DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kinerja Penurunan Kemiskinan di Jawa Tengah Sebagai Modal Ganjar Pranowo Menjadi Calon Presiden 2024

image
Fadhil Hasan, ekonom.

Oleh: Fadhil Hasan* dan Ahmad Nur Hidayat**

Pendahuluan

ORBITINDONESIA.COM - Pada 2024 bangsa Indonesia akan melaksanakan proses suksesi kepemimpinan. Pemilihan Presiden 2024 menjadi momen penting karena Indonesia memasuki tahap krusial dalam pembangunannya. 

Taruhannya adalah apakah Indonesia mampu menjadi negara maju (advanced economy) dengan PDB per kapita yang tinggi atau terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle income trap). 

Berhasil tidaknya Indonesia menjadi negara maju sangat ditentukan salah satunya oleh kepemimpinan nasional dalam periode 2024—2029 dan seterusnya.  Peran pemimpin di berbagai tingkat terutama nasional sangat penting karena ia akan memberikan arah dan inspirasi, dan juga menentukan bagaimana negara ini dikelola.

Baca Juga: Sering Kunjungi Kampus, Politikus Partai Hanura Inas Nasrullah Ganjar Bisa Raup Banyak Suara Gen Z

Saat ini muncul 3 nama calon presiden, yaitu Anies Baswedan mantan Gubernur DKI Jakarta 2017—2022, Ganjar Pranowo yang Gubernur Jawa Tengah (Jateng) dua periode (2013—2023) dan Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra. 

Kini Ganjar Pranowo secara resmi sudah menjadi calon Presiden Republik Indonesia dari PDIP, PPP dan beberapa partai politik non-parlemen. Kelayakan seorang calon presiden setidaknya diuji dari tiga faktor utama.

Pertama, tentang gagasan dan pemikirannya dalam menentukan arah dan menangani beragam persoalan bangsa saat ini maupun  di masa depan. Kedua, track record-nya sebagai pejabat publik, dan ketiga adalah integritasnya. Ini berlaku bukan hanya bagi Ganjar Pranowo, melainkan  juga bagi kandidat presiden lainnya. Publik berhak mengetahui ketiga faktor utama tersebut sebelum menentukan pilihan politiknya. 

Artikel ini akan mengkhususkan ulasannya pada aspek track record Ganjar Pranowo. Khususnya tentang kinerjanya dalam menurunkan tingkat kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jateng. Setelah mengetahui kinerjanya, artikel ini berusaha menjawab pertanyaan apakah kinerjanya ini dapat memengaruhi elektabilitas dan prospeknya sebagai salah seorang calon Presiden.  

Baca Juga: Karen Agustiawan Mantan Direktur Utama Pertamina, Resmi Ditahan oleh KPK dalam Kasus Korupsi LNG

Dinamika Tingkat Kemiskinan Jawa Tengah 2008—2022

Wilayah kerja Pemerintah Provinsi Jateng cukup luas, yaitu 32.544,12 km2, dan terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota.  Jumlah penduduk yang dinaungi pun cukup besar, yaitu 37.032.410 jiwa.  

Meskipun demikian, besaran APBD Jateng relatif proporsional dengan provinsi lainnya di Jawa, kecuali DKI Jakarta.

Pada 2022 APBD Jateng sebesar  Rp25,125 triliun[1]. Jumlah ini jauh meningkat dibandingkan  tahun 2014 yang jumlahnya hanya Rp14.425 triliun. Di antara 6 provinsi di Jawa pada 2022, APBD Jateng menempati urutan ke-4 setelah Provinsi DKI Rp82.471 triliun[2], Jawa Barat (Jabar) Rp32.283 triliun, dan Jawa Timur (Jatim) Rp 29.454 triliun.

Sementara itu, APBD Banten tercatat sebesar Rp11.279 triliun dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar Rp5.365 triliun.

Sejak lama provinsi Jateng merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Pada 2008—2012, misalnya, rata-rata tingkat kemiskinannya sebesar 16,9 persen, masing-masing 18,9 persen untuk perdesaan dan 14,7 persen untuk perkotaan.

Pada periode tersebut, rata-rata tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,47 persen, dengan rincian kemiskinan perdesaan sebesar 16,7 persen dan 10,1 persen di perkotaan.

Baca Juga: GEGER! Elon Musk Menyatakan Rencananya untuk Memungut Biaya Langganan dari Pengguna X sebelumnya Twitter

Ketika GP mulai menjabat Gubernur Jateng pada Agustus 2013, tingkat kemiskinan Jateng mencapai 14,6 persen atau 4,8 juta jiwa. Pada periode pertama pemerintahannya (2013—2018), tingkat kemiskinan Jateng turun sebesar 3,24 titik persen atau rata-rata menurun 0,67  titik persen per tahun.

Angka ini setara dengan penurunan jumlah orang miskin sebanyak 914 ribu jiwa atau rata-rata 183 ribu jiwa per tahun. Meskipun dalam periode pertama GP terjadi penurunan kemiskinan cukup signifikan, laju penurunannya masih lebih rendah dibandingkan periode 5 tahun sebelumnya.

Dalam kurun waktu 2008—2012, tingkat kemiskinan Jateng menurun sebesar 4,67 titik persen dengan rata-rata penurunan tahunan sebesar 0,93 titik persen. Laju penurunan kemiskinan yang lebih cepat memang lebih mungkin terjadi ketika tingkat kemiskinan di awal periode sangat tinggi, seperti di Jateng pada 2008.

Dalam kontestasi politik, terlebih dalam pemilihan presiden, masyarakat berhak memperoleh berbagai informasi tentang calon presidennya. Tanpa membandingkannya dengan kinerja penurunan kemiskinan daerah lainnya, kita tidak dapat menyimpulkan apakah kinerja GP tersebut merupakan sebuah prestasi yang fenomenal atau capaian yang sewajarnya.

Baca Juga: NASA Sedang Ciptakan Robot Humanoid untuk Bantu Pekerjaan Astronot di Luar Angkasa

Pemilihan wilayah pembanding akan sangat menentukan komparabilitasnya. Dalam hal ini, membandingkan dengan nasional tidak akan setara karena penurunan kemiskinan nasional mencakup penurunan kemiskinan di luar Pulau Jawa yang memiliki karakteristik wilayah dan penduduk yang jauh berbeda dengan Jateng.

Oleh karena itu, artikel ini akan mencoba membandingkan penurunan kemiskinan di Jateng dengan 5 provinsi lain di Pulau Jawa. Pada 2013, tingkat kemiskinan antarprovinsi di Jawa terpaut cukup jauh, kecuali antara Jateng dan DIY. Kedua provinsi ini mencatat tingkat kemiskinan yang setara, yaitu 14,6 persen dibandingkan 15,43 persen.

Angka tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan keempat provinsi lainnya: Jatim sebesar 12,5 persen, Jabar sebesar 9,5 persen, Banten sebesar 5,7 persen, dan DKI Jakarta adalah yang terendah, yaitu 3,6 persen.

Pada 2018, tingkat kemiskinan keenam provinsi ini hampir mencapai konvergensi dengan gap (selisih) tingkat kemiskinan antarprovinsi yang semakin kecil, terutama antara DIY, Jateng, dan Jatim. Hal ini sesuai dengan teori konvergensi bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu wilayah, semakin cepat pula laju penurunan kemiskinannya.[3]

Baca Juga: Jadi Masterpiece! Bohemian Rhapsody Milik Queen Miliki Makna Mendalam untuk Semua Kalangan Hingga Kini

Jika merujuk pada teori konvergensi, DIY dan Jateng seharusnya mengalami penurunan tingkat kemiskinan paling besar, sementara yang paling rendah adalah DKI Jakarta. Dengan mengamati tren penurunan kemiskinan antar provinsi, DIY mencatat laju penurunan kemiskinan terbesar dalam periode 2013—2018, diikuti dengan Jateng dan Jabar.

Pada saat tingkat kemiskinan Jateng menurun 3,24 titik persen, penurunan tingkat kemiskinan di DIY sedikit lebih besar, yaitu 3,3 titik persen, sedangkan penurunan di Jabar jauh lebih kecil, yaitu 2,07 titik persen.

Sementara itu, meskipun Jatim pada 2013 memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dari Jabar, laju penurunan kemiskinannya justru lebih kecil, yaitu 1,57 titik persen. Dalam periode ini, tingkat kemiskinan di Jakarta relatif stagnan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena tingkat kemiskinan di provinsi ini sudah cukup rendah bahkan paling rendah di antara 5 provinsi lain atau dari rata-rata nasional. 

Dengan demikian, penurunan kemiskinan di Jateng pada periode pertama pemerintahannya merupakan hal yang sudah sewajarnya, bukan merupakan sebuah prestasi yang istimewa.

Laju penurunan kemiskinan Jateng tidak lebih cepat dari DIY yang memang di awal periode memiliki tingkat kemiskinan yang sedikit lebih tinggi. Jateng juga mencatat penurunan kemiskinan lebih besar dibandingkan 5 provinsi sisanya, karena memang di awal periode Jateng memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan kelima provinsi tersebut.

Baca Juga: Persija Jakarta, Antara Kemenangan Pertama di Stadion Brawijaya dan Kisah Sedih Dibaliknya

Pada periode pemerintahan GP yang kedua, 2018—2022, terjadi pandemi Covid-19. Pandemi mengakibatkan tingkat kemiskinan, baik nasional maupun regional, mengalami peningkatan signifikan,  terutama pada 2019—2021. Pada masa pandemi ini, peningkatan kemiskinan terbesar terjadi di Banten (1,57 titik persen), pada saat tingkat kemiskinan nasional bertambah 0,73 titik persen.

Sementara itu, peningkatan kemiskinan di Jateng adalah yang paling rendah, yaitu 0,99 titik persen, dibandingkan provinsi-provinsi lain di Jawa. Tingkat kemiskinan di Jabar meningkat 1,49 titik persen; di Jakarta meningkat 1,25 titik persen; di DIY meningkat 1,1 titik persen; dan di Jatim meningkat 1,03 titik persen.

Rendahnya peningkatan kemiskinan Jateng di masa pandemi ini mengindikasikan kemampuan Pemerintah Jateng untuk menjaga resiliensi masyarakatnya di tengah guncangan.  

Pada 2022, setelah pandemi mulai mereda, tingkat kemiskinan nasional maupun regional mulai menurun kembali. Pada 2021—2022 tingkat kemiskinan Jateng menurun dari 11,79 persen, menjadi 10,93 persen atau menurun  0,86 titik persen.

Penurunan ini lebih besar dibandingkan angka nasional, namun bukan yang paling besar di antara 6 provinsi di Jawa. Dalam hal ini, DIY dan Jatim memiliki performa yang lebih baik dengan penurunan kemiskinan masing-masing sebesar 1,46 titik persen dan 1,02 titik persen.

Baca Juga: Tenaga Ahli Kominfo Walbertus Natalius Wisang Ditangkap Lalu Jadi Tersangka Kasus Korupsi Johnny G Plate

Dengan demikian selama dua periode pemerintahannya 2013—2022, secara rata-rata, GP mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 3,63 titik persen atau rata-rata 0,44 titik persen per tahun. Capaian ini masih lebih rendah dari DIY yang menurun 4,09 titik persen dalam periode yang sama.

Penyebab Kemiskinan di Jawa Tengah

Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berkelindan dengan masalah kemiskinan, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi dapat menjadi ganjalan bagi upaya pengentasan kemiskinan; semakin tinggi ketimpangan, semakin lemah kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan[5]. Dengan distribusi tingkat pendapatan antarmasyarakat yang timpang, pertumbuhan ekonomi hanya disokong dan dinikmati oleh segelintir orang. Dalam hal ini, selama periode pemerintahan GP (2013—2022) ketimpangan di Jateng, ditunjukkan dengan Indeks Gini, mengalami sedikit penurunan. Penurunan ketimpangan di Jateng masih lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 0,013 dibandingkan 0,029. Meskipun pada 2019 tingkat ketimpangan Jateng berada pada titik terendahnya, yaitu 0,361, angka ini kemudian beranjak naik seiring dengan terjadinya pandemi Covid-19 hingga mencapai 0,374 pada 2022. Namun, Jateng bukan satu-satunya provinsi di Jawa yang mengalami peningkatan ketimpangan sejak pandemi menyerang. DKI Jakarta mengalami peningkatan ketimpangan paling tajam, yaitu sebesar 0,029. Ketimpangan di Jabar juga meningkat selama pandemi dan lebih besar dibandingkan peningkatan di Jateng, yaitu  0,015 dibandingkan 0,013. Sementara itu, 3 provinsi lainnya (DIY, Jatim, dan Banten) sempat mengalami peningkatan ketimpangan selama 2019—2021 namun berhasil menurunkannya kembali pada 2022. Dengan demikian, secara umum Pemerintah Jateng di bawah komando GP berhasil menjaga kestabilan tingkat ketimpangan di Jateng, meskipun tidak mampu menurunkannya secara signifikan.
  2. Inklusifitas pembangunan. Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh kelompok rentan di masyarakat, diperlukan pembangunan ekonomi yang inklusif. Dalam hal ini, Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI)  dapat menjadi acuan untuk menilai capaian Pemerintah Jateng untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. IPEI terdiri dari 3 pilar, yakni (i) Pilar Pertumbuhan dan Perkembangan Perekonomian, (ii) Pemerataan Pendapatan dan Pengurangan Kemiskinan, dan (iii) Perluasan Akses dan Kesempatan. Selama periode pemerintahan GP, setidaknya sampai sebelum pandemi, capaian IPEI Jateng selalu meningkat dan berada di atas capaian IPEI nasional. Pada konteks pandemi  periode 2019—2021, pola perubahan capaian IPEI di Jateng juga sesuai dengan pola yang terjadi secara nasional.  Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa, capaian IPEI Jateng masih berada jauh di bawah DKI. Namun, Jateng mulai mengejar ketertinggalan dengan DIY yang tampak dari semakin mengecilnya gap antara kedua provinsi ini. Jika merujuk pada nilai IPEI pada 2021, Jateng dan DIY masuk pada kategori memuaskan, sementara capaian DKI Jakarta tergolong sangat memuaskan. Meskipun bukan menjadi yang terbaik, semakin mengecilnya gap antara DIY dan Jateng menunjukkan upaya keras GP untuk memastikan pembangunan ekonomi di Jateng dapat memberikan kesempatan yang sama kepada semua lapisan masyarakat Jateng.  

Baca Juga: Wow! Venezuela Bekerja Sama dengan China Kirim Astronot Mereka ke Bulan

  1. Ketersediaan lapangan pekerjaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan dapat meningkatkan pengangguran dan memperparah kemiskinan. Sampai 2019 sebelum terjadi pandemi Covid-19, hanya terjadi sekali penurunan signifikan pada tingkat pengangguran di Jateng, yaitu pada 2015—2016, dengan penurunan sebesar 1,11 titik persen (4). Di tahun-tahun lain, tingkat pengangguran di Jateng relatif stagnan. Pada awal periode pemerintahan GP, tingkat pengangguran di Jateng selalu di bawah rata-rata nasional. Namun, ketika pandemi Covid-19 mulai melumpuhkan sektor formal di Indonesia pada 2020—2021, tingkat pengangguran Jateng menanjak naik  dan hampir menyamai tingkat pengangguran rata-rata nasional. Meskipun mulai menurun pada 2022, tingkat pengangguran di Jateng masih setinggi tingkat nasional dan tidak kembali pada tingkat awal sebelum pandemi. Dibandingkan lima provinsi lain di Jawa, tingkat pengangguran di Jateng berada di posisi tengah, yaitu masih di atas Jatim dan DIY namun di bawah Jabar, Banten, dan DKI Jakarta. Posisi Jateng yang berada di tengah di antara enam provinsi di Jawa ini dapat mencerminkan secara relatif atas kinerja pemerintahan GP pada aspek ketenagakerjaan masyarakat.
  2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM dapat menentukan akses masyarakat terhadap lapangan pekerjaan dan meningkatkan penghasilannya sehingga dapat keluar dari kemiskinan. Salah satu indikator dalam menilai kualitas SDM adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama periode 2013—2022 masyarakat Jateng mengalami peningkatan IPM, sebagaimana juga dialami oleh masyarakat di lima provinsi lain di Jawa (5). Meskipun masih jauh tertinggal dari DKI Jakarta dan DIY, tingkat IPM Jateng dan tren peningkatannya relatif sama dengan rata-rata nasional dan dengan IPM Jabar. Sementara itu, IPM Banten yang pada awal periode berada di atas Jateng atau IPM Jatim yang berada di bawahnya, sampai pada 2022 ketiga provinsi ini memiliki tingkat IPM yang relatif sama, yaitu dalam kisaran antara 72,8 sampai 73,3.
  3. Ketersediaan dan akses terhadap infrastruktur dasar. Kurangnya ketersediaan infrastruktur yang memadai atau rendahnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dasar, seperti jalan, transportasi, air bersih, komunikasi, dan listrik, dapat membatasi peluang masyarakat untuk membangun kualitas SDM dan meningkatkan produktivitas ekonominya. Salah satu infrastruktur bidang komunikasi yang penting bagi masyarakat terutama setelah pandemi Covid-19 adalah internet. Akses masyarakat terhadap internet dapat menjadi strategi masyarakat untuk beradaptasi atas berkurangnya kesempatan kerja akibat pembatasan sosial. Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, sebanyak 47,8 persen masyarakat Jateng sudah mengakses internet. Angka serupa juga ditunjukkan di Jatim, yaitu 47,1 persen. Sementara itu, masyarakat di 4 provinsi lainnya memiliki akses internet yang lebih baik: di Jabar sebesar 53,9 persen, di Banten sebesar 56,3 persen, di DIY sebesar 61,7 persen,  dan yang tertinggi adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar 73,5 persen. Seperti juga dialami oleh Jatim dan Jabar, Jateng menghadapi tantangan akan luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk, sehingga menyulitkannya untuk memperluas akses internet masyarakat.

Terkait dengan berbagai faktor penyebab kemiskinan tersebut, yang perlu disadari adalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi, demikian pula dengan faktor penyebabnya. Oleh karena itu, untuk menilai dinamika kemiskinan di suatu wilayah, sangat sulit mengisolasi suatu faktor penyebabnya tanpa mengaitkannya dengan faktor lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terkait dengan hal tersebut, faktor penyebab kemiskinan akan menentukan upaya untuk mengatasinya. Di antara upaya tersebut adalah yang terkait dengan dimensi ekonomi, SDM, sosial kemasyarakatan, layanan  dasar, tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, dan sumber daya alam.

Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Jawa Tengah

Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu program prioritas Presiden Jokowi. Untuk itu Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk mencapainya.

Anggaran ini antara lain untuk mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin, peningkatan pendapatan melalui pemberdayaan ekonomi, dan penyediaan layanan dasar yang lebih merata.

Lebih dari itu, untuk menghapuskan kemiskinan ekstrim menjadi 0 persen, Jokowi telah memajukan target pencapaiannya menjadi 2024; jauh lebih awal dari  target SDGs yang dicanangkan tercapai pada 2030. 

Untuk itu, pada 2022 Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Instruksinya antara lain adalah mengharuskan adanya kerjasama, keterpaduan dan sinergitas antar-K/L maupun dengan pemerintah daerah dalam berbagai program yang menjadi tupoksi masing-masing.

Dalam konteks otonomi daerah (kecuali di Provinsi DKI), yang perlu diingat adalah hubungan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota bukanlah hubungan subordinatif, karena bupati/walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Oleh karenanya, “hitam putihnya” penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota tidak bisa diatributkan sepenuhnya kepada gubernur.  

Berangkat dari kebijakan tersebut, alokasi anggaran pengentasan kemiskinan yang didistribusikan ke pemerintah daerah meningkat dari tahun ke tahun. Besaran alokasi ke masing-masing daerah tentu merujuk pada jumlah penduduk miskin di daerah bersangkutan yang tercermin dalam jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Makin besar jumlah  penduduk miskin di suatu daerah, maka makin besar pula alokasi anggaran yang diterima, begitupun sebaliknya. Di Papua misalnya, meskipun tingkat kemiskinannya sangat tinggi, namun karena jumlah penduduknya kecil, alokasi total bansos yang mereka terima juga kecil. Tabel 1 menunjukkan salah satu jenis bansos sosial dalam bentuk bantuan pangan tahun 2022 di 6 provinsi Pulau Jawa.

Tabel 1 Realisasi Jumlah KPM dan Anggaran Bansos Pangan Tahun Anggaran 2022

Provinsi

Realisasi Jumlah KPM

Realisasi Anggaran Bansos

     

DKI Jakarta

1 523 154

5 289 600 00 000

Jawa Barat

26 184 572

9 150 840 200 000

Jawa Tengah

21 394 777

7 477 226 200 000

DI Yogyakarta

2 272 724

790 794 400 000

Jawa Timur

20 862 092

7 236 114 000 000

Banten

3 225 853

1 161 351 000 000

Sumber: BPS, 2022[10]

Di luar berbagai jenis bansos dan program lainnya yang bersumber dari pemerintah pusat, semua pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga melakukan berbagai program pengentasan kemiskinan. Program-program pengentasan kemiskinan ini disesuaikan dengan urgensi permasalahan lokal  dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

Pada 2015, sekitar setahun setelah menjabat, GP menerbitkan Peraturan Gubernur Jateng Nomor 72 Tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) Provinsi Jateng tahun 2015—2018. Pada periode jabatannya yang kedua, GP kembali menerbitkan Pergub Nomor 60 Tahun 2019 Tentang SPKD Provinsi Jateng Tahun 2019—2023.

Berdasarkan dokumen pertama, faktor  umum yang menyebabkan kemiskinan di Jateng diklasifikasikan ke dalam: (i) masalah konsumsi,  (ii) bidang ketenagakerjaan, (iii) bidang kesehatan, (iv) bidang pendidikan, (v) infrastruktur dasar, (dan vi) ketahanan pangan. Pada dokumen yang kedua, untuk masa kerja 2019—2023 determinan penyebab kemiskinan di Jateng masih berkaitan dengan enam dimensi tersebut.

Berdasarkan berbagai faktor penyebab kemiskinan tersebut, dalam SPKD 2015—2018 strategi utama yang dijalankannya meliputi (a) Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; (b) Peningkatan akses pelayanan dasar; (c) Pembangunan yang inklusif; (d) Mensinergikan kebijakan dan pengelompokan program penanggulangan kemiskinan; dan (e) Memperbaiki program perlindungan sosial.

Untuk kategori strategi (d), kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu: 1) kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga; 2) kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat; dan 3) kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil.

Pada SPKD 2019—2023, strategi pengentasan kemiskinan mencakup: (a) Penyediaan basic life access untuk penduduk miskin melalui peningkatan akses pendidikan, peningkatan akses mutu layanan kesehatan yang merata serta penurunan angka kematian, kesakitan, dan kecacatan, serta peningkatan akses air minum dan sanitasi layak; (b) Penguatan sustainable livelihood dalam kerangka mengurangi pengangguran dan menjaga kelompok rentan dari kehilangan pekerjaan. Hal ini dilakukan antara lain melalui peningkatan kondisi yang baik (enabling environment) bagi masuknya investasi baru dan pengembangan startup wirausaha baru peningkatan peran dan produktivitas Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Badan Usaha Milik Antar Desa (BUMADes); (c) Peningkatan ketersediaan dan kecukupan pangan terutama beras melalui peningkatan produksi dan menjaga stabilitas harga beras, serta stimulan lumbung pangan pada daerah rawan pangan dan pemberian bantuan sumber pangan lainnya; (d) Penguatan tata kelola dan koordinasi kelembagaan penanggulangan kemiskinan. Kebijakannya antara lain peningkatan dan perluasan pengelolaan basis data penanggulangan kemiskinan dan perbaikan program bantuan sosial.

Keseluruhan strategi tersebut kemudian dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan. Untuk UMKM, misalnya, program kegiatan mencakup antara lain: Digitalisasi UMKM, UMKM Bangkit, dan UMKM Go Export. Program-program ini dinilai berhasil sehingga Pemprov Jateng mendapatkan penghargaan OJK[11], demikian juga dengan  beberapa program lainnya, GP dinilai berhasil.

 

Terkait ini, Media Indonesia menyebut beberapa program Ganjar Pranowo seperti program rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), Tuku Lemah Oleh Omah atau beli tanah dapat rumah,  jambanisasi, listrik,  air, Kartu Jateng Sejahtera (KJS), dan Lapak Ganjar, Untuk RTLH, misalnya, jumlah rumah yang telah direhabilitasi sebanyak 1.041.894 unit rumah di seluruh wilayah Jateng[12].

Implikasi Kinerja Ganjar Pranowo dalam Mengatasi Masalah Kemiskinan Jawa Tengah terhadap Elektabilitasnya dalam Pemilihan Presiden

Kinerja seorang pejabat publik memang dapat menjadi salah satu determinan untuk menilai apakah yang bersangkutan mempunyai kapasitas mumpuni jika “ditugaskan” memegang jabatan yang lebih tinggi.

Namun, terkait dengan ini yang harus diingat adalah setiap level kepemimpinan pemerintahan di Indonesia atau di negara manapun yang menganut sistem demokrasi, otoritasnya tidak tanpa batas, baik batasan yang dipagari oleh UU yang berlaku maupun batasan dukungan politik di parlemen. 

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, seorang gubernur bukanlah seorang yang mempunyai otoritas tunggal untuk mengeksekusi semua visi dan misinya.

Bupati dan walikota bukanlah “anak buahnya,” padahal bupati dan walikota merupakan “penguasa wilayah” yang sesungguhnya karena sistem otonomi daerah yang berlaku memang menempatkan hak otonom pemerintahan berada di tingkat kabupaten/kota.  

Terkait dengan hal itu, mengingat semua gubernur (kecuali DKI) berada dalam koridor regulasi yang sama secara nasional, maka kinerja seorang gubernur bersifat relatif antara satu dengan yang lainnya. Tentunya tidak ada wilayah provinsi yang kondisinya identik dengan wilayah lain.

Dalam hal ini, membandingkan kinerja GP dengan gubernur lainnya di Pulau Jawa merupakan sebuah proxy. Paparan tentang dinamika kemiskinan antarprovinsi dalam artikel ini menunjukkan bahwa upaya GP untuk mengatasi persoalan kemiskinan di Jateng sejalan dengan tren yang terjadi pada tingkat nasional dan daerah lain pada umumnya.   

Hal ini tampak dari gap tingkat kemiskinan, antara Jateng dengan provinsi-provinsi lain di Jawa ataupun dengan nasional, yang antartahun makin mengecil menuju konvergensi.

Meskipun demikian, capaian ini bukan sebuah prestasi luar biasa. Pemerintahan GP pada tingkat tertentu diuntungkan dengan tingkat kemiskinan Jateng di awal periode yang relatif tinggi dibandingkan wilayah lain di Jawa, sehingga GP punya peluang lebih besar untuk menggenjot penurunannya dengan laju yang lebih cepat. Pemberian bantuan sosial dengan nilai tertentu sudah cukup untuk mendorong masyarakat melompati garis kemiskinan.

Hal ini berbeda dengan DKI Jakarta yang di awal periode tingkat kemiskinannya sudah cukup rendah. Dengan sedikitnya proposi masyarakat yang masuk kategori miskin, Pemerintah DKI Jakarta menghadapi tantangan dalam targeting untuk memastikan semua program pengentasan kemiskinannya tepat sasaran.

Selain itu, daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah umumnya menyisakan orang-orang yang berada pada kerak kemiskinan (hardcore poverty) sehingga sulit diatasi dengan program bantuan sosial saja.

Jika upaya pengentasan kemiskinan diibaratkan dengan perang, DKI tidak bisa melakukan serangan secara frontal dengan memberondong lawan.

Strategi ini mungkin akan efektif untuk pengentasan kemiskinan di Jateng tetapi tidak untuk DKI karena besar kemungkinan serangan tersebut akan salah sasaran. Sebaliknya, DKI memerlukan sniper: one bullet one target. Hal ini menjelaskan pelambatan laju penurunan kemiskinan di DKI Jakarta.

Pertanyaannya kemudian adalah dengan kinerja seperti itu apakah GP kelak layak dipilih menjadi presiden?  Apakah modal kinerja tersebut sudah memadai? Jika kita menganggap kinerja penurunan kemiskinan itu sebagai proxy kemampuan GP dalam keseluruhan kinerjanya di semua bidang pembangunan, implikasi logisnya adalah GP termasuk yang biasa-biasa saja (mediocre). 

Hal ini sejalan dengan pengakuan GP sendiri dalam wawancaranya dalam sebuah media televisi yang mengatakan bahwa dia bukan seorang Gubernur yang belum berhasil mengentaskan kemiskinan didaerahnya. 

Pemahaman ini harus disertai dengan dua catatan. Pertama, latar belakang tingkat kemiskinan yang tinggi di Jateng sebelum menjabat, memudahkan GP menurunkannya. Kedua, aspek kemiskinan hanya satu dari sekian banyak dimensi kesejahteraan masyarakat.

Kasus Wadas, sebagai contoh, menunjukkan ambiguitas keberpihakan GP terhadap kelompok miskin dan rentan. Pada satu sisi, GP menekankan pentingnya ketahanan pangan di level desa[13]. Di sisi lain, tuntutan warga Wadas agar pemerintah mencabut izin pertambangan andesit di sana tidak dihiraukan[14]. Hal ini menggambarkan bahwa untuk menilai kinerja calon presiden, selain memerlukan pembanding dengan kinerja calon presiden lainnya, juga memerlukan perspektif yang menyeluruh dari berbagai sudut pandang.

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa prestasi GP dalam penanganan kemiskinan biasa-biasa saja (mediocre).  Bahwa memang sejak awal tingkat kemiskinan di Jawa Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi lainnya di Jawa dan kemiskinan di Jawa Tengah mengalami penurunan mengikuti tren pada tingkat nasional dan daerah pada umumnya. 

Jawa Tengah bukan merupakan daerah yang memiliki prestasi istimewa dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam hal penurunan kemiskinan. 

Justru sebenarnya dengan latar belakang kemiskinan yang tinggi di daerahnya GP memiliki kesempatan besar untuk dapat berhasil mengurangi kemiskinan karena relatif lebih mudah menangani.

Pemerintahan GP pada tingkat tertentu diuntungkan dengan tingkat kemiskinan Jateng di awal periode yang relatif tinggi dibandingkan wilayah lain di Jawa, sehingga GP punya peluang lebih besar untuk menggenjot penurunannya dengan laju yang lebih cepat. Pemberian bantuan sosial dengan nilai tertentu sudah cukup untuk mendorong masyarakat melompati garis kemiskinan.  Namun hal ini justru tidak terjadi. 

Namun, apakah hal ini akan memengaruhi prospek GP dalam pemilihan Presiden 2024?  Tentu hal ini belum dapat dipastikan dan terlalu dini untuk disimpulkan.  Pencapaian dalam meningkatkan kesejahteraan dan menuurnkan kemiskinan merupakan salah satu aspek penting—mungkin terpenting.  Namun terkadang—bahkan sering kali tersingkirkan oleh hal-hal lainnya. 

Apalagi sekarang ini pencitraan seorang kandidat nampaknya lebih menentukan dibandingkan aspek lainnya seperti prestasi dan kapasitas seseorang dalam prospeknya untuk menjadi seorang pemimpin (elected official). 

Menjadi kewajiban semua pihak untuk menguji seorang kandidat elected official berdasarkan aspek-aspek yang lebih memiliki makna dibandingkan dengan menyebar pesan-pesan yang dangkal di berbagai media sosial, yang isinya berupa pencitraan belaka. 

Catatan Kaki:

[1] Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Perubahan APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2022.

[2] Perda Provinsi DKI Nomor 1 Tahun 2022 Tentang APBD Tahun Anggaran 2022.

[3] Quiroga, Paola Andrea Barrientos. “Theory of Convergence.” Theory, History and Evidence of Economic Convergence in Latin America, Instituto de Estudios Avanzados en Desarrollo (INESAD), 2007, pp. 6–20. JSTOR, https://www.jstor.org/stable/resrep00574.4. Accessed 17 June 2023.

[4] https://www.bps.go.id/indicator/23/192/1/persentase-penduduk-miskin-menurut-provinsi.html

[5] Suryahadi, Asep, Daniel Suryadarma, dan Sudarno Sumarto (2009) ‘The Effects of Location and Sectoral Components of Economic Growth on Poverty: Evidence from Indonesia.’ Journal of Development Economics 89 (1): 109–117

[6] https://www.bps.go.id/indicator/23/98/1/gini-ratio-menurut-provinsi-dan-daerah.html

[7] https://inklusif.bappenas.go.id/data

[8] https://www.bps.go.id/indicator/6/543/1/tingkat-pengangguran-terbuka-menurut-provinsi.html

[9] https://www.bps.go.id/indicator/26/494/1/-metode-baru-indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi.html

[10] https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/Mkt1SFdWbWdZa1hKZ2FtRU1NaHRsUT09/da_04/1

[11] https://www.liputan6.com/news/read/5015916/peneliti-ugm-ungkap-deretan-faktor-penyebab-jateng-entaskan-kemiskinan

[12] https://www.mediaindonesia.com/nusantara/549187/pemprov-jateng-berhasil-turunkan-angka-kemiskinan-tinggal-109

[13] https://jatengprov.go.id/publik/rakernas-papdesi-ganjar-minta-jaga-ketahanan-pangan-level-desa/

[14] https://www.detik.com/jateng/berita/d-5996033/di-hadapan-ganjar-massa-penolak-tambang-wadas-minta-ipl-dicabut

Notes: Karena masalah teknis, tabel dan gambar tidak dimuat dalam tulisan ini, tetapi akan dimuat ketika tulisan ini diterbitkan dalam versi buku.

*Fadhil Hasan adalah ekonom.

**Ahmad Nur Hidayat adalah pengamat kebijakan publik. ***

Berita Terkait