DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Narliswandi Piliang: AQ dan Kawan-Kawan Korupsi

image
Narliswandi Piliang dari Iwan Piliang Center (IPC).

ORBITINDONESIA.COM - Seorang profesional PR menghubungi saya pada 2009. Ia dari agency, dari tim kampanye Pak Jusuf Kalla. Kala itu Pak JK maju sebagai Capres.
 
“Kami memilih Pak Iwan salah satu blogger turut dengan private jet Pak JK, kampanye ke dua titik dalam sehari,” kata sosok penghubung.
 
Maka hari ditentukan, berangkatlah saya dari Halim Perdana Kusuma, satu pesawat dengan Pak JK, menuju Banjarmasin, Martapura, Kalsel, dan lalu ke Semarang, Jateng.
 
 
Tentu dengan kondisi media mainstream, bisa live, para wartawan online real time, hampir semua topik bahan habis tuntas menjadi news. Beruntung, kala di Semarang, Pak JK mampir ke Soto Bangkong, sebelum kami menuju Bandara.
 
Maka lahirlah tulisan saya berjudul: JK Semangkok Soto Dalam Kampanye. Feature, literair, lebih 1.000 kata.
 
Premis tulisan itu membuat saya happy: di mana kalau masuk ke ranah politik, sudah selesai dulu urusan ekonomi. Menjadi anggota parlemen pengabdian, pun kalau duduk di eksekutif, bukan lagi mempertebal pundi-pundi, bergenit-genit harus bermobil Range Rover Autobiography.
 
Kemarin petang saya terdiam menyimak sosok Achsanul Qosasi (AQ), salah satu pimpinan BPK, ditahan Kajagung, terkait korupsi kasus BTS. Saya sempat tertegun, apa kau cari AQ?
 
 
Saya intens berkomunikasi dengan AQ saat ia menjadi anggota DPR, Komisi IX, komisi membidangi keuangan antara lain, laksana Komisi XI DPR hari ini.
 
Kala itu ia begitu peduli dengan verifikasi saya ihwal uang tambun negara menguap dari kasus transfer pricing (TP). Pada 2005 tok setahun itu tok indikasi TP Rp 1.300 triliun. Ia sampai memfasilitasi sebuah FGD, soal TP.
 
Melalui sekretariat DPR RI, semua stake holder terkait diundang, Menkeu, Ditjen Pajak, Pengadilan Pajak, dan lain-lain. Kala itu ada secercah cerah kalau upaya meneyelamatkan uang negara ini akan berhasil. Indikasi TP setahun 65 persen dari transaksi perdagangan. Artinya pada 2022 setahun indikasi sudah di atas Rp 1.500 triliun.
 
Walau kemudian sudah saya duga AQ akan “kalah” suara di DPR, soal TP ini memang menguap saja sampai kini. Kendati katanya seksi TP di Ditjen Pajak sudah dibentuk empat tahun lalu.
 
 
Pun ketika Umrah bersama kawan saya pada 2014 saat mencapres, menyampaikan soal TP. Ia di Mekah berjanji menggarapnya, 30 persen saja bisa dibuktikan, besar sekali dana negara bisa diselamatkan. Kawan saya itu kemudian menjadi Presiden.
 
Pada 2019 saat Pilpres, saya tak ikutan mendukung kiri kanan, sang kawan, Bapak Jokowi, hari-hari kini dihujat dimaki oleh orang yang dulu memuja, menjilatnya, terlebih buzzer tak jelas sikap dan pendirian apalagi idiologinya. Saya prihatin, kok kawan saya ini kini dimaki-maki? Saya 2009-2014 di sisinya.
 
Mulai medio Februari 2015 saya kritisi KEBIJAKAN Pak Jokowi. Lumayan hasilnya. Se-Indonesia saya dibully. Padahal mengriktisi itu ranah kebijakan, bukan mencaci-maki personal, bak hari ini laku para penjilat Pak Jokowi membully. Begitulah.
 
Pesta menggasak segala uang ada di negara dan bangsa ini setelah reformasi berjalan bagaikan air bah. Sosok kawan-kawan saya anggap baik, pun ternyata mengagetkan bak AQ ini.
 
 
Teori punya income independen, sudah kaya duluan masuk trias politika pun menjadi tak berlaku. Bagaikan tulisan saya bertajuk Semangkok Soto Dalam Kampanye itu pun dalilnya manjadi pah-poh.
 
Di mana letak persoalan? Semua tatanan baku. Semua teori kemuliaan. Blas dilindas dan terlindas. Semua konsep demokrasi, bahkan one man one vote menguap semuanya di sini.
 
Di AS katanya Mbah Demokrasi, one man one vote-nya masih ada pengimbang elektoral. Demokrasi Pancasila hanya menjadi tameng, judul slogan. Tajuk menjadi busuk.
 
Hari ini, meminjam istilah kawan saya, pun demokrasi kita ia juluki demokrasi kanibal.
Nada bengis, tapi itulah.
 
 
Di balik itu semua saya berusaha berteguh hati komit kepada hati nurani. Kepada kawan dulu di HIPMI, KaDIN, saya sampaikan tetap konsisten dengan prinsip, menjadi pengusaha harus punya produk dan jasa masuk pasar, optimalkan tak bergantung proyek pemerintah.
Mandiri!
 
Tak mudah. Berusaha dari bawah menjadi orang biasa di negara kita ini memgeluarkan keringat dan airmata. Dari berkeliling terus, dapat seperak dua bisa ke mana-mana, saya menemukan kekuatan Indonesia itu ada pada ketebalan iman warganya.
 
Sayangnya mereka riil beriman di bangsa dan negara kita ini, dominan ada di kalangan menengah bawah. Mereka sangat paham bahwa rezeki dari Tuhan berbeda untuk setiap insan. Mereka tekun, bekerja keras hari-hari.
 
Mereka pun saya simak dominan bersih hatinya. Mereka pun sabar, sabar dan sabar. Namun di balik kesabaran warga kebanyakan itu di sikon kekinian, bulu roma saya acap berdiri, sekaligus merasakan ngeri.
 
Tiada lain solusi, untuk diri sendiri, kian rajin berwudhu, perbanyak zikir, dan doa, sebagai selemahnya iman. Alhamdulillah kawan-kawan, untuk kerja dikau semua, bagi peradaban kita tak kian meningkat mutunya. Terima kasih kawan-kawan.
 
Oleh: Narliswandi Piliang. ***

Berita Terkait