Catatan Denny JA: Mengenang Rizal Ramli, Aktivis Kritis dengan Basis Ilmu yang Kuat

ORBITINDONESIA.COM - Ketika hendak menulis epilog untuk buku mengenang Rizal Ramli, saya teringat satu sore di tahun 2003.

Di sebuah rumah sakit di Jakarta, saya mengunjungi Rizal Ramli yang sedang terbaring lemah.

Tetapi ada sesuatu yang tak berubah darinya: sorot matanya. Tatapan itu penuh nyala. Tubuh boleh sakit, tapi jiwa seorang aktivis tak akan pernah menyerah.

Di luar kamar itu, politik Indonesia sedang bergelora. Saya ikut dalam pusaran, membantu Susilo Bambang Yudhoyono merintis jalan menjadi presiden, pada pemilu langsung pertama dalam Pilpres 2004.

Survei yang saya lakukan memberi tanda. Ada kemungkinan besar SBY bisa menyalip Megawati, presiden yang sedang berkuasa, putri Bung Karno yang juga ketua umum partai terbesar.

Tetapi ada kekosongan dalam timnya. Yaitu suara perubahan untuk isu ekonomi. Isu ini harus datang dari sosok yang berani, yang tidak hanya lihai berhitung angka, melainkan juga membawa semangat aktivisme—dengan basis ilmu yang kuat.

Saya pun datang ke kamar itu. Dengan tubuh yang sedang diuji sakit, Rizal Ramli tetap tersenyum. Saya tahu, inilah orangnya. Seorang ekonom yang tidak hanya membaca grafik dan angka, tetapi juga peka terhadap penderitaan rakyat kecil.

Seorang aktivis yang tidak hanya kritis di meja diskusi, tetapi juga berani duduk di meja kekuasaan, membawa nurani rakyat ke dalam kebijakan.

Saya pertemukan Rizal Ramli dengan capres SBY, untuk bicara empat mata, 22 tahun lalu.

-000-

Merenungkan langkahnya, sejak Rizal Ramli menjadi mahasiswa, menteri, lalu terlempar dari kekuasaan, saya melihatnya sebagai prototipe yang langka: aktivis kritis dengan basis ilmu yang kokoh.

Dari masa mudanya di ITB, ia melawan otoritarianisme. Dari Boston, ia membawa pulang doktor ekonomi, lalu menjelma intelektual kritis yang tak hanya menulis, tapi juga bertindak.

Di Bulog, di Kementerian Ekuin, bahkan saat menjadi Menteri Keuangan ad interim, ia membuktikan bahwa kritik bisa berjalan seiring dengan kepemimpinan di pemerintahan.

Ia bukan tipe yang hanya puas mengutuk kegelapan. Ia selalu menyalakan lilin, meski kecil, di tengah gelapnya sistem. Lilin itu sering membuat banyak orang silau—karena nyalanya memantulkan kenyataan yang selama ini ingin disembunyikan.

Apa filosofi utamanya? Sederhana, namun begitu dalam: ekonomi bukanlah soal angka. Ekonomi adalah wajah manusia.

Ekonomi adalah apakah petani bisa tidur tanpa dihantui utang. Ekonomi adalah apakah nelayan bisa pulang membawa ikan tanpa lautnya dirampas reklamasi. Ekonomi adalah apakah anak-anak miskin bisa bersekolah tanpa takut putus di tengah jalan.

Itulah mengapa ia berani melawan arus neoliberalisme. Ia menolak resep IMF yang menurutnya hendak memangkas kedaulatan bangsa.

-000-

IMF biasanya mensyaratkan structural adjustment programs (SAP) atau paket reformasi ekonomi sebagai syarat pemberian pinjaman.

Isinya hampir selalu sama: privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan, deregulasi sektor keuangan, pencabutan subsidi.

Menurut Rizal Ramli, ini membuat negara kehilangan kendali atas aset strategisnya. Keputusan ekonomi jadi mengikuti “resep luar negeri,” bukan kepentingan rakyat.

Contoh soal krisis 1997–1998. IMF memaksa Indonesia menutup 16 bank tanpa perhitungan matang.

Akibatnya, kepercayaan publik runtuh, panic withdrawal terjadi, krisis perbankan makin parah, dan biaya BLBI membengkak hingga ratusan triliun.

Menurut Rizal, IMF fokus pada angka makro—defisit anggaran, inflasi, stabilitas kurs—tetapi mengabaikan efek sosialnya.

Kebijakan IMF biasanya membuat rakyat kecil menanggung beban terbesar, sementara elit dan korporasi justru dilindungi.

IMF meminta pemerintah menghapus subsidi BBM dan listrik tahun 1998–1999. Harga melonjak, daya beli rakyat jatuh, angka kemiskinan naik drastis.

Rizal menilai ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan keadilan sosial.

Pinjaman IMF bukan solusi jangka panjang, justru menambah beban utang dan membuka ruang bagi oligarki dalam negeri maupun asing.

Alih-alih memperkuat kemandirian ekonomi, IMF mendorong negara untuk terus bergantung pada kredit luar negeri.

Rizal ketika hadir di pusaran kekuasaan, ia  hapus utang petani Rp26 triliun. Ia reformasi Bulog, menolak reklamasi Teluk Jakarta, dan bahkan mengubah utang luar negeri menjadi hutan yang tetap lestari lewat debt-for-nature swap.

-000-

Suatu kali, saya masih ingat, ia mampir bicara berdua di resto saya di daerah Menteng, Jakarta.

Sambil kami minum kopi, ia bercerita soal kopi dan IMF. Rizal kisahkan pernah hadir dalam rapat yang ia ikuti membahas syarat-syarat pinjaman IMF. 

Rizal Ramli tampak santai—seperti biasa, ditemani secangkir kopi, ujarnya. Ketika seorang pejabat IMF mulai menjelaskan “resep” ekonominya dengan penuh semangat, Rizal spontan menyela seraya mengaduk kopinya:

“Maaf, Pak—apakah ada resep IMF yang bisa bikin kopi saya tetap panas, rakyat tetap kenyang, dan negara tidak makin ngutang?”

Semua hadirin tertawa. Rizal melanjutkan,

“Soalnya kalau saya ikuti resep IMF, bisa-bisa sebelum kopi ini habis, subsidi rakyat sudah dicabut semua, kita cuma bisa bayarin bunga utang… tanpa ada gula di kopinya!”

Saya tertawa. Rizal juga tertawa sambil berkata  “kopi Indonesia lebih mantap tanpa campuran resep asing!.”

Kadang saya bertanya: dari mana keberanian itu lahir? Saya kira dari keyakinan mendalam bahwa Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar teks hukum, melainkan doa para pendiri bangsa.

Dan mengkhianati doa itu sama saja mengkhianati proklamasi.

Kebijakan penghapusan utang petani yang digagas Rizal Ramli berdampak signifikan dalam meringankan beban petani dan mendukung pengurangan kemiskinan di pedesaan. 

Sementara itu, skema debt-for-nature swap yang ia prakarsai membantu menjaga kawasan hutan di Kalimantan.

Ini bukti nyata bahwa teori kritis bisa berbuah solusi konkret.

Kombinasi ini mematahkan mitos bahwa aktivisme dan efisiensi ekonomi tak bisa bersinergi.

-000-

Jika boleh saya simpulkan, Rizal Ramli ingin Indonesia menuju model negara kesejahteraan. Seperti negara-negara Nordik—Swedia, Norwegia, Denmark.

Negara di atas sebenarnya biasa saja soal sumber daya alam, tapi kaya dalam keadilan sosial.

Indonesia, sebaliknya, diberkahi kekayaan alam, tapi tetap miskin karena keserakahan dan salah kelola.

Rizal Ramli percaya, bila kita kembali ke ruh Pasal 33, membersihkan institusi dari korupsi, dan berani melawan oligarki, kita bisa membalik paradoks itu. Kita bisa menjadi bangsa yang kaya sumber daya sekaligus kaya dalam kesejahteraan.

Namun di atas semua itu, warisan terbesar Rizal Ramli bukanlah kebijakannya, melainkan sikap hidupnya.

Ia menunjukkan bahwa seorang intelektual sejati tak boleh bersembunyi di balik buku. Ia harus berani kotor tangan, masuk ke gelanggang, dan menanggung risiko.

Ia juga menunjukkan bahwa seorang aktivis sejati tak boleh berhenti pada sekadar protes. Ia harus belajar, membaca, meneliti, agar teriakannya punya dasar.

-000-

Dalam sejarah dunia, kita punya Amartya Sen. Ia peraih Nobel Ekonomi asal India, contoh sempurna aktivis intelektual yang kritis.

Lahir dari pengalaman hidup di Bengal yang dilanda kelaparan tahun 1943, Sen tumbuh dengan kesadaran bahwa pembangunan bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi, tetapi soal martabat manusia.

Teorinya tentang capability approach menolak pandangan ekonomi yang hanya mengukur kesejahteraan dari produk domestik bruto (PDB).

Bagi Sen, pertanyaan utamanya adalah: apakah manusia memiliki kebebasan untuk hidup sehat, berpendidikan, dan bermakna?

Sebagai akademisi, ia menulis dengan disiplin intelektual yang tinggi. Sebagai aktivis, ia menantang paradigma pembangunan dunia yang terlalu teknokratis dan kapitalistik.

Sen berani mengkritik kebijakan pemerintah India maupun lembaga internasional yang gagal melindungi rakyat miskin.

Dari kampus Harvard hingga forum PBB, ia menegaskan bahwa demokrasi, keadilan sosial, dan pendidikan adalah inti pembangunan.

Warisan Sen adalah sintesis antara ilmu dan nurani. Ia menunjukkan bahwa ilmu ekonomi hanya bermakna bila dipandu oleh etika kemanusiaan.

Sebagaimana Rizal Ramli di Indonesia, Sen menjadi mercusuar yang mengingatkan bahwa angka pertumbuhan hanyalah semu jika tidak sejalan dengan martabat manusia.

Semua mereka adalah pengingat bahwa ada cara hidup lain: cara hidup yang tidak tunduk pada kuasa uang dan kuasa kursi, tetapi tunduk pada suara nurani.

Dalam perspektif akademik, jalan hidup Rizal Ramli dan Amartya Sen sesungguhnya memperlihatkan sintesis penting antara teori dan praksis.

Keduanya menegaskan bahwa ekonomi tidak boleh berhenti pada metrik abstrak seperti PDB. Kemajuan ekonomi harus diuji melalui indikator kesejahteraan manusia nyata: distribusi pendapatan, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan keberlanjutan lingkungan.

Meski demikian, Rizal Ramli bukan tanpa cela. Gagasannya terkadang lebih besar daripada kemampuan politiknya membangun konsensus.

Ketegasan yang menjadi kekuatannya kerap menjelma kelemahan: membuat lawan maupun kawan merasa ia enggan berkompromi, sehingga sebagian ide briliannya berhenti di tataran wacana.

-000-

Rizal Ramli telah tiada. Tetapi ia  menjadi role model bagi suara yang kritis, tapi dengan dasar ilmu yang kokoh. Ia menjadi contoh intelektual organik, dan juga aktivis yang akademis.

Rizal Ramli tetap hidup di tengah kita sebagai suara nurani. Ia menegaskan: proklamasi hanya berarti bila ia terwujud dalam martabat manusia yang tak bisa dibeli, ditundukkan, atau ditukar dengan aneka pencapaian, tanpa kebebasan dan keadilan sosial.***

Jakarta, 20 Agustus 2025

Referensi

• Amartya Sen, Development as Freedom, Oxford University Press, 1999.

• Rizal Ramli, Ekonomi Politik: Indonesia dan Krisis, Pustaka LP3ES, 1999.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1WWUG5ZtTW/?mibextid=wwXIfr