Prospek Target Ambisius Pajak pada RAPBN 2026

ORBITINDONESIA.COM - Pemerintah membidik target yang ambisius untuk penerimaan pajak pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yakni sebesar Rp2.357,7 triliun, setara pertumbuhan 13,5 persen dari proyeksi serapan tahun ini Rp2.076,9 triliun.

Angka itu dianggap ambisius mengingat tengah landainya tren penerimaan pajak beberapa waktu belakangan. Realisasi semester I pada tahun ini, misalnya, tercatat lebih rendah dibandingkan tahun lalu.

Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada semester I-2024 mencapai Rp893,8 triliun, sedangkan pada 2025 nilainya sebesar Rp831,3 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, perlambatan ini salah satunya disebabkan oleh tingginya restitusi pajak pada awal tahun.

Realisasi per semester I itu baru mencakup 38 persen dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,3 triliun. Kemenkeu sudah mengakui serapan akhir pajak pada tahun ini bakal lebih rendah dari target, berkisar 94,9 persen.

Justru, karena itu, publik mempertanyakan cara pemerintah mewujudkan target pajak pada RAPBN 2026, yang lebih tinggi dari target awal maupun proyeksi akhir APBN 2025.

Menakar potensi serapan

Pengamat pajak  Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat target tinggi pajak pada RAPBN 2026 bisa dicapai dengan syarat adanya intervensi yang bisa menambah pendapatan pajak.

Menurut Fajry, Indonesia pernah mengalami hal tersebut pada 2022. Terjadi tambahan pajak sebesar Rp438,16 triliun berkat pertumbuhan ekonomi 5,31 persen, kenaikan harga komoditas, serta implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Namun sayangnya, intervensi tidak terjadi pada 2023 dan 2024, yang menyebabkan penambahan pajak hanya berkisar Rp152,47 triliun dan Rp63,17 triliun.

“Melihat secara historis, target penerimaan pajak dalam RAPBN 2026 memang terlalu optimis,” kata Fajry kepada ANTARA di Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025.

Dia utamanya menyoroti target pajak penghasilan (PPh) yang tumbuh sebesar 15 persen. PPh dari sektor non-migas dibidik sebesar Rp1.154,13 triliun dan sektor migas Rp55,24 triliun, sehingga target PPh total sebesar Rp1.209,36 triliun.

Pemerintah menetapkan target yang optimistis itu lantaran berencana untuk mengoptimalkan kebijakan teknis perpajakan, seperti kegiatan joint program dan mengejar pengawasan terhadap Wajib Pajak Grup dan orang kaya atau High Wealth Individual (HWI). Proyeksi perekonomian 2026 pun dianggap lebih cerah dan bisa berkontribusi mendongkrak serapan PPh.

Bila perekonomian tahun depan memang cerah, terutama jika target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen yang dibidik pemerintah bisa terwujud, maka bukan tidak mungkin target pertumbuhan PPh bisa tercapai, kata Fajry. Sayangnya, dia menyangsikan target pertumbuhan ekonomi itu bisa terwujud mengingat adanya risiko politik yang masih cukup besar.

“Kecuali, ekonomi kita bisa tumbuh tinggi dan ada kebijakan yang dapat memobilisasi penerimaan dalam jangka waktu singkat,” tambah dia.

Fajry menyarankan pemerintah untuk mengoreksi target pertumbuhan menjadi single digit dan memberikan insentif kepada pelaku usaha. Hal itu bertujuan untuk menghindari pengumpulan pajak yang agresif (aggressive tax collection) serta membantu pelaku usaha menggerakkan ekonomi di tengah ketidakpastian yang masih tinggi.

Selain PPh, pemerintah juga memasang target yang optimistis terhadap pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

PPN dan PPnBM merupakan kontributor utama kedua penerimaan pajak berkat aktivitas konsumsi masyarakat. Jenis pajak ini juga konsisten mencetak pertumbuhan sejak 2021, meski pertumbuhan itu kian melambat. Secara berturut-turut hingga 2024, pertumbuhan PPN dan PPnBM yaitu sebesar 22,6 persen, 24,6 persen, 11,1 persen, dan 8,5 persen.

Untuk tahun ini, diperkirakan pertumbuhan hanya sekitar 7,5 persen. Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI pada awal Juli lalu menyebut penerapan PPN 12 persen secara terbatas terhadap barang mewah sangat mempengaruhi proyeksi penerimaan pajak tahun ini.

Meski begitu, pemerintah nampaknya cukup positif dengan proyeksi tahun depan, tercermin dari target PPN dan PPnBM pada RAPBN 2026 sebesar Rp995,27 triliun atau tumbuh 11,7 persen dari proyeksi tahun ini Rp890,9 triliun.

Pemerintah pun cukup yakin dengan kinerja pajak lainnya. Jenis pajak ini diperkirakan tumbuh signifikan pada 2025, mencapai 1.092,2 persen menjadi Rp104,2 triliun dari rekor terakhir Rp8,7 triliun pada 2024. Laju positif itu utamanya didorong oleh deposit yang merupakan kemudahan pembayaran bagi wajib pajak.

Dengan tren yang positif, pemerintah menaruh angka Rp126,94 triliun untuk 2026 atau tumbuh 21,8 persen dari proyeksi tahun ini.

Berbeda dengan tiga jenis pajak sebelumnya, pajak bumi dan bangunan (PBB) dibidik dengan pertumbuhan negatif.

Penerimaan PBB menunjukkan pola yang fluktuatif sepanjang 2021–2025, utamanya akibat sektor mineral dan batu bara (minerba) serta minyak dan gas (migas). Dengan memperhatikan tren perkembangan PBB dan moderasi harga komoditas, pemerintah menetapkan target Rp26,14 triliun pada RAPBN 2026, terkontraksi sebesar 13,1 persen dari proyeksi tahun ini Rp30,1 triliun.

Strategi mendongkrak pajak

Sebagai wajib pajak, kekhawatiran yang paling normal muncul sebagai reaksi dari target ambisius itu adalah munculnya pengenaan jenis pajak baru. Pemerintah telah merilis banyak aturan pajak baru tahun ini, mulai dari pajak kripto, PPh untuk bank bulion, hingga PPh 22 untuk pedagang di niaga elektronik (e-commerce).

Akan tetapi, kekhawatiran itu telah dibantah oleh Sri Mulyani. Dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026, Jumat (15/8), Sri Mulyani berjanji tak akan membuka jenis pajak baru untuk mengerek target penerimaan pajak tahun depan. Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bakal lebih berfokus pada strategi internal.

“Coretax dan pertukaran data (dengan kementerian/lembaga, red) akan makin diintensifkan, karena kami melihat adanya ruang untuk peningkatan,” ujar Sri Mulyani.

Secara umum, rencana pajak pemerintah pada 2026 terbagi menjadi tiga fokus, yakni reformasi struktural, menggali potensi ekonomi tersembunyi (shadow economy), dan mengoptimalkan kebijakan pajak internasional.

Terkait reformasi struktural, strategi yang disiapkan mencakup penyederhanaan aturan dan pemungutan PPh serta pajak natura dan fasilitas. Penyederhanaan juga bakal dilakukan terhadap pajak final sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Untuk meningkatkan efektivitas pemungutan, pemerintah juga memperluas pelibatan pihak ketiga, termasuk penyelenggara platform digital.

Strategi berikutnya menyoal shadow economy. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin sependapat buah yang mudah dipetik (low hanging fruit) oleh pemerintah adalah ekonomi bawah tanah (underground economy) yang nilainya diperkirakan mencapai 23,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, ia menilai, menyasar aktivitas ekonomi ini merupakan sebuah kerja keras.

Senada, Fajry juga mendukung keinginan pemerintah menjajaki peluang dari shadow economy. Tetapi, tantangan yang perlu menjadi perhatian adalah menyoal akses data.

“Kunci untuk dapat membuka potensi penerimaan pajak dari shadow economy adalah data dari pihak ketiga. Selain itu, data tersebut haruslah benar-benar reliable (bisa diandalkan) untuk digunakan. Pertanyaannya, apakah pemerintah punya data tersebut?” tuturnya.

Dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026, pemerintah menyebut sedang menyusun Compliance Improvement Program (CIP) khusus untuk shadow economy, termasuk melakukan kajian pengukuran, pemetaan, dan analisis intelijen.

Untuk langkah konkret yang telah diambil, contohnya, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang efektif terimplementasi melalui Coretax.

Ke depan, pemerintah menyatakan bakal berfokus mengawasi sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy yang tinggi, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan.

Pemanfaatan data pelaku usaha dari sistem OSS Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pencocokan data dengan pelaku usaha di platform digital yang belum teridentifikasi secara fiskal juga akan menjadi jalur yang ditempuh.

Adapun strategi terakhir terkait kebijakan internasional. Ketentuan pertama yakni terkait Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax) yang dikenakan melalui tiga mekanisme, yaitu Income Inclusion Rule (IIR), Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), dan Undertaxed Payments Rule (UTPR). IIR dan QDMTT sudah diterapkan sejak 1 Januari 2025, sedangkan UTPR baru akan diimplementasikan pada 1 Januari 2026.

Pemerintah juga bersiap mengadopsi Crypto-Asset Reporting Framework (CARF) untuk memfasilitasi pertukaran data transaksi kripto internasional.

Penguatan kerja sama internasional juga dilakukan melalui kebijakan Assistance in Recovery of Tax Claims, yang memungkinkan penagihan pajak lintas negara secara resiprokal. Sejauh ini, pemerintah telah bekerja sama dengan 81 negara dan tengah menjajaki peluang lebih lanjut dengan Jepang dan Korea.

Namun, seluruh strategi itu merupakan apa yang tersampaikan secara lisan melalui pidato maupun tertulis melalui buku Nota Keuangan. Data maupun rangkaian strategi itu masih terasa abstrak sebelum pemerintah berhasil membuktikan implementasinya.

Maka dari itu, pemerintah seyogianya memperhatikan berbagai masukan dan serius dalam menerapkan kebijakan, agar target tinggi penerimaan pajak itu tidak berhenti hanya sampai ambisi semata.

(Oleh Imamatul Silfia) ***