Gus Dur Sang Sejarah! - Pandangan Pengurus Pusat GP Ansor

Oleh Dinno Brasco, Pengurus Pusat GP ANSOR & Cand. Magister Universitas Paramadina

ORBITINDONESIA.COM - Tulisan ini merupakan opini yang ditulis oleh Dinno Munfaizin Imamah atau lazim dikenal sebagai Dinno Brasco. Ia adalah alumni S1 Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mantan pengurus PB PMII, kini Pengurus Pusat GP Ansor, dan juga mahasiswa S2 Islamic Studies Universitas Paramadina. Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan Gus Dur Sang Sejarah! Part I: Pembela Kemanusiaan yang dimuat di Kliping.id. Artikel ini murni merupakan opini penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Orbit Indonesia. Berikut tulisan lanjutan Part 2: Gus Dur Sang Sejarah! – Pandangan Seorang Pengurus Pusat GP Ansor:

Dalam kamus politik, untuk menjadi manusia-manusia hebat sebagai tokoh politik Indonesia menjulang tinggi ke langit, seseorang mesti melalui 7 (tujuh) tangga, yaitu laras senjata: bakat, kharisma (silsilah), kemampuan organisasi, manipulasi politik, pengetahuan kuasa, dan kapital besar. Megawati adalah contoh politisi yang berhasil naik ke puncak kekuasaan selain karena usahanya sendiri juga diberkati oleh kharisma ayahnya dan massa pengikut Soekarno. Sosok KH. Zainul Arifin, Akbar Tanjung, Subhan ZE merupakan teladan kelompok sipil untuk jalur kemampuan berorganisasi. Sedangkan Ali Moertopo, Sarwo Edhie Wibowo, dan L.B. Moerdani, merupakan teladan kemampuan dalam kepemimpinan berorganisasi dari kalangan militer.

Nah, Gus Dur ini menjulang namanya sebagai tokoh politik, yang menggabungkan dan melewati jurus-jurus kekuasaan, yaitu kharisma, bakat, pengetahuan dan kekuatan besar NU (Nahdlatul Ulama). Kekuatan kharisma setara dengan charity (kedermawanan) dipandang filsuf politik Max Weber (1864-1920) sebagai kualitas diri, karakter yang memiliki kekuatan supranatural, berasal dari dukungan ilahi sebagai teladan hidup.

Atas dasar inilah Gus Dur diperlakukan sebagai pemimpin politik. Bagaimana mungkin Suharto yang dipersenjatai laras senjata dan uang besar dari para konspirator, tumbang dengan tersenyum tanpa dendam kepadanya. Ngerii Gus!

Gus Dur dalam pandangan pakar strategi militer Joseph Nye berhasil menggabungkan kekuatan politik lembut (softpower) dan kekuatan keras (hardpower) untuk mendapatkan kekuatan cerdik yang memungkinkannya mengubah jalannya sejarah politik serta menciptakan perubahan arah baru Indonesia. Misalnya perubahan militer kembali dalam barak sejarah yang dipeloporinya, keputusan mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung untuk pemberantasan korupsi dan melawan konglomerat hitam, menaikkan gaji pegawai negeri sipil, dan lainnya.

Totalitas perjuangan Gus Dur jadi Presiden RI harus dibayar dengan kejatuhannya, seperti pernyataannya bahwa pelengserannya merupakan konspirasi politik dan tindakan yang inkonstitusional. Namun, Gus Dur tidak dendam, tidak punya musuh politik. Suharto adalah partner politik utamanya, bukan musuh politik yang banyak disalahpahami. Ampunn!

Kemanusiaan haruslah di atas segalanya, walaupun risikonya kekuasaan dan dijatuhkan sekalipun oleh kekuatan aliran hitam. Tanpa pertumpahan darah, tanpa benci dan dendam atas nama persatuan dan kebaikan negeri.

Kita semua ingin, semoga pemimpin negeri tak kehilangan legacy Gus Dur yang berupa 9 nilai dasar pergerakan (9 nilai utama): yaitu ketauhidan, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, ksatriaan, dan kearifan lokal. Jaring-jaring pemikiran Gus Dur antara lain pribumisasi Islam terpatri pada Islam sebagai etika sosial bagi kemanusiaan. Di titik pijak inilah Gus Dur bagi kita semua sebagai paradigma, weltanschauung.

Kita bisa bersaksi bahwa Gus Dur adalah manusia yang penuh keteladanan, sang petarung kebaikan yang hatinya dipenuhi keikhlasan berjuang demi negerinya dan sistem dunia yang lebih baik.  Kesadarannya menjulang tinggi ke langit, tetapi amal bakti pertarungan hidupnya demi negeri menggores aktivisme di bumi manusia. Mewujudkan kesadaran sejarah human social life, seperti halnya filosofi peristiwa Isra’ Mi’raj Sang Nabi Muhammad Saw, yang bergerak menemui Tuhan dan kembali menemui manusia.

Gus Dur setia membela martabat kehormatan manusia tanpa pembeda dan pembatas, siapa pun dan di mana pun, dari ujung bumi Sumatera, Papua hingga ke ujung dunia. Membela yang tertindas dan orang yang hancur hatinya. Kepemimpinan Gus Dur bukanlah kekuasaan yang berasal dari laras senjata, seperti dipandang sah oleh Machiavelli, Genghis Khan, Attila the Hun, Mussolini, Hitler, Lenin, dan Mao Zedong. Namun, bisa dari banyak cara, yakni pemilihan, demokrasi, musyawarah, kebaikan, keikhlasan berjuang, dan mengabdi untuk negeri.

Gus Dur sudah pernah memulai ‘pertarungan’ melawan blok sejarah yang tak adil. Gus Dur juga meninggalkan legacy, contoh penghargaan negara terhadap toleransi dan keberagaman berbangsa. Di era Gus Dur inilah  Khonghucu diakui sebagai agama resmi yang keenam.

Akankah kita lanjutkan semangat dan visi abadinya sebagai petarung besar sampai ke ujung dunia? Membentuk cerita dan kisah Indonesia yang bagus dan lembut untuk dirapalkan oleh generasi Z dan millenial pasca Gus Dur. “Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan” adalah mantra dan doa yang dirapalkan dalam lukisan hidup yang dilukis dan dirupakan sebagaimana jejak tradisi perjuangan leluhurnya, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahid Hasyim.

Ada ruh Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dan ayah-ibunya yang mulia. Berjuang tanpa henti demi setia kepada Islam dan Indonesia. Rela mati demi kebaikan negeri. Di belakang lukisan leluhurmu, ada warisan jejak darah dan air mata rakyat Indonesia yang berjuang demi Tanah Air.

Kita pernah menghadap dengan benar, bersujud di ruang pribadimu dan terharu di atas sajadah sembahyangmu di Markas Besar PBNU. Merapalkan kembali mantra itu di kedalaman jiwa kita demi kebangkitan bangsa.

Kenang, kenanglah syair ngeri dari orang saleh sepanjang sejarah, untuk Gus Dur dan tentunya bagi semua anak bangsa:

Wahai anak Adam,Ketika ibumu melahirkanmu

Kau menangis, Sedang orang-orang di sekelilingmu

Tertawa bahaga, Maka berusahalah sungguh-sunngguh

Manakala kau pulang selamanya

Mereka menangis tersedu sedan

Sedang kau sendiri tersenyum indah.

AKHIRNYA…

Orang yang hidup bagi dirinya sendiri, maka akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Orang yang hidup bagi orang lain, akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar. Itulah Gus Dur sang sejarah!

Almarhum Jakob Oetama pendiri Kompas pernah mengatakan tentang Gus Dur: “Perilaku hidupnya yang asketis, bebas gemilang dari kelekatan materi, ia dapat memotong tumit Achilles, yakni simpul mati yang mengikatkan kekuasaan dengan kekayaan lewat salah guna kekuasaan, wewenang dan kesempatan.”

Tentunya semua anak bangsa mesti melanjutkan legacy Gus Dur, Sang Pahlawan. Melaksanakan tugas dan tantangan kesejarahan demi Indonesia yang berdaulat, berdikari, makmur dan ngeri. Darinya kita belajar, memanusiakan manusia. Bukan saling terkam, saling tipu, saling bantai tuna empati, dan saling hajar untuk jadi pemenang yang ujung-ujungnya masuk neraka jahanam bersama setan dan Lucifer. Ngeriii!

“Homo homini lupus. Bellum omnium contra omnes,“ kata Thomas Hobbes. Tabiat manusia adalah melakukan apa pun untuk kepentingan sendiri, untuk menjadi serigala bagi manusia lain. Cerita manusia adalah cerita tentang semua memerangi semua.

Dalam Bab XIII kitab Leviathan, Hobbes menyebutkan “a general inclination of all mankind, a perpetuall and restless desire of power after power that ceaseth only in death.” Hobbes bertanya mengapa manusia tidak bisa hidup rukun seperti semut dan lebah. Ia menjawab sendiri, karena manusia “continually in competition for honor and dignity.” Kompetisi ini sejatinya adalah kompetisi untuk kekuasaan.

 “The easiest way to obtain glory, is to obtain power,” kata Bertrand Russell. Kata Russell, the desire for glory dan the desire for power sama saja. Menurut Raymond Aron: “negara tidak berusaha untuk kuat buat mencegah agresi dan menikmati perdamaian. Negara berusaha kuat agar ditakuti, dihormati, atau dikagumi.” “Libido dominandi“ kata Santo Agustinus, “menjadikan manusia lebih buruk dari binatang dalam hal kekejamannya.”

 “Ular pembelit sesudah makan langsung tidur sampai seleranya muncul lagi“ kata Russell. Kemudian Bertrand Russell melanjutkan: “tetapi kehausan akan kekuasaan dan kebesaran pada manusia hanya dibatasi oleh kemungkinan yang dibayangkan oleh imajinasinya.”  Mengapa manusia selalu mengejar kebesaran dan kekuasaan?  Karena satu-satunya motif yang menggerakkan manusia adalah der Wille zur Macht (kehendak berkuasa), menurut Nietzsche. der Wille zur Macht adalah juga der Wille zum Leben (kehendak untuk hidup) .

Dalam buku Beyond Good and evil, Nietzsche menulis, physiologist should think again before postulating the drive to self preservation as the cardinal drive in an organic being. A living thing desires above all to vent its strength-life as such is will to power.”  Morgenthau, melanjutkan Nietzsche, menegaskan “man is born to seek power” dan “aspire tower exercising political domination over others”  Kekuasaan adalah “elemental bio-psychological drive” semacam insting untuk hidup atau reproduksi.

Apakah benar petuah mantan Menlu Amerika Serikat bernama Henry Kissinger? Ia menyatakan: ”Semenarik apa pun kekuasaan, penelitian psikologis menunjukan bahwa kekuasaan mematikan kepekaan orang yang memilikinya. Singkatnya, kekuasaan membunuh empati.”

Kalau memang visi hidup kita seperti itu, layak kita disebut dunia para serigala. Dunia para serigala, dunia para kakeane! Ojo ditiru ya sahabat-sahabat generasi Z dan milenial!

Ala kulli hal, Selamat menjelma Pahlawan Nasional.

Gus Dur telah menjadi sang sejarah. Teladan semua anak bangsa, inspirator generasi muda lintas benua.

Salam Ngopi! Mantap Gusque!

Gitu aja kok repot!

Bumi Ciputat, 10-12 November 2025 ***