Menghitung Lenyapnya Nyawa di Balik Penggunaan Senjata di Amerika
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 31 Agustus 2022 17:10 WIB
ORBITINDONESIA - Pernahkah Anda membayangkan ketika tengah berbelanja atau berjalan kaki, kemudian terdengar suara ledakan senjata. Lalu seketika jeritan orang terdengar bersahut-sahutan, sementara darah berlumuran di mana-mana?
Mungkin banyak dari Anda tidak pernah mengalami atau bahkan membayangkan berada dalam situasi kekerasan senjata seperti itu. Namun di Amerika Serikat, itu menjadi tragedi yang kerap terjadi.
Bahkan data dari Arsip Kekerasan Senjata menunjukkan, dari awal tahun hingga 31 Mei 2022, sudah ada 233 penembakan massal yang terjadi. Itu termasuk pembantaian di Robb Elementary School, Ulvade baru-baru ini yang menewaskan 19 anak dan dua orang dewasa.
Baca Juga: New Year Gaza 24 B
Baca Juga: Fakta Baru Terungkap Putri Candrawathi dan Kuat Maruf Diduga Punya Hubungan Asmara, Bukan Brigadir J
Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) juga mencatat lebih dari 45.000 orang di Amerika Serikat telah terbunuh oleh senjata pada 2020. Statistik menemukan, sembilan anak meninggal dunia akibat senjata setiap harinya di Amerika Serikat.
Beberapa tragedi mematikan itu tergambarkan dengan ngeri dalam buku yang ditulis oleh Gary Younge, berjudul “Another Day in the Death of America: A Chronicle of Ten Short Lives” yang dirilis pada 2016.
Buku ini dengan gamblang menceritakan kisah 10 anak dan remaja di AS yang menjadi korban penembakan massal. Mereka yang memiliki rentang usia 9-19 tahun itu meninggal dalam waktu 24 jam pada 23 November 2013.
Mereka adalah Jaiden Dixon, Kenneth Mills-Tucker, Stanley Taylor, Pedro Cortez, Tyler Dunn, Edwin Rajo, Samuel Brightmon, Tyshon Anderson, Gary Anderson, dan Gustin Hinnant.
Baca Juga: Benarkah Putri Candrawathi punya Hubungan Terlarang dengan Kuat Maruf Sopir Pribadi?
Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda
Kesepuluh anak dan remaja itu memiliki beragam latar belakang, baik dari kulit putih, hitam, maupun Latin. Namun penyebab dari kematian mereka sama, yaitu akibat penggunaan senjata.
Misalnya, Tyler Dunn yang meninggal karena tidak sengaja ditembak oleh sahabatnya ketika menginap, atau cerita mengenai Gary Anderson yang meninggal ketika berjalan ke menuju apartemen ibunya.
Jaiden Dixon yang baru berusia 9 tahun bahkan harus meregang nyawa di tangan mantan pacar ibunya.
Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma
Yang lebih menyedihkan, Younge menyebut tidak ada satu pun dari tragedi berdarah tersebut diberitakan secara nasional.
Baca Juga: Joan Mir Resmi Bergabung dengan Tim Pabrikan Honda
Lewat bukunya itu, Younge mencatat kekhawatirannya jika hal yang tidak beradab tersebut telah di-“normalisasi” oleh warga Amerika.
Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan
Di dalam bukunya, Younge juga melakukan penelitian kecil dengan mewawancari anggota keluarga dan memasukkan sejumlah data mengenai kekerasan senjata di seluruh negeri.
Younge merangkum tragedi-tragedi tersebut dengan rapih dan menyayat hati dalam “Another Day in the Death of America: A Chronicle of Ten Short Lives”.
Seorang penulis ternama asal Afrika Selatan, Gillian Slovo menyebut kisah-kisah yang disajikan oleh Younge begitu tenang, tanpa hiperbola, atau menghakimi satu pihak, juga disempurnakan oleh data. Namun tulisannya tersebut mampu membangkitkan empati yang menyayat hati.
Baca Juga: Kenaikan BBM Tampaknya Adalah Suatu Keharusan Demi Selamatkan Keuangan Negara
Judul Buku : Another Day in the Death of America: A Chronicle of Ten Short Lives
Penulis : Gary Younge
Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota
Tahun Terbit : 2016
Penerbit : Nation Books
Sumber :https://www.npr.org/2022/06/02/1101494064/5-books-that-try-to-help-explain-the-unexplainable-the-u-s-gun-violence-epidemic
Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju
Sumber: Aplikasi Buku Pintar AHA
Peringkas: Amelia Fitriani
Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima
Editor: Satrio Arismunandar ***