DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Goyahnya Industri Buku dan Penerbitan India

image
Buku karya penulis India

ORBITINDONESIA - Buku, termasuk industri di India yang disoroti dunia selain industri filmnya, Bollywood (Hindi-Film/Hi-Fi). Melalui economictimes.indiatimes.com disebutkan, pada 2015, pasar penerbitan buku India bernilai Rs. 261 miliar atau setara dengan Rp 49,2 triliun.

Hal ini menjadikannya negara dengan penerbitan buku terbesar keenam di dunia. Namun, situasi mengejutkan terjadi pada penghujung Maret lalu.

Westland Books, salah satu penerbitan buku terbaik di India, bahkan Asia Selatan yang diakuisisi oleh Amazon, berhenti beroperasi begitu saja, tanpa ada yang menyadarinya.

Baca Juga: Bagaimana Langkah Mengurus Bayar Pajak Sepeda Motor di Samsat? Simak Caranya di Sini

Langkah Amazon tersebut membuat agen sastra dan pakar industri terguncang, dan memberikan kerugian besar bagi industri penerbitan India, dan tentu saja termasuk para penulisnya.

Ironisnya, di tahun yang sama, Amazon Prime Video India sukses merilis beberapa film serial, yang karakter utamanya adalah seorang penulis yang memiliki peran penting. Seperti: Gehraiyaan dan Bestsellers (2022). Hal ini terang saja bertentangan dengan yang terjadi di realita, seperti kejadian di atas.

Karan, dalam Gehraiyaan, adalah tokoh pendukung utama yang berprofesi sebagai penulis. Baginya, buku dapat menyangga hidup dan memenuhi kebutuhannya.

Adapun, film serial Bestseller menggambarkan seorang penulis novel, yang sejak lama menderita writer’s block. Yakni, suatu kondisi ketika penulis merasa sangat sulit untuk membuat tulisan baru, atau bahkan melanjutkan tulisannya. Dia akan mendapatkan ide (tulisan) jika harus telanjang dengan badan six-packnya.

 Baca Juga: Perang yang Tak Berujung, Aksi Militer AS di Dunia

Manik Sharma, penulis di bidang sastra dan film, turut mengomentari situasi ini melalui firstpost.com. Dari komentarnya, Sharma mengambil posisi Devil’s advocate.

Ia mengkritik tajam Hi-Fi. Sharma menilai Bollywood selalu menemukan cara untuk memeras bisnis yang sedang sekarat.

Di film, penulis selalu mendapatkan peran penting. Tetapi pada kenyataannya, sebagian besar malah tidak diakui.

Penulis India lainnya, Javed Akhtar menambahkan, “Hi-Fi memang merefleksikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Tapi itu hanya refleksi keinginan, harapan, nilai, dan tradisi. Hi-Fi bukan refleksi realita, melainkan merefleksikan impian masyarakat.”

Baca Juga: Baim Wong Banjir Hujatan Soal Citayam Fashion Week: Demi Allah Saya Tidak Dendam

Pernyataan tersebut seakan ditegaskan oleh Ranjini Majumdar, Profesor Studi Film dari Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi.

“Sinema hanya memiliki satu arti, yakni hiburan. Kita tidak bisa menunjukkan realitas keras sehari-hari. Ini bukan tugas film-film komersial,” ujarnya.

Penulis dengan hasrat eksistensialismenya bisa saja memiliki ego besar yang tidak dapat dijangkau oleh editor, pembaca, atau pembeli. Tetapi apakah kemudian akan lebih baik, jika berharap pada industri film?

Mungkin saja seseorang mendapatkan penghargaan sastra bergengsi. Namun siapa sangka penjualan bukunya bahkan belum mencapai 100 eksemplar. Atau penulis yang memang dianugerahi bakat, namun tidak memiliki media dan pasar.

Baca Juga: Kendaraan Bermotor yang Pajaknya Mati Dua Tahun akan Dihapus dari Data

Karenanya, Sharma menilai bahwa penipuan dalam sinema bisa saja dikemas dengan sangat baik dalam sebuah film, dan menjadi penulis di India bukanlah pilihan utama untuk bertahan hidup secara ideal. ***

Sumber: Aplikasi Buku Pintar AHA

Peringkas: Hana Hanifah

Editor: Satrio Arismunandar

 

 

Berita Terkait