, maka lembaga yang pertama-tama harus memperbaiki UU Cipta Kerja itu sesungguhnya adalah DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Sementara sudah lebih setahun perintah itu diberikan MK, sejak November 2021, tidak terlihat upaya apapun dari DPR untuk mengambil prakarsa memperbaiki UU Cipta Kerja itu.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Nah, ketika Presiden mengambil prakarsa menerbitkan Perpu untuk memperbakinya, lantas apakah DPR punya rasa percaya diri untuk menyalahkan Presiden dan berusaha memakzulkannya?

Tindakan DPR seperti itu akan menjadi seperti kata dalam peribahasa Melayu: bagai memercik air di dulang, akhirnya terkena muka sendiri…

Bandung, 6 Januari 2023. ***

Berita Terkait