DECEMBER 9, 2022
Kolom

Entang Sastraatmadja: Benarkah Tak Ada Masa Depan di Pertanian?

image
Ilustrasi lahan pertanian di Jawa Barat (Foto: Universitas Muhammadiyah Sukabumi)

ORBITINDONESIA.COM - Sahabat Penulis bernama Cuncun Wijaya (2024), dikenal sebagai sosok petani yang cukup kritis dalam menyikapi pembangunan pertanian di Tanah Merdeka.

Lewat salah satu postingannya di WA grup Agribisnis & Agroindustri menyatakan "kumatikan hatiku atas keinginan kesejahteraan petani, bila perlu saya juga ikut omong kosong. Tak ada masa depan di pertanian".

Pernyataan Bro Cuncun tentang pertanian di atas, benar-benar cukup menarik untuk diselami lebih dalam. 

Baca Juga: Kabar Baik untuk Para Petani, Ini Daftar Wilayah di Indonesia yang Berpotensi Hujan Lebat Hari Ini

Bukan saja hal ini menggambarkan kerisauan seorang anak bangsa terhadap perjalanan pembangunan pertanian di masa kini dan mendatang, namun pernyataan ini pun mengajak kita merenung dan mencari jawab atas pertanyaan: betulkah yang namanya kesejahteraan petani hanya bisa dijadikan penghias para pejabat ketika mereka berorasi semata? 

Jujur kita akui, bincang-bincang soal kesejahteraan petani, sebetulnya sudah sejak puluhan tahun lalu diperdebatkan.

Setiap Pemerintahan yang manggung di negeri ini, selalu menjadikan isu kesejahteraan petani sebagai program prioritas dalam pembangunan pertanian yang dirancangnya. Semua sepakat, kesejahteraan petani merupakan idealisme dari pembangunan petani.

Baca Juga: Janji Ganjar Pranowo untuk Petani di Indonesia: Bikin Pendataan hingga Perkuat Fungsi Bulog Serap Pangan Lokal

Sayang, dalam kenyataan hidup yang kita lakoni, terkesan sangat susah untuk mewujudkan kesejahteraan petani. Banyak kebijakan dan program yang ditempuh, namun petani masih saja hidup sengsara dan menderita.

Hasrat untuk bangkit mengubah nasib pun belum dapat dibuktikan. Petani tetap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal. 

Kesejahteraan petani sendiri, dapat dimaknai sebagai suasana terselesaikannya persoalan lahir batin manusia. Ini berarti, petani tidak lagi berpikir soal kebutuhan fisik kehidupan, seperti bagaimana memenuhi beras sebagai kebutuhan pokok hidupnya.

Baca Juga: Disambati Petani yang Terjerat Utang, Ganjar Pranowo Janjikan Pemutihan

Petani tidak lagi kesusahan mendapatkan pakai yang pantas. Dan petani tidak lagi kesulitan dalam menghadapi musim hujan karena rumahnya bocor.

Sedangkan yang berkaitan dengan kebutuhan batiniah, petani tidak perlu was-was dalam menghadapi musim tanam karena kelangkaan pupuk.

Petani tidak khawatir, bila musim panen tiba, harga jual dan beras dipermainkan oleh bandar atau tengkulak. Bahkan petani pun tidak seharusnya gelisah untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Baca Juga: Ganjar Pranowo: Indonesia Butuh Tiga Pabrik Pupuk Baru untuk Kebutuhan Petani

 Atas gambaran seperti ini, sangat terbukti, yang namanya kesejahteraan petani, belum dapat diwujudkan di negeri ini. Persoalannya, kapan bangsa ini akan tercatat sebagai bangsa yang kaum taninya telah hidup sejahtera dan bahagia?

Jawabannya tentu kita tunggu. Betapa tidak! Sebab, walau bagaimana pun situasinya, petani memiliki hak untuk hidup sejahtera. 

Kewajiban Pemerintahlah untuk secepatnya menyejahterakan para petani. Tuntutan agar negara hadir dalam kehidupan petani, sebetulnya telah mengumandang sejak lama. Harapan agar petani dapat terbebas dari belenggu kemiskinan juga telah menjadi komitmen para penentu kebijakan di sektor pertanian.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Luncurkan Program Pemutihan Utang Petani di Blora Jawa Tengah, Mahfud MD Bertemu Uskup Agung Jakarta

Yang jadi tanda tanya besar, mengapa kita belum mampu mewujudkannya? Ada apa sebetulnya dengan pembangunan pertanian dan pembangunan petani di negara kita?

Apa sesungguhnya, yang jadi akar masalahnya, sehingga siapa pun yang diberi mandat untuk mengelola negara dan bangsa tercinta, seolah-oleh tak berdaya untuk menjawabnya.

Di sisi lain, sudah sejak lama Pemerintah menjadikan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai instrumen untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

Baca Juga: Petani Lereng Gunung Sumbing Magelang Jawa Tengah Ini Deklarasi Dukung Prabowo-Gibran

Dalam kenyataannya, ukuran ini ternyata belum memberi gambaran yang menyenangkan terhadap kesejahteraan petani. NTP sendiri, seperti yang "jalan di tempat" dengan angka biasa-biasa saja. 

Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS), telah merilis NTP Petani padi, berkisar antara 98 - 106. Baru dalam tahun-tahun belakangan ini NTP dapat mencapai poin 118.

Catatan kritisnya adalah apakah masih cocok NTP dijadikan ukuran satu-satunya untuk menilai kesejahteraan petani? Atau kita butuh ukuran baru, yang lebih senafas dengan suasana kekinian?

Baca Juga: Berkampanye di Pesawaran Lampung, Mahfud MD: Kredit Macet Petani dan Nelayan akan Diputihkan

Dalam berbagai kesempatan, penulis sering mengusulkan agar segera dibuat ukuran baru untuk mengukur kesejahteraan petani. NTP sudah saatnya direvitalisasi.

Apakah tidak dianggap gegabah, bila kesejahteraan petani dilihat hanya dengan membandingkan antara biaya yang dikeluarkan petani dengan penghasilan yang diterimanya.

Anehnya, walaupun banyak yang mengusulkan agar segera dikaji ulang soal ukuran untuk menilai kesejahteraan petani, namun Pemerintah tetap mempertahankan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai satu-satunya ukuran kesejahteraan petani di negeri ini.

Baca Juga: Kelompok Petani Tebu di Sumatra Utara Ini Deklarasi Dukung Prabowo-Gibran

Nilai Tukar Petani (NTP) sendiri merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.

Pertimbangan mereka, yang meminta untuk dilakukan kaji ulang soal ukuran kesejahteraan petani, karena NTP menilai terlalu sederhana dalam menyimpulkan kesejahteraan petani. Padahal, saat ini semakin banyak indikator untuk menyatakan petani sejahtera atau tidak.

Apakah dalam kurun waktu sekarang, masih cocok menilai kesejahteraan petani hanya dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani?

Baca Juga: Gelombang Protes Petani Eropa Tandai Solusi Perubahan Iklim Jangan Terbatas Cuma Dibahas Para Elite

Benarkah tidak ada lagi harapan di pertanian? Ah, rasanya tidak seperti itu kenyataannya. Selama pengelolaan sektor pertanan digarap secara parsial dan sektoral boleh jadi pernyataan itu benar adanya.

Tapi, jika kita mampu mengemasnya secara multi sektor dengan memperkuat sinergitas dan kolaborasi, pertanian tentu akan mampu memberi sesuatu bagi bangsa
dan negara.

(Oleh: Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat). ***

Sumber: Medsos WhatsApp@generasi pasca'45 Jateng

Berita Terkait