Puisi Satrio Arismunandar: Elegi Gaza, Lapar yang Membawa Kematian

ORBITINDONESIA.COM - Di tanah yang terkepung tembok dan api,
Gaza berdiri rapuh,
menyembunyikan jeritan di balik puing,
sementara dunia menutup mata
pada anak-anak yang menangis dengan perut kosong,
dan ibu-ibu yang mengayun bayinya
dengan nyanyian sunyi:
nyanyian lapar, nyanyian putus asa.

Per 15 Agustus 2025,
PBB menuliskan luka itu dengan angka:
“Bencana Kelaparan — IPC Fase 5.”
Sebuah kalimat dingin,
tapi di baliknya ada wajah pucat ribuan anak,
ada suara batuk serak ibu menyusui
yang air susunya telah kering.
Ada Gaza yang perlahan-lahan dipaksa
memakan tubuhnya sendiri.

Lebih dari setengah juta jiwa,
terkurung di tanah sempit itu,
menjadi saksi bagaimana roti berubah jadi emas,
air jadi harapan yang terus disita,
dan doa menjadi senjata terakhir
yang bahkan langit pun sulit mendengarnya.

Deir al-Balah, Khan Younis—
nama-nama kota yang dulu berarti kehidupan,
kini menunggu giliran
menjadi halaman berikut dalam kitab kelaparan.
641.000 orang menunggu September
sebagai bulan yang bisa berarti akhir,
sementara 1,14 juta lainnya
menggigil dalam Darurat Kemanusiaan,
mereka menimbang:
mana lebih dulu datang, roti atau maut.

Di antara reruntuhan,
132.000 anak di bawah lima tahun
menggenggam udara kosong,
mencari remah yang tak pernah datang.
Dari jumlah itu, 41.000 di antaranya
berjalan di tepi jurang kematian,
kurus, mata cekung, tubuh yang hampir hilang,
menjadi angka di laporan IPC—
angka yang terlalu kecil untuk menampung rasa sakit begitu besar.

Dan ada 55.500 ibu hamil dan menyusui,
mereka menunggu mukjizat,
tapi yang datang hanyalah kabar tentang
blokade, penolakan,
dan harga pangan yang melambung ke langit
sampai tak terjangkau tangan-tangan yang retak.

Sementara dunia bicara tentang “diplomasi”
dan “hak Israel untuk membela diri,”
sistem pangan runtuh,
gudang bantuan terkunci,
dan setiap langkah mencari makanan
adalah taruhan hidup-mati
di jalanan yang dipenuhi bayangan senjata.

Gaza tahu: ini bukan bencana alam,
ini bukan badai atau kekeringan,
ini adalah bencana yang ditulis dengan tangan manusia,
dengan tinta genosida,
dengan blokade sebagai pena,
dengan kelaparan sebagai tanda tangan.

Komite Peninjau Kelaparan berkata:
“Penundaan bahkan hanya beberapa hari,
akan menambah barisan kematian
yang sama sekali tidak dapat diterima.”
Namun hari-hari terus ditunda,
dan mayat-mayat kecil terus dibungkus kain putih,
diturunkan ke tanah yang tak lagi subur.

Oh Gaza,
kau bukan hanya tanah,
kau adalah luka terbuka di tubuh kemanusiaan.
Dunia boleh berpaling,
tetapi engkau berdiri dengan tubuh-tubuh laparmu,
dengan anak-anak yang masih berani bermimpi
tentang sekolah, tentang bermain, tentang langit tanpa drone.

Apakah perdamaian akan datang dengan roti?
Apakah gencatan senjata bisa menumbuhkan gandum?
Ataukah dunia menunggu
hingga setiap suara di Gaza
hanya tinggal gema yang hilang
di antara reruntuhan dan debu?

Di malam yang gelap tanpa cahaya listrik,
seorang ayah menulis di dinding rumahnya:
“Jika aku mati karena lapar,
ingatlah aku bukan korban alam,
aku korban manusia.”

Dan Gaza, dengan sisa tenaganya,
masih mengucap doa:
semoga dunia akhirnya mendengar,
bahwa lapar bisa lebih kejam daripada bom,
dan kelaparan yang dipaksakan
adalah wajah paling telanjang dari sebuah genosida oleh Israel.

Depok, 23 Agustus 2025

*Satrio Arismunandar* adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.

Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).

Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.

Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.

Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.

Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).

Pernah mengajar sebagai dosen tak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), IISIP, President University, Universitas Bakrie, Sampoerna University, Kwik Kian Gie School of Business, dan lain-lain.

Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com ***