DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Analisis Iwan H Suriadikusumah: Libya Sebelum dan Sesudah Muammar Gaddafi

image
Penyesalan Rakyat Libya atas Eksekusi Muammar Gaddafi.

ORBITINDONESIA.COM -  Sembilan tahun setelah intervensi militer yang dipimpin oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk menggulingkan Kolonel Muammar al-Gaddafi, Libya masih parah.

Libya terjebak dalam pusaran kekerasan yang melibatkan kelompok bersenjata, sektarian, kelompok etnis dan campur tangan eksternal yang telah menyebabkan negara tersebut terjerumus dalam kekacauan mutlak.

Pada 20 Oktober 2011, di tengah protes yang didukung oleh pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa, pemberontakan bersenjata yang menjerumuskan negara tersebut ke dalam perang saudara, pemimpin Libya ditangkap dan dibunuh secara brutal oleh para pemberontak.

Baca Juga: Hasil Liga Inggris: Bruno Fernandes Jadi Penyelamat Manchester United Dalam Laga Melawan Fulham

Menjadi salah satu negara paling makmur di benua Afrika, berkat ladang minyaknya yang luas, setelah jatuhnya Gaddafi, negara Afrika Utara terpecah antara pemerintahan yang bersaing di timur dan barat, dan di antara berbagai kelompok bersenjata yang bersaing untuk mendapatkan kuota kekuasaan, kendali atas negara dan kekayaannya.

Gaddafi memerintah selama 42 tahun, memimpin Libya mencapai kemajuan signifikan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi yang diakui dan dikagumi oleh banyak negara Afrika dan Arab pada saat itu.

Terlepas dari pemerintahannya yang kontroversial, Gaddafi mewakili tokoh penting dalam perjuangan anti-imperialis karena posisinya terutama terhadap AS dan kebijakan yang diambil Washington di Timur Tengah.

Oleh karena itu, kehidupan dan kematiannya menjadi peristiwa penting di Libya dan kunci untuk memahami situasi saat ini.

Baca Juga: Astaga, Israel Serang Generator Rumah Sakit Al Wafaa di Gaza

Setelah Perang Dunia II, Libya diserahkan kepada Prancis dan Inggris, dan kedua negara ini menggabungkannya secara administratif dengan koloni mereka di Aljazair dan Tunisia.

Namun, Inggris lebih menyukai munculnya monarki yang dikendalikan oleh Arab Saudi dan didukung oleh PBB, dinasti Senussi, yang memerintah negara tersebut sejak “kemerdekaan” pada tahun 1951 di bawah monarki Raja Idris I, yang membiarkan Libya dalam ketidakjelasan total sementara mempromosikan kepentingan ekonomi dan militer Inggris.

Ketika cadangan minyak ditemukan pada tahun 1959, eksploitasi kekayaan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat.

Menurut analis politik Thierry Meyssan, pada masa monarki, negara ini terperosok dalam keterbelakangan dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, jaminan sosial, dan lain-lain.

Baca Juga: Newcastle vs Arsenal di Pekan ke 11 Liga Inggris: Prediksi Skor, Susunan Pemain, Link Nonton Streaming

Rendahnya angka melek huruf sungguh mengejutkan. Menurut Meyssan, hanya 250.000 penduduk dari empat juta penduduk yang bisa membaca dan menulis.

Namun pada 1969 dinasti Senussi digulingkan oleh sekelompok perwira yang dipimpin oleh Kolonel Muammar al-Gaddafi yang memproklamirkan kemerdekaan sejati dan menyingkirkan kekuatan asing yang dominan dari negara tersebut.

Salah satu kebijakan langsung Gaddafi adalah membagikan keuntungan dan kekayaan negara kepada seluruh rakyat Libya.

Sejak Gaddafi mengambil alih kekuasaan, minyak telah menjadi sumber daya utama di tangan pemimpin Republik Arab Libya yang baru diproklamasikan itu.

Baca Juga: Hasil Pegadaian Liga 2, Semen Padang Sukses Comeback atas PSDS Deli Serdang

Kemenangan revolusi tahun 1969 menandai perubahan paradigma, menggerakkan pemerintahan baru untuk menggunakan pendapatan minyaknya guna meningkatkan langkah-langkah redistribusi di kalangan penduduk, sehingga menghasilkan model baru pembangunan ekonomi dan sosial bagi negara tersebut.

Menurut para analis, di antara langkah-langkah "kedaulatan ekonomi" yang mendorong kebijakan Gaddafi adalah nasionalisasi berbagai perusahaan minyak Barat seperti British Petroleum (BP) dan pembentukan National Oil Corporation (NOC), yang menandai konfigurasi negara yang lebih maju model sosialis.

Sepanjang masa jabatan Gaddafi, program-program sosial yang ambisius diluncurkan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan umum dan subsidi listrik dan bahan makanan pokok.

Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan perbaikan substansial dalam kondisi kehidupan masyarakat Libya, dari salah satu negara termiskin di Afrika pada 1969 menjadi pemimpin di benua itu dalam Indeks Pembangunan Manusia pada 2011.

Baca Juga: Hasil BRI Liga 1: Persikabo Sukses Putus Tren Negatif Usai Kalahkan RANS Nusantara FC

Faktanya, Program Pembangunan PBB (2010) mengakui Libya sebagai negara dengan perkembangan tertinggi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini berarti tingkat melek huruf sebesar 88,4 persen, harapan hidup 74,5 tahun, kesetaraan gender, dan beberapa indikator positif lainnya.

Di tingkat nasional, Gaddafi mampu menghadapi dua dilema utama yang menjadi ciri masyarakat Libya. Di satu sisi, sulitnya melakukan kontrol atas suku-suku. Di sisi lain, fragmentasi masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok suku yang beragam dan terkadang sama sekali bertentangan.

Gaddafi mempunyai kemampuan untuk menyatukan wilayah-wilayah ini untuk tidak bergesekan satu sama lain. Diperkirakan terdapat sekitar 140 suku di wilayah Libya yang masing-masing memiliki tradisi dan asal usul berbeda.

Di tingkat internasional, Pan-Arabisme harus dilihat sebagai konfrontasi terbuka terhadap Amerika Serikat karena penentangan yang dilakukan Gaddafi terhadap pengaruh negara ini.

Baca Juga: Liga Italia, Karena Badai Ciaran dan Banjir, Ultras Fiorentina Desak Laga Melawan Juventus Ditunda

Pemimpin Libya berupaya memperkuat hubungan dengan negara-negara tetangga seperti Mesir, Maroko, Suriah, Tunisia, Chad, dan lain-lain, serta menjaga hubungan dekat dengan negara-negara seperti Prancis dan Rusia.

Gaddafi juga terhubung dengan negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Kuba, yang membuatnya memiliki jaringan kontak luas yang menyebabkan ketidak-nyaamanan bagi Eropa dan AS.

Pada saat pembunuhannya, Libya memiliki PDB per kapita dan angka harapan hidup tertinggi di benua tersebut. Lebih sedikit orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dibandingkan di Belanda.

Protes warga yang dimulai di Tunisia pada Desember 2010 (Arab Spring) terjadi sebulan kemudian di Libya tetangganya, meskipun dengan cara yang berbeda, karena demonstrasi massal dan populer yang menjadi ciri Tunisia dan Mesir tidak terulang di Libya.

Baca Juga: Apakah Eren Yeager dan Mikasa Ackerman Akhirnya Akan Berjodoh di Anime Attack on Titan Final Season

Sebaliknya, di Benghazi, tempat fokus gerakan anti-Gaddafi, kelompok Islam mendominasi.

Beberapa analis politik sepakat bahwa di Libya tidak pernah ada gerakan massa dalam skala nasional seperti di negara-negara lain, juga tidak ada dukungan rakyat untuk menggulingkan pemerintahan Gaddafi.

Namun, pemberontakan di Benghazi sudah cukup bagi Dewan Keamanan PBB dan NATO untuk melakukan intervensi atas nama Tanggung Jawab Melindungi (Resolusi 1973) dan meluncurkan kampanye pengeboman antara bulan Maret dan Oktober 2011 yang berdampak besar pada pembunuhan Gaddafi.

Menurut Meyssan, campur tangan NATO dalam urusan dalam negeri Libya dan penggulingan Gaddafi bukanlah akibat konflik antar warga Libya. Melainkan akibat strategi destabilisasi regional jangka panjang di seluruh kelompok di Timur Tengah.

Baca Juga: Man City vs Bournemouth: Prediksi Skor Pertandingan dan Info Link Nonton Streaming Liga Inggris

Sembilan tahun setelah kematiannya, penduduk di ibu kota negara yang dilanda kekacauan itu semakin merindukan pemimpin lama tersebut seiring dengan meningkatnya rasa frustrasi dalam kehidupan sehari-hari.

“Saya benci mengatakannya, tetapi hidup kami jauh lebih baik di bawah Gaddafi.” kata Fayza al-Naas, seorang apoteker berusia 42 tahun kepada AFP pada tahun 2015, mengacu pada pemerintahan Gaddafi. Sentimen ini juga dimiliki oleh banyak warga Libya, termasuk mereka yang pernah menentangnya.

Libya yang stabil secara ekonomi dan sosial di bawah pemerintahan Gaddafi versus pemerintahan yang terfragmentasi, tanpa pemerintahan, yang hancur karena serangan, pemboman, dan bentrokan terus-menerus, adalah hasil dari invasi NATO pada tahun 2011.

Sebuah kesimpulan yang disesalkan oleh banyak orang yang mendukungnya hampir satu dekade kemudian.

(Oleh: Iwan H. Suriadikusumah, sumber https://www.telesurenglish.net). ***

Berita Terkait