DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr Abdul Aziz: Narkoba dan Syariah

image
Dr. Abdul Aziz, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta tentang narkoba dan syariah.

Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta

ORBITINDONESIA.COM - Saat ini bahaya dan dampak narkoba (narkotika dan obat-obatan) terlarang pada kehidupan manusia -- khususnya kesehatan pecandu dan keluarganya --semakin meresahkan.

Narkoba, seperti halnya minuman keras (miras), memang dilematis. Ia bisa menjadi zat yang memberikan manfaat, sekaligus merusak kesehatan. Tapi ujungnya, Kedua jenis zat tersebut, lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Ini terjadi di seluruh dunia.

Hampir semua negara di dunia melarang pemakaian narkoba dan miras secara bebas. Jika pun ada UU negara tertentu yang membolehkan pemakaian narkoba dan miras -- ketentuan tersebut berlaku khusus, berdasarkan kriteria tertentu.

Baca Juga: Profil Seohyun, Pemeran Nam Hee Shin Dalam Drakor Song of The Bandits, Artis yang Juga Anggota Grup SNSD

Tidak berlaku umum. Dengan demikian, pemakaian narkoba tidak bisa disamakan dengan pemakaian parfum atau permen karet. Ada sarat tertentu untuk mengonsumsinya.

Ada beberapa jenis obat-obatan (yang termasuk narkoba) digunakan untuk proses penyembuhan. Karena efeknya yang bisa menenangkan. Tapi jika dipakai dalam dosis tinggi, bisa menyebabkan kecanduan.

Efek kecanduan tersebut menyenangkan karena ada halusinasi. Yang jadi masalah, makin lama menyandu, makin tinggi dosis obatnya. Sehingga kecanduannya makin berat. Akibatnya, tubuh pemakai obat rusak. Sehingga menyebabkan kematian.

Bahaya narkoba hingga menjadi kecanduan tersebut memang bisa disembuhkan. Tapi akan lebih baik jika berhenti menggunakannya sesegera mungkin. Atau tidak memakai narkoba sama sekali kalau ingin selamat.

Baca Juga: Dari 20 Dipangkas Jadi 9 Episode Drakor Song of The Bandits Menuai Beragam Komentar Netizen: Padahal Seru

Perdefinisi, narkotika adalah zat atau obat -- baik bersifat alamiah, sintetis, maupun semi sintetis -- yang menimbulkan efek penurunan kesadaran, halusinasi, serta daya rangsang.

Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Menurut UU tersebut, Pasal 6, berdasarkan risiko madat (ketergantungan)nya, narkotika dibagi menjadi 3 golongan. Golongan 1 sangat berbahaya karena efek kecanduannya sangat kuat. Karenanya, golongan 1 hanya untuk keperluan ilmu pengetahuan, rigensia diagnostik, dan laboratorium. Contohnya ganja, opium, marijuana, heroin (putaw), dan koka.

Golongan 2, bisa untuk pengobatan asalkan dengan resep dokter sebagai pilihan terakhir. Contohnya morfin, alfaprodina, fentanil, metadon, dan lain-lain. Golongan ini pun berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan, jika pemakaiannya berlebihan.

Baca Juga: Keanu Reeves dan Alexandra Grant Akhirnya Buka Suara tentang Hubungan Mereka

Sedangkan golongan 3 memiliki risiko ketergantungan yang cukup ringan dan banyak dimanfaatkan untuk pengobatan serta terapi (rehabilitasi kecanduan). Contohnya kodein, difenoksilat, dan lain-lain.

Penyalahgunaan narkotika tersebut bisa menyebabkan keseimbangan elektrolit berkurang. Akibatnya badan kekurangan cairan (dehidrasi).

Jika efek ini terus terjadi, tubuh akan kejang-kejang, muncul halusinasi, perilaku lebih agresif, dan rasa sesak pada bagian dada. Dalam jangka panjang, dehidrasi ini dapat menyebabkan kerusakan pada otak.

Dampak pemakaian narkotika lainnya, halusinasi. Efek halusinasi sering dialami pengguna ganja. Dalam dosis berlebih, pemakai ganja akan muntah, mual, dan timbul rasa takut serta cemas berlebihan.

Jika pemakaian berlangsung lama, bisa mengakibatkan gangguan mental, depresi, dan kecemasan terus-menerus. Dalam beberapa kasus, si pemakai sangat rileks, malas, dan tidur lama, tidak bangun-bangun.

Baca Juga: Berikut Profil Suwon FC, Klub Sepakbola Korea Selatan yang Segera Pinang Pratama Arhan

Hilangnya kesadaran tersebut membuat koordinasi tubuh terganggu, sering bingung, dan terjadi perubahan perilaku. Dampak narkoba yang cukup berisiko tinggi adalah hilangnya ingatan sehingga sulit mengenali lingkungan sekitar.

Dampak berat terjadi pada pemakai sabu-sabu, opium, dan kokain. Tubuh pemakai kejang-kejang dan jika dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Inilah akibat fatal yang harus dihadapi jika sampai kecanduan narkotika. Nyawa menjadi taruhannya.

Dari paparan di atas, narkoba lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Fakta tersebut menjadikan narkoba, secara syariah, hukumnya haram.

Persoalannya, cukupkah memberi label haram pada narkoba? Bagaimana dengan pemakai, penjual, dan pengedarnya? Yang terakhir ini, sudah menjadi sindikat global. Mereka, pengedar narkoba ini adalah gembong-gembong mafia yang punya jaringan luas, baik nasional maupun internasional.

Baca Juga: Beberapa Judul Drama yang Ditunggu Season kedua, dari Drakor Sweet Home sampai Extraordinary Attorney Woo

Kepala Badan Narkotika Nasional (2015-2018) Komjen Purn. Budi Waseso mengatakan, tiap tahun ratusan ribu ton narkoba masuk ke Indonesia. Jalur masuknya sangat banyak karena Indonesia negara kepulauan.

Terlalu banyak "jalan tikus" untuk memasukkan narkoba dari luar negeri ke Indonesia. Aparat keamanan termasuk BNN kesulitan mengatasinya.

Sepanjang tahun 2022-2023 saja, jumlah pemakai narkoba di rentang usia 15-64 tahun mencapai 4,8 juta orang. Dari jumlah tersebut, yang meninggal akibat narkoba mencapai 18.000 orang. Ini artinya, rerata 50 orang Indonesia mati tiap hari akibat penyalahgunaan narkoba.

Sedangkan kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba, catat BNN, di tahun 2022, mencapai Rp 74,4 triliun. Menurut BNN, kerugian tersebut akan terus meningkat karena jumlah pemakainya makin banyak dari tahun ke tahun.

Baca Juga: Jurnalis Dukung GARAMIN NTT Publikasikan Kaum Disabilitas

Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tahun yang sama, mengungkap 768 kasus tindak pidana narkoba, dengan tersangka 1.209 orang. Yang mengejutkan salah satu tersangka, hingga saat ini masih buron. Sang buron adalah mafia narkoba, bernama Fredy Pratama.

Polisi telah menyita 10,2 ton sabu dan uang Rp 10,5 triliun dari anak buah mafia Fredy Pratama tadi. Terbayang, berapa jumlah konsumen sabu yang diedarkan mafia sabu Fredy tersebut? Luar biasa.

Melihat bahaya narkoba yang demikian dahsyat, maka secara syar'i, vonis yang pantas untuk pengedar dan gembong narkoba adalah hukuman amat berat, seumur hidup. Orang semacam Fredy Pratama, misalnya, pantas dikenakan Pasal Primair Pasal 114 Ayat (2) Juncto Pasal 132 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Yaitu Mengedarkan Narkotika Golongan I dengan ancaman hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun penjara dan pidana denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp10 miliar.

Baca Juga: Pengamat Sepak Bola Kesit Budi Handoyo Nilai Positif Sikap Tegas PSSI Panggil Pemain Klub ke Timnas

Untuk kasus Fredy Pratama, karena ia gembong mafianya, maka vonis amat berat, misal hukuman seumur hidup. Kenapa? Karena ia telah "membunuh" ratusan bahkan ribuan orang akibat memakai sabu yang diedarkan mafia Fredy Pratama tersebut.

Kenapa bukan hukuman mati? Karena saat ini, hukuman mati bisa menuai masalah: dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).

Amnesty Internasional, misalnya, saat ini menjadi lembaga yang amat vokal menentang hukuman mati. Hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran HAM. Alasannya, hukuman mati mencabut hak hidup manusia.

Saat ini sudah 85 negara yang telah menghapus hukuman mati. Indonesia mendapat tekanan para aktivis HAM untuk menghapus hukuman mati tadi.

Baca Juga: Prediksi Skor Sepak Bola ASIAN Games 2022, Indonesia Melawan Uzbekistan Live Pukul 15.30 WIB di RCTI

Dari perspektif inilah, kita harus berpikir ke depan, demi keselamatan bangsa. Terkait dengan mafia narkoba, bukankah sang penjahat telah menimbulkan kerugian negara yang demikian besar, baik secara ekonomi, kematian anak bangsa maupun kerusakan sosial?

Apalagi dengan melihat fakta, bahwa mereka -- para terpidana narkoba -- ternyata masih terus menjalankan aktivitas perdagangan narkobanya, meski berada dalam penjara.

Kesaksian mantan terpidana pemakai narkoba dari penjara, bintang film Tio Pakusadewo belum lama ini (melalui podcast Uya Kuya) sangat mengerikan: bahwa dari penjara pun para gembong pengedar narkoba masih terus menjalankan bisnis haramnya.

Aktivitas mereka sulit dihentikan karena teknologinya sudah demikian maju dan "birokrasi di lembaga pemasyarakatan (lapas) sudah sangat korup" sehingga bisnis narkoba tetap berjalan, asal kerjasama dengan oknum petugas lapas.

Baca Juga: Tak Dapat Menit Bermain di Tokyo Verdy, Pratama Arhan Dilirik Klub Liga Korea Suwon FC

Di dalam penjara, kata Tio Pakusadewo, tidak hanya ada transaksi. Tapi juga ada pabrik narkoba. Bahkan, tambah Tio, di penjara ada "semacam negara" dalam negara terkait bisnis haram tadi. Narkoba dari luar lapas, cerita Tio, dikirim melalui pesawat nirawak drone.

Dari cerita di atas, apa yang bisa dilakukan aparat hukum untuk menyelamatkan negara dari gangguan mafia narkoba? Jawabnya hanya satu: gembong mafia narkoba harus dihukum seberat-beratnya.

Jika tidak bisa dihukum mati karena ada tekanan internasional, bandar atau gembong tersebut pantas dihukum seumur hidup.

Tak hanya itu. Lapas pun harus steril dari aktivitas bisnis narkoba. Jika penghuni lapas narkoba melanggar aturan, tetap menjalankan bisnisnya, ia harus diberi hukuman lebih berat lagi. Sehingga bisa menimbulkan rasa jera.

Hanya itu yang bisa dilakukan untuk memberantas pidana narkoba yang sudah demikian menggila di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus melaksanakan ketegasan hukum tanpa kompromi dengan terpidana narkoba.***

Berita Terkait