DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Sri Bayar Utang, Sri Ngemplang Utang

image
Amir Uskara.

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.

ORBITINDONESIA - Di tengah isu besarnya utang pemerintah yang mencapai Rp 7.000 triliun lebih,  tetiba muncul berita mengagetkan publik. Pemerintah, mulai membayar utang kepada PT Pertamina persero dan PT PLN persero tahun ini. Total yang akan dibayarkan mencapai Rp 350 triliun, jelas Menkeu Sri Mulyani.

Berita bayar utang di atas membungkam kritik kaum oposan, yang menyindir Indonesia akan bangkrut seperti Sri Lanka, yang tak mampu membayar utang.

Seperti diketahui, utang Sri Lanka total berjumlah  51 miliar dollar AS pada kreditor asing. Dan ia tak mampu membayar cicilannya. Alias ngemplang utang. 

 Baca Juga: Prof. Didin Damanhuri: Problem Inflasi Karena Struktur Pasar yang Oligopolistik, Kartelisasi, Bahkan Oligarki

Indonesia jauh dari itu semua karena sebagian besar utang Indonesia dalam bentuk rupiah dan sumbernya 75 persen dari dalam negeri. Utang dari sumber domestik inilah yang mulai dibayar pemerintah.

Ada orang bertanya, kok bayar utangnya kepada BUMN milik negara? Memang demikian: utang negara yang Rp 7.000 triliun lebih itu sebagian besar berasal dari  dalam negeri (domestik). Antara lain, utang ke BUMN dan swasta nasional (yang membeli Surat Utang atau SBN).

Inilah yang membedakan Indonesia dan Sri Lanka. Sebagian besar utang Indonesia berasal dari dalam negeri dalam bentuk rupiah. Bukan dollar atau mata uang asing seperti Sri Lanka.

Utang dalam bentuk rupiah jauh lebih aman, karena tidak tergantung dari nilai dollar dalam membayar utangnya. Alias tidak tergantung fluktuasi nilai dollar dan valuta asing lain di pasar internasional.

 Baca Juga: PM Boris Johnson Mundur Setelah Banyak Tekanan Akibat Berbagai Skandal

Sri Mulyani mengumumkan per akhir Februari 2022, posisi utang pemerintah Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17% terhadap produk domestik bruto (PDB). Proporsi utang tersebut cukup aman, karena masih di bawah amanat UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

UU Nomor 17  menyatakan, maksimal rasio utang terhadap PDB adalah  60 persen. Saat ini,  rasio utang Indonesia terhadap PDB baru 40,17 persen. Masih aman -- ujar Sri Mulyani.

Perlu diketahui, utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN (Surat Berharga Negara),  yang mencapai 87,88% dari seluruh komposisi utang per Februari 2022. Atau sebesar Rp 6.164,2 triliun.

Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh rupiah, yakni 70,07%. Jadi utang dalam dollar atau valuta asing lain, kurang dari 30 persen. Amannya utang Indonesia bisa juga dilihat dari kepemilikan SBN. Kepemilikan SBN oleh investor asing terus menurun.  Tahun 2019 sebesar 38,57%  dan per  Maret 2022 hanya 18,15%.

 Baca Juga: Memahami Akuntansi Dengan Cara Praktis dan Sederhana

Komposisi utang dalam mata uang tersebut jelas relatif aman. Karena SBN dalam mata uang rupiah jauh lebih besar dari mata uang asing. Masing-masing Rp 4.901,66 trilyun, sedangkan dalam valuta asing Rp 1.262,53 triliun atau 25 persennya saja. Komposisi utang SBN tersebut sangat aman karena didominasi SBN dalam bentuk rupiah.

Meski masih terpengaruh krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi di tahun 2022 terlihat membaik.  Defisit APBN 2022 yang menurun menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi global tersebut.

Pemerintah menegaskan, akan terus menjaga rasio utang terhadap PDB.  Di antaranya   dengan memanfaatkan pembiayaan non-utang, seperti optimalisasi pemanfaatan SAL (sisa anggaran lebih), kerja sama (partnership) dalam pembiayaan infrastruktur, dan lain-lain.

Ini penting untuk menjaga rasio utang agar tidak melampaui ketentuan UU No 17 Tahun 2003, sekaligus meminimalkan penambahan utang yang memberatkan negara.

 Baca Juga: Syafruddin Pernyata: Pemerintah Perlu Dorong Gerakan Menulis Sebagai Wujud Pencerdasan Bangsa

Mencermati komposisi utang Indonesia; lalu  rasio utang terhadap PDB; dan menipisnya ketergantungan  utang dalam bentuk  valuta asing -- menjadikan Indonesia relatif aman dari "krisis ekonomi" seperti Sri Lanka.

Tambahan lagi, tidak seperti Sri Lanka yang sumber devisa terbesarnya dari pariwisata -- Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah ruah. Seperti batu bara, nikel, emas, minyak sawit, dan lain-lain.

Selama pandemi, misalnya, Indonesia justru mendapatkan rejeki nomplok dari kenaikan harga batu bara dan minyak sawit.

Jika kaum oposan terus memojokkan negara dengan menyontohkan kasus Sri Lanka, itu artinya, mereka kurang mencermati kondisi ekonomi terbaru Indonesia dan dunia. 

 Baca Juga: Denny JA: Wacana Pindah Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur Perlu Lebih Dipasarkan

Dunia internasional menganggap Indonesia berhasil dalam mengatasi krisis ekonomi pascapandemi. Jika tidak, mana mungkin Presiden Joko Widodo diundang untuk menghadiri KTT G-7 di Jerman akhir Juni lalu?

Sungguh itu sebuah apresiasi negara-negara maju terhadap keberhasilan Indonesia dalam mengatasi krisis pandemi dan ekonomi di dunia, yang terpuruk akibat wabah Covid-19.

Akhirnya kita tahu, betapa sesatnya orang yang menyamakan "Duo Sri" dalam pentas ekonomi. Sri Mulyani sangat berbeda dengan Sri Lanka.

Sri Mulyani bayar utang sebagai sinyal perbaikan ekonomi Indonesia. Sri Lanka ngemplang utang akibat kebangkrutan ekonominya.***

 

Berita Terkait