DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Tulisan Memperingati HUT Bung Karno 6 Juni: Jas Merah

image
Bung Karno adalah cendekiawan Muslim yang progresif (Youtube)

ORBITINDONESIA.COM - Merdeka! Hari ini, tanggal 6 Juni tercatat sebagai tanggal kelahiran Bung Karno.

Sesuai dengan pesan Bung Karno yaitu JAS MERAH singkatan dari “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, ada baiknya kita mengingat kembali riwayat keluarga Bung Karno untuk melawan lupa.

Kisah tentang Bung Karno dimulai dari pasangan suami isteri R. Soekeni Sosrodihardjo seorang guru dari Jawa Timur sebagai pendatang di Bali yang menikah dengan Nyoman Rai Srimben gadis Bali yang cantik dan pandai menari.

Baca Juga: SERAM, Begini Sinopsis Film Mangkujiwo yang Angkat Kisah Asal Usul Kuntilanak

Puteri pertama mereka, Soekarmini lahir di Bali pada tanggal 13 Maret 1899. Dalam usia balita Soekarmini di bawa pindah ke Surabaya oleh R. Soekeni yang dipindah tugas ke Jawa Timur.

Awalnya Nyoman Rai Srimben berkeberatan untuk pindah ke Jawa, namun karena suaminya menjanjikan apabila ia tidak senang tinggal di Jawa mereka akan kembali ke Bali, maka sebagai isteri yang bijak Nyoman Rai Srimben bersedia ikut suaminya pindah ke Surabaya.

Di Surabaya, saat menjelang fajar pada tanggal 6 Juni 1901 Koesno, bayi laki-laki lahir, yang disambut dengan suka cita oleh seluruh anggota keluarga. Mereka menganggap Koesno sebagai Putera Sang Fajar.

Dari Surabaya, R. Soekeni dipindah ke Ploso-Jombang, dan dua tahun kemudian dipindah lagi ke Sidoarjo. Di kota Sidoarjo, Koesno mulai sakit-sakitan. Ayah R. Soekeni yang bernama R. Hardjodikromo yang tinggal di Tulung Agung minta agar Koesno tinggal bersamanya.

Baca Juga: Kisah Imam Syafii Menginap di Rumah Imam Ahmad bin Hanbal

Di sinilah terjadi perbedaan pendapat antara R. Soekeni dan Nyoman Rai Srimben isterinya. Awalnya Nyoman Rai Srimben berkeberatan atas usul mertuanya.

Hal tersebut disebabkan karena anak perempuannya (Soekarmini) tidak mau berpisah dengan adik yang dicintainya yang juga temannya bermain. Soekarmini merengek dan menangis agar adiknya tetap tinggal bersamanya.

Selain itu Koesno adalah anak laki-laki yang selalu menyenangkan dan sangat disayanginya. Namun alasan ini, tidak cukup kuat untuk menghalangi saran mertuanya agar Koesno tinggal di Tulung Agung demi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.

Dengan berat hati Nyoman Rai Srimben melepas Koesno untuk tinggal jauh darinya, di rumah kakeknya. Di Tulung Agung inilah setelah diadakan selamatan ruwatan nama Koesno diganti dengan Soekarno.

Baca Juga: Netizen Heboh, Alan Walker Unggah Video Kolaborasinya di Panggung Indonesian Idol Lewat Channel Youtubenya

Setelah sembuh dari sakitnya Soekarno kembali tinggal bersama kedua orang tuanya dan kakak perempuannya. Soekarmini semasa remaja, selalu membantu ibundanya dalam berbagai pekerjaan rumah dan juga membatik.

Pada tahun 1917 Soekarmini menikah dengan Poegoeh Reksoatmodjo dan bertempat tinggal di Mojokerto. Rasa sayang pasangan muda Poegoeh-Soekarmini pada Soekarno diwujudkan dengan hal-hal yang positif diantaranya membayar biaya sekolah dan biaya hidup Soekarno sampai Soekarno menempuh pendidikan tinggi di Bandung.

Setiap Soekarno berlibur ke Blitar ke rumah orang tuanya dari tempatnya kuliah di Bandung ia selalu menyempatkan diri mengunjungi kakak dan iparnya di Mojokerto.

Kunjungan ke rumah kakaknya ini, bagi Soekarno tentu saja bukan kunjungan “biasa”, karena dalam setiap kunjungannya ke rumah kakaknya, pada waktu pulang ia akan “disangoni” oleh Poegoeh. Uang pemberian Poegoeh lebih dari cukup dipakai untuk ongkos perjalanan dan sisanya untuk keperluan kuliah dan jajan.

Baca Juga: 5 Fakta Jessica Jones, Detektif dengan Kekuatan Hebat yang Tidak Hanya Terlihat di Komik, Tetapi Juga di Film

Siapa Poegoeh (suami Soekarmini) yang juga kakak ipar Soekarno? Nama lengkap nya adalah R. Poegoeh bin Reksoatmodjo. Pendidikan MTS (setingkat STM).

Poegoeh bekerja di Dinas Irigasi ( Pengairan) Belanda sampai tingkat yang cukup tinggi, kalau sekarang disamakan dengan Kepala Daerah Pengairan Karesidenan Surabaya, berkedudukan di Prambon Sidoarjo.

Daerah yang menjadi wilayah-wilayah irigasi nya adalah Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Gersik. Karena jabatannya sebagai Kepala Daerah Pengairan, maka statusnya disamakan dengan Pegawai Belanda dan mendapat fasilitas apapun sebagai layaknya seperti orang Belanda.

Kehidupan dan pergaulan kedua pasangan muda Poegoeh dan Soekarmini cukup luas, baik di kalangan orang dari kelas ekonomi atas maupun bawah. Poegoeh juga membantu memasukkan Soekarno ke HBS, yaitu Sekolah Menengah Khusus untuk orang Belanda dan yang disamakan.

Baca Juga: Gara Gara Pintu Belakang, Ruben Onsu Meradang di Hari Ultah Anaknya, Begini Ceritanya

HBS terletak di Kompleks SMA Wijayakusuma Surabaya sekarang. Selama di HBS Soekarno kost di tempat HOS Tjokroaminoto, teman R. Soekeni Sosrodihardjo dan masih kerabat Poegoeh.

Poegoeh menyadari bahwa Soekarno adalah pemuda yang cerdas dan penuh semangat kebangsaan, maka Ia mendukung keinginan mertua dan adik iparnya itu untuk kuliah di THS (Technishe Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan Fasilitas Poegoeh sebagai Pejabat Pemerintah Belanda.

Technische Hoogeschool te Bandoeng biasa disingkat menjadi TH te Bandoeng, TH Bandung, THB, atau THS, adalah perguruan tinggi teknik pertama sekaligus lembaga pendidikan tinggi pertama di Hindia Belanda, yang sekarang bernama Institut Teknologi Bandung.

Di Bandung Bung Karno kost di rumah H. Sanusi yang juga teman dagang Poegoeh.
Di Bandung inilah Soekarno bertemu dengan Inggit Garnasih, yang kemudian menjadi isterinya.

Baca Juga: Menyebabkan Kematian, Apakah Penyakit Rabies pada Manusia Bisa Sembuh, Lakukan Ini Jika Kamu Terinfeksi

Setelah Indonesia merdeka, Poegoeh menjabat sebagai Residen Besuki di Karesidenan Besuki dengan ibu kota Bondowoso. Namun sayang karena kesibukan masing-masing, maka perkawinan Soekarmini-Poegoeh tidak dapat dipertahankan.

Harus diakui kesibukan Soekarmini juga banyak berkaitan dengan tugas mewakili orang tuanya R. Soekeni - Nyoman Rai Srimben untuk selalu berkomunikasi dengan Soekarno terutama ketika Soekarno dalam pengasingan.

Soekarmini juga mengirimkan bantuan keuangan melalui Inggit Garnasih, baik ketika di Bandung maupun di tempat pembuangan di Ende.

Setelah bercerai dengan Poegoeh, Soekarmini menikah dengan Wardoyo pada tahun 1943 dan bertempat tinggal di Ndalem Gebang Blitar bersama ke dua orang tuanya.

Baca Juga: Diduga Jadi Bandar Besar, Begini Modus Kades di Tanggamus Bawa Sabu Seberat 6 Kilogram

Setelah R. Soekeni Sosrodihardjo (ayah Soekarno) meninggal dunia pada tahun 1945, Nyoman Rai Srimben memutuskan untuk tetap tinggal di Blitar bersama Soekarmini dan tidak bersedia pindah ke istana Jakarta tempat tinggal puteranya yang telah menjadi presiden Republik Indonesia pertama.

Sebagai putera yang baik, Soekarno selalu minta doa restu ibundanya di Blitar terutama apabila harus mengambil keputusan penting untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Bila berkunjung ke Blitar, Presiden Soekarno selalu bersimpuh untuk “sungkem” pada ibundanya dan kemudian memeluk erat Soekarmini sang kakak.

Ibunda Bung Karno meninggal dunia di Blitar pada tanggal 12 September 1958. Setelah ibundanya meninggal hubungan kakak beradik antara Soekarmini dan Soekarno tetap erat karena kedua kakak beradik ini sangat menyayangi satu sama lain.

Baca Juga: Sidang Perdana, Karangan Bunga Berisi Dukungan Kepada Shane Lukas Jadi Sorotan: Ungkapkan Kebenaran Bro!

Namun hubungan yang sangat erat antara kakak beradik Soekarmini-Soekarno harus berakhir untuk selamanya, ketika Soekarno yang berstatus tahanan politik meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1970, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.

Soekarmini dengan tabah menunggui adiknya yang sakit di Jakarta dan mengiringi kepergian adik tercinta menghadap Sang Khalik. Dengan kesedihan yang sangat mendalam dan ketabahan hati yang luar biasa Soekarmini dengan tegar mendampingi jenasah Soekarno dari Jakarta ke Blitar untuk dikebumikan.

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Soekarmini dan Soekarno mewarisi ketabahan hati kedua orang tuanya, dengan sifat mandiri, pantang menyerah dan berjiwa nasionalis sejati.

Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli.”
Bung Karno

Oleh: Retno Triani Soekonjono
(Cucu Soekarmini) ***

Berita Terkait