Perbedaan Mafia, Pengusaha, dan UMKM

Oleh Asrul Sani Abu*

ORBITINDONESIA.COM - Kemarin, saya bertemu seseorang. Obrolan kami awalnya ringan tentang cuaca, lalu soal pekerjaan.

Kami pun saling memperkenalkan diri, saya seperti biasa memperkenal diri, sebagai pelaku usaha logistik dan transportasi kontainer di pelabuhan, dan sebagai salah satu pengurus APINDO Sulawesi Selatan, tepatnya Ketua Bidang Hubungan Internasional dan Humas.

Saya bercerita tentang rutinitas, juga tentang hal yang paling saya banggakan: Bagaimana kami di APINDO tak hanya mengurus pengusaha besar, tapi juga aktif membina dan mendampingi UMKM agar bisa naik kelas. Dari warung kecil ke toko mandiri. Dari garasi rumah ke kantor sederhana. Dari mimpi jadi aksi nyata.

Tapi, tiba-tiba ia menyela. Wajahnya serius. Suaranya tegas, bahkan sedikit tajam.

“Ahhh, pengusaha itu sama aja. Mafia semua! Cuma mikirin duit, lalu rebutan proyek! UMKM juga, cuma orang manja yang minta-minta bantuan pemerintah!”

Saya menarik napas panjang dan dalam. Lalu tersenyum. Bukan karena setuju, tapi karena saya tahu di luar sana, masih banyak orang yang belum benar-benar paham siapa itu mafia, siapa itu pengusaha, dan siapa itu pejuang UMKM.

Dengan tenang, saya menjawab: “Maaf, ini saya harus luruskan.”

Mafia itu bukan pengusaha. Jauh sekali bedanya. Mereka tak membangun, mereka hanya mengambil. Mereka tak menggaji, tak menciptakan lapangan kerja. Tak bayar pajak, tak punya niat menumbuhkan nilai.

Mereka hanya menyusup ke sistem, mengambil keuntungan dari celah hukum, dan tak jarang bermain dengan bisnis haram.

Pengusaha? Kami berada di jalan yang berbeda. Kami membangun bisnis dengan legalitas, dengan jerih payah, dengan etika. Kami menggaji karyawan setiap bulan, bahkan saat omzet pas-pasan.

Kami bertarung menghadapi ketidakpastian pasar, regulasi yang berubah-ubah, dan tekanan kompetitor. Kami tetap berdiri, karena kami punya tujuan mulia. Membangun usaha yang memberi manfaat bagi masyarakat, dan ikut menjaga pertumbuhan perekonomian negeri.

Dan soal UMKM, izinkan saya bercerita sedikit lebih banyak, yang saya ketahui tentang mereka. UMKM bukan orang manja. Mereka itu para pejuang.

Yang bangun subuh untuk masak dagangan. Yang jualan dari gang ke gang, dari story ke story, dari pintu ke pintu. Banyak dari mereka tidak punya akses modal, pendidikan tinggi, atau jaringan. Tapi mereka punya tekad. Dan mereka mau belajar.

Kalau mereka menerima bantuan pemerintah, itu bukan karena malas. Tapi karena mereka sedang berjuang untuk naikkan levelnya agar bisa bankable, agar memudahkan dalam akses modal kerja.

Dan kami di APINDO hadir untuk menemani perjuangan itu. Kami buat pelatihan, pendampingan usaha, pertemukan mereka dengan investor dan perbankan, hingga dorong regulasi agar UMKM tak lagi jadi penonton di negerinya sendiri.

Kami percaya, UMKM yang kuat adalah pondasi ekonomi yang kokoh. Dan negeri ini tak akan pernah benar-benar tumbuh, jika para pelaku kecil tak diberi ruang untuk berkembang.

Orang itu terdiam sebentar. Lalu matanya mulai melunak. Ia menatap saya dan berkata pelan, “Wah... saya baru tahu ternyata pengusaha beda dengan mafia dan tentang APINDO saya kira cuma urus pengusaha besar.”

Saya tersenyum dan menjawab, “Banyak yang berpikir begitu. Tapi yang kami perjuangkan adalah pertumbuhan bersama. Agar pengusaha besar, kecil, dan menengah bisa tumbuh berdampingan tanpa saling menjatuhkan.”

Karena sejujurnya, dari pengalaman di lapangan, mafia hanya merusak sistem. Tapi pengusaha membangun sistem, menumbuhkan nilai. Dan UMKM bukan beban negara, mereka adalah nadi ekonomi bangsa.

Sudah waktunya kita berhenti saling mencurigai. Yang kita butuhkan bukan saling menyudutkan, tapi saling menguatkan.

Karena Indonesia ini terlalu luas dan terlalu kompleks, untuk dibangun oleh satu golongan saja.

*Asrul Sani Abu, Ketua Bidang Hubungan Internasional APINDO Sulawesi Selatan dan Pengurus ALFI Sulselbar. ***