DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Generasi Z yang Dituding Bermental Tempe, Apakah Tudingan Ini Benar

image
Ilustrasi Generasi Z di tempat kerja.

ORBITINDONESIA.COM - Dimarahin sedikit saja, sudah merasa paling tersakiti. Langsung healing ke Bali. Eh tak balik-balik. Ya begitulah Generasi Z.

Tidak heran jika akhirnya sering dicap sebagai generasi yang mentalnya paling rapuh. Tapi apa iya Generasi Z yang paling rapuh? Atau malah Generasi Z justru generasi yang paling peduli pada kesehatan mental?

Dalam Generation Theory oleh Graeme Congdrington dan Sue Grant-Marshall, Penguin (2004), Generasi Z ini orang-orang yang lahir di kisaran tahun 1996-2009. Ya, gampangnya Gen Z ini mereka yang pasti paham dengan media sosial karena memang tumbuh dengan kehadiran media sosial.

Baca Juga: Profil Lengkap dan Fakta Menarik Anton RIIZE, Member Termuda yang Pernah Bermimpi Jadi Perenang Profesional

Jujur, saya sebagai generasi Z, mengaku kok kalau hidup saya tak cuma bersama adik, kakak, teman, tapi juga hidup bersama media sosial. Dan yang namanya media sosial, ya tahu sendiri lah. Kita jadi gampang melihat kehidupan orang lain yang mostly kelihatannya sempurna. Bersih tanpa noda.

Belum lagi Gen Z ini lebih senang bercerita melalui media sosial. Tapi itu yang juga membuatnya lebih mudah mendapatkan cyberbullying. Dan akhirnya ini yang membuat Gen Z lebih mudah terganggu kesehatan mentalnya.

Eits, tapi bukan berarti media sosial ini cuma memberikan dampak buruk buat kesehatan mental ya. Nampaknya dari media sosial ini lah Gen Z jadi lebih aware dengan kesehatan mentalnya.

Tidak dipungkiri lagi, media sosial membuat kita lebih mudah mengakses informasi termasuk tentang pentingnya menjaga kesehatan mental.

Baca Juga: Sinopsis Film Horor Siksa Neraka, Dijamin Mendebarkan, Ada Aktor Senior Keisha Alvaro dan Slamet Raharjo

Di media sosial, banyak orang yang akhirnya speak up tentang kesehatan mental dan inilah yang membuat Gen Z lebih aware dengan kesehatan mentalnya. Tapi yang jadi pertanyaannya adalah salahkah memprioritaskan kesehatan mental?

Tak ada yang namanya salah untuk peduli sama diri sendiri. Selagi tak merugikan orang lain, ya lanjutkan saja. Yang salah justru ketika main self diagnosis sendiri terkait kesehatan mental. Self diagnosis ini ketika Anda mengidap gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri.

Stres sedikit sudah dianggap depresi. Mood lagi berantakan sudah dianggap berkepribadian ganda. Nah ini yang salah. Dan bisa berbahaya.

Karena apa? Karena kemungkinan Anda bisa mengambil pengobatan yang salah. Bukannya sembuh malah tambah sakit. Makanya, dibutuhkanlah konseling kesehatan jiwa untuk yang merasa mental terganggu.

Baca Juga: Kinerja Saham BBRI Cemerlang, Analis Rekomendasikan Buy and Hold

Lewat konseling, Anda bakal bertemu spesialis kesehatan jiwa yang memang sudah ahli di bidangnya. Anda juga bisa dikasih perawatan yang sesuai. Ini juga akan membuat Anda merasa lebih terhubung dengan orang lain dan tak merasa kesepian.

Ini yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang mungkin mentalnya terganggu. Mereka butuh didengar, ditemani, bukan diceramahi apalagi dihujat.

Makanya, saya setuju sama Ganjar, Gubernur Jawa Tengah yang ingin persoalan kesehatan mental jadi prioritas nasional. Bahkan Ganjar mau memperluas akses konseling kesehatan mental sampai ke puskesmas.

Apalagi kan kita mau menuju Indonesia Emas 2045. Dan sedang berada di bonus demografi sehingga usia produktif termasuk Gen Z menempati posisi lebih banyak dibanding yang lain.

Makanya perlu diperhatikan kesehatan mentalnya. Karena jika mental sehat, kesehatan fisik dan produktivitas seseorang menjadi meningkat. Jadi, mulai sekarang jangan takut untuk ke konseling kesehatan jiwa ya! Dan jangan lupa juga jaga mental teman dan orang terdekatmu.

(Oleh: Fadia Andini)

Berita Terkait