DECEMBER 9, 2022
Kolom

Goenawan Mohamad: Kediri, 1000 Tahun yang Lalu

image
Sastrawan Goenawan Mohamad (Foto: Ubud Writers Festival)

ORBITINDONESIA.COM - Tak ada catatan tentang apa yang terjadi hari itu, 1000 tahun yang lalu di Kediri.  Hanya diketahui bahwa  di tahun 1045 itu Airlangga turun tahta. Baginda yang baru berusia 43 tahun itu meninggalkan istana. Ia pergi ke hutan.  Ia memutuskan untuk jadi pertapa.

Tak seorang pun kini tahu apa yang mendorongnya. Airlangga raja yang berhasil. Di awal abad ke-11, menurut sebuah prasasti, kerajaan Kediri di Jawa Timur, hancur. Bencana itu, disebut “pralaya”. 

Sebuah kerajaan kecil di Lsaram memberontak, merusak Watugaluh, ibukota. Raja Dharmawangsa dibunuh bersama seluruh anggota dinasti Ishana. Hanya Airlangga, waktu itu berusia 16, persis sedang dalam pesta perkawinannya, yang lolos.

Dikawal Narottama, pengiringnya, ia melarikan diri ke arah barat. Di Vanagiri (sekarang Wonogiri), pangeran itu berhenti, menyamar sebagai pertapa. Ia menunggu dengan cerdik.

Perlahan-lahan, pada 1019, ia berhasil mengumpulkan dukungan para bupati yang masih setia kepada dinasti Ishana. Ia persatukan semua wilayah  bekas kerajaan Mataram, dan  mendirikan sebuah kerajaan baru, Kahuripan namanya,  yang terbentang antara Pasuruan sampai Madiun. 

Airlangga yang kemudian dikenal sebagai “pembaharu” dengan efektif membangun Kahuripan. Kita bisa mengetahui itu dari sekitar 30 prasasti yang antara lain berbahasa Sanskerta.  Patung termashur yang menunjukkan diirinya sebagai  Dewa Wishnu yang duduk gagah di atas garuda mungkin lambang Airlangga sebagai perawat bumi. Ia dipuja.

Maka apa gerangan yang menyebabkannya turun tahta? Saya hanya bisa menduga dari perspektif hari ini.  Saya menulis esei ini ketika Indonesia, dan tentu saja termasuk wilayah yang dulu di bawah titah Airlangga, sedang menyiapkan pergantian pemimpin. Saya melihat bagaimana kekuasaan akan berakhir, dan diganti, setelah beroperasi.  

Bersama itu, tampak bagaimana kekuasaan disikapi.  Trilyunan uang ditumpahkan, termasuk buat membeli dukungan, menyogok partai lama dan baru, kecil dan besar, memanjakan para elite politik. Ada waham yang tak diakui sebagai waham, ilusi yang diterima sebagai keniscayaan: bahwa kekuasaan akan berlangsung melebihi person yang berkuasa.

Airlangga tak tenggelam dalam waham seperti itu; ia  tentu sadar dari atas tahta ia mampu mencapai pelbagai hal — dan akhirnya juga keagungan— tapi ia telah mengalami betapa gentingnya kekuasaan dan nisbinya keagungan.  

Kekuassan itu “genting”: tak pasti, tak kekal, menegangkan, serba mungkin, dan menghendaki pelbagai hal yang tak semuanya mulia atau cocok dengan apa yang biasanya kita yakini sebagai “baik” dan “bersih”. Dengan itu “keagungan” cuma cerita humas. 

Tentu tak harus Airlangga, raja Kahuripan kelahiran Bali ini,  mengenal Machiavelli atau Kautilya, untuk menegaskan bahwa kekuasaan — dan politik yang meraih dan menggunakan kekuasaan — bukanlah hal yang bisa dinilai secara ethis.

Terkenal pandangan Machiavelli bahwa  budi baik tak niscaya memberi legitimasi bagi yang berkuasa.  Tanpa membaca filsafat politik semacam itu Airlangga —- yang pernah merasakan kekalahan politik dengan pahit dan sebaliknya  menaklukkan kerajaan-kerajaan lain dengan senjata — menyadari itu dari pengalamannya.

Tapi berbeda dengan banyak penguasa, dulu dan kini, ia tak hendak berlanjut dalam kehidupan yang tanpa dasar ethis itu. Ia merasa perlu menebus dosa.  Ia  meninggalkan kekuasaan yang najis meskipun nikmat; ia ingin menyucikan diri  seperti orang yang butuh mandi di air bersih yang segar setelah bergelimang darah dan keringat dan kotoran.

Dalam pertapaan, di mana  yang rakus dan keji dihindari, ia berharap yang hidup dan berkecamuk dalam diri adalah “hukum ethis”  yang tak beku. 

Dengan kata lain, Airlangga adalah contoh yang langka yang menunjukkan bahwa politik dan kekuasaan tak  terlepas dari nilai-nilai. Raja ini bisa mengerti bahwa agar efektif mencapai gol, “tujuan menghalalkan cara”.  Artinya segala macam cara, juga berkhianat dan menipu, pantas  dipakai. 

Tapi tak seperti penguasa umumnya, ia masih bisa tergetar oleh “hukum ethis”, yang terkadang disebut sebagai “kata hati” atau “hati nurani”. Ia masih mempertanyakan, jika “tujuan menghalalkan cara” apa gerangan yang menghalalkan “tujuan”? 

Bukan mustahil Airlangga telah banyak berbicara dengan putri sulungnya, Sangramanwijaya, yang ia siapkan jadi pengganti tapi menolak.

Putri ini memilih hidup sebagai bhikuni dan tinggal d sebuah gua di bawah Gunung Klothok, di timur Kediri. Pengaruh Budha dalam perempuan muda ini tampaknya kuat. Ia terbiasa membersihkan diri dari kehendak duniawi.  Airlangga menyimak itu.

Saya kira apa yang disebut “kata hati”— yang mengingatkan kita kepada yang disebut Kant sebagai “das moralische Gesetz”, “hukum moral”—  memang bukan hanya datang dari batin sendiri atau dari bisikan Tuhan. Katakanlah ia tertanam dalam diri kita, tapi ada faktor orang lain dalam proses itu. 

Itulah sebabnya kita bisa mengenal rasa malu, rasa bersalah, dan hati nurani yang terganggu — hal-hal yang dalam kehidupan politik yang takabur di Indonesia, 1000 tahun setelah Airlangga, mungkin tak ada lagi. ***

Sumber: Medsos WhatsApp

Berita Terkait