DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Saiful Mujani: Dalam 25 Tahun Reformasi, Kesetaraan Setiap Warga di Hadapan Hukum Melemah

image
Saiful Mujani - pendiri Saiful Mujani Research and Consulting

ORBITINDONESIA.COM - Dalam 25 tahun reformasi, kontrol terhadap eksekutif dan kesetaraan setiap warga di hadapan hukum melemah. Demikian temuan studi yang disampaikan Prof. Saiful Mujani.

Saiful Mujani bicara dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Demokrasi Kita setelah 25 Tahun Reformasi,” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 25 Mei 2023.

Saiful Mujani menyampaikan bahwa Indonesia mengalami demokratisasi sejak mundurnya Presiden Soeharto dari kekuasannya, 21 Mei 1998. Menurut dia, cara untuk melihat kemajuan, kemunduran, atau stagnasi demokrasi Indonesia adalah dengan melakukan evaluasi secara teratur dalam 25 tahun tersebut.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Baca Juga: DISKUSI SATUPENA, Chappy Hakim: Demokrasi Kita Terjebak Pada Siklus Lima Tahunan, Tak Ada Visi Strategis

Salah satu lembaga internasional yang melakukan evaluasi secara berkala tersebut adalah V-Dem (Varieties Democracy). V-Dem adalah lembaga akademik yang di dalamnya terdapat para ahli demokrasi di seluruh dunia.

“Ukuran utama tentang seberapa demokratis kita, salah satunya ditandai dengan seberapa kuat adanya oposisi atau seberapa kuat adanya kontrol atau checks and balances terhadap pemerintahan eksekutif,” jelas Saiful.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Dengan menggunakan ukuran equality before the law dan pengawasan terhadap eksekutif menurut V-Dem, Saiful menunjukkan gejala kemunduran demokrasi di Indonesia.

Dalam skala 0 sampai 1, di mana 0 sangat buruk dan 1 sangat baik, kondisi demokrasi berdasarkan pengukuran tersebut di Indonesia sekarang (2022) ada di angka 0,42, perolehan ini mundur dibanding dengan 2004 yang mencapai 0,53.

Baca Juga: Sinopsis Film Anna: Keindahan dan Kejahatan dalam Dunia Mata-mata yang Memukau Tayang di Bioskop Trans TV

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Diukur sejak penerapan sistem pemilihan presiden secara langsung 2004, kondisi demokrasi Indonesia mengalami kemunduran berdasarkan data V-Dem.

Saiful menjelaskan bahwa sebenarnya sejak 2004, kondisi demokrasi berdasarkan indeks demokrasi ini memang tidak pernah benar-benar bagus, atau tidak pernah di atas 0,6.

“Kondisi equality before the law dan aspek pengawasan pada eksekutif kita memang kurang bagus atau lemah sejak awal, tapi tidak selemah sekarang,” kata guru besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Di masa Pemerintahan Jokowi, skor demokrasi Indonesia dalam komponen ini menurun sekitar 10 poin dari 0,52 di awal pemerintahan Jokowi menjadi 0,42 tahun 2022. Saiful menilai bahwa salah satu persoalan melemahnya trend demokrasi ini karena melemahnya oposisi.

Baca Juga: Ini Sosok Istri Orang yang Jadi Selingkuhan Wakapolres Binjai Kompol Agung Basuni, Ternyata...

Di periode pertama pemerintahannya, oposisi pada pemerintahan Jokowi masih cukup kuat, setidak-tidaknya tokoh yang menjadi lawan Jokowi dalam pemilu masih ada di luar pemerintahan. Dalam hal ini adalah Prabowo Subianto dan Gerindra yang ada di parlemen.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Namun di periode yang kedua, skor indeks pengawasan eksekutif dan kesetaraan warga di hadapan hukum Indonesia menurun di bawah 0,5 dan sekarang 0,42.

Hal ini terjadi ketika oposisi melemah yang menandai kurangnya checks and balances atau pengawasan pada pemerintahan karena oposisi melemah.

Saiful menyatakan bahwa memang pemerintah tentu punya keinginan agar pelaksanaan pembangunan berjalan stabil dan tidak ada gangguan. Tapi demokrasi menghendaki adanya oposisi yang bisa mengontrol pemerintah.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Baca Juga: Erick Thohir Ungkap Alasan Utama Timnas Argentina Pilih Timnas Indonesia Jadi Lawan Tanding di FIFA Matchday

“Tidak bisa hanya karena memiliki niat baik, pemerintah menghilangkan hak publik untuk melakukan kontrol dan pengawasan. Kekuasaan harus dikontrol dan diawasi,” tegasnya.

Pendiri SMRC itu menilai, penurunan kualitas demokrasi dalam indeks ini koheren dengan beberapa peristiwa politik. Seperti, masuknya partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintah pada periode pertama presiden Jokowi, di mana sebelumnya partai ini adalah pendukung rival Jokowi dalam pemilihan presiden.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Kemerosotan itu menjadi lebih besar di periode kedua Jokowi ketika Prabowo yang merupakan rivalnya dalam pemilihan presiden diangkat menjadi menteri kabinet.

“(Praktis sekarang) oposisi tinggal PKS dan Demokrat. Itu yang menyebabkan indeks pengawasan eksekutif dan kesetaraan warga di hadapan hukum Indonesia (menurut V-Dem) tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan,” imbuhnya.

Baca Juga: VIRAL, Santri Jadi Korban Bullying di Ponpes hingga Alami Gangguan Kejiwaan, Warganet Open Donasi

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Saiful menambahkan bahwa skor-skor demokrasi V-Dem ini dibuat oleh panel ahli yang dianggap mengerti tentang politik di sebuah negara, bukan persepsi opini publik seperti dalam survei-survei opini publik.

Data tentang skor demokrasi di Indonesia dibuat berdasarkan skor yang diberikan tim panel ahli yang dianggap mengerti persoalan demokrasi di Indonesia.

Hasilnya mencerminkan persoalan yang dihadapi Indonesia belakangan ini. Dalam aspek equality before the law, kata Saiful, masih ada kelompok-kelompok minoritas baik sosial budaya maupun sosial ekonomi yang tidak mendapatkan perlakukan setara di hadapan hukum.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Persoalan kedua adalah masalah kontrol legislatif pada pemerintah karena lemahnya oposisi. ***

 

Berita Terkait