DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Gelombang Panas Landa Australia di Musim Semi, Sementara Amerika Serikat Kena 16 Badai

image
cuaca ekstrem di australia dan amerika menyebabkan gelombang panas dan badai atlantik ke 14.

ORBITINDONESIA.COM – Laporan cuaca mengatakan bahwa gelombang panas di Australia diperkirakan akan terus berlanjut dan meningkat pada minggu ini.

Beberapa wilayah di Australia diperkirakan akan mencapai suhu tertingginya seperti di wilayah pedalaman Australia Selatan, New South Wales, dan Victoria.

Kota-kota besar di Australia juga tidak luput dari ancaman gelombang panas ini, seperti di Sydney yang suhunya sudah mencapai 34,2 derajat celcius.

Baca Juga: Arab Saudi, Negeri yang Tergila tentang Investasi

Angka tersebut merupakan suhu tertinggi yang pernah dirasakan oleh Sydney di tahun ini dan sudah meningkat 12 derajat celcius dibandingkan dengan rata-rata suhu di bulan September.

Biro Meteorologi mengatakan bahwa suhu di Australia akan terus meningkat pada hari Senin hingga Selasa dengan mencapai kenaikan 16 derajat celcius diatas rata-rata.

Para peramal cuaca sudah memberikan peringatan tentang kondisi yang lebih kering dan hangat di sebagian besar wilayah Australia selama musim panas berlangsung.

Baca Juga: 6000 Orang Tewas Akibat Banjir Bandang di Libya, Kemenlu Sebut Ada 10 WNI Jadi Korban, Begini Kondisinya

Gelombang panas tersebut tidak lepas dari badai El Nino yang mengakibatkan cuaca ekstrem dan berpotensi menyebabkan kekeringan ekstrem dan kebakaran hutan.

Sementara di sebagian besar wilayah Amerika sedang terjadi serangkaian badai besar yang menyebabkan kerusakan sejak tanggal 1 Juni 2023 dan diprediksi akan berlangsung hingga 30 September 2023.

Pusat Badai Nasional mengatakan bahwa hingga saat ini, sudah ada empat belas badai atlantik yang menghantam wilayah Amerika.

Baca Juga: Seorang Jurnalis Klaim Temukan Tubuh Alien, Legislator Meksiko Gerak Cepat Gelar Sidang Terbuka

Mereka kemudian memberikan nama kepada badai atlantik ke empat belas ini sebagai Badai Tropis Nigel.

Badai Tropis Nigel datang menyusul Badai Lee yang sebelumnya dikabarkan sudah lebih dulu datang dan menghancurkan wilayah Kanada Timur dan Maine.

Badai Lee bertanggung jawab terhadap pemadaman listrik yang terjadi di sebagian besar wilayah tersebut, lumpuhnya bisnis penduduk, dan ribuan orang yang harus mengungsi dari distrik mereka.

Baca Juga: Diduga Jiplak Indonesia, Begini Perbandingan Lirik Lagu Malaysia Helo Kuala Lumpur dan Halo Halo Bandung

Badai Lee datang dan menghancurkan semua yang menghalangi jalannya pada hari Minggu, kemudian badai tersebut menghilang di Samudera Atlantik pada hari Senin.

Menurut laporan, Badai Nigel sudah berada di radius 1.180 mil di sebelah timur Bermuda dan memiliki kecepatan angin hingga 80 km per jam pada hari Minggu.

Pusat Badai Nasional kemudian memperkirakan kecepatan badai tersebut akan mengalami peningkatan pesat menjadi kategori 3 dengan kecepatan angin sebesar 111 mil per jam atau lebih.

Baca Juga: Ketiga Kalinya dalam Setahun, Gunung Kilauea di Hawaii Meletus

Mereka juga belum mengetahui dengan pasti jalur mana yang akan dilewati oleh Badai Nigel dan pengawasan masih terus dilakukan.

Sejauh ini, Badai Nigel bergerak ke arah north-northwestward dan menjauh dari Amerika Serikat sehingga tidak menimbulkan ancaman dalam waktu dekat.

Namun, ada kemungkinan badai tersebut akan mempengaruhi cuaca di Inggris pada akhir pekan ini.

Baca Juga: Jadi yang Pertama di Asia Tenggara, Media China Apresiasi Kereta Cepat Jakarta Bandung

Seluruh wilayah di Amerika Selatan berpotensi hujan lebat, terutama di wilayah selatan Brasil pada Minggu ini.

Negara bagian Rio Grande do Sul juga berpotensi mendapatkan curah hujan kumulatif sebesar 150-200 mm dan terjadi selama satu Minggu lamanya.

Sebelumnya, wilayah ini telah mengalami hujan lebat dengan kumulatif sebesar 300 mm yang terjadi selama 24 jam pada hari Senin 4 September 2023.

Baca Juga: Mengenal Biara Kuno Meteora, Peninggalan Sejarah Kristen Ortodoks yang Berusia 2000 Tahun

Curah hujan yang tinggi tersebut telah menyebabkan banjir besar, sehingga memaksa ribuan penduduk mengungsi dan menyebabkan 47 orang meninggal dunia.

Potensi cuaca ekstrem dan labil di kedua negara tersebut masih terus dipantau. Sejauh ini pemerintah setempat belum mengeluarkan peringatan dan perintah untuk mengungsi.***

Berita Terkait