Gaza: Kelaparan yang Dibiarkan, Genosida yang Dibungkus Politik

ORBITINDONESIA.COM - Pada 15 Agustus 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Integrated Food Security Phase Classification (IPC) resmi mengonfirmasi bahwa bencana kelaparan tingkat terparah (Fase 5) telah terjadi di Jalur Gaza. Catatan ini menjadikan Gaza sebagai wilayah pertama di Timur Tengah yang mengalami kelaparan dengan klasifikasi tertinggi sepanjang sejarah.

Sekilas, berita ini terdengar seperti laporan statistik biasa. Namun di balik angka-angka itu tersembunyi kenyataan pahit: anak-anak yang menangis tanpa air susu, orang tua yang bertahan hanya dengan sepotong roti basi, dan keluarga yang mempertaruhkan nyawa hanya untuk mencari segenggam tepung.

Bukan Bencana Alam, Melainkan Bencana Politik

Tidak ada badai, gempa, atau kekeringan yang menyebabkan tragedi ini. Laporan IPC menegaskan bahwa krisis di Gaza sepenuhnya disebabkan oleh manusia: blokade total, runtuhnya sistem pangan, dan terhambatnya bantuan kemanusiaan. Selama 22 bulan terakhir, serangan tanpa henti menghancurkan infrastruktur, sementara jalan masuk bantuan tercekik oleh kontrol militer Israel.

Akibatnya, lebih dari setengah juta orang kini hidup dalam kondisi bencana kelaparan. Diperkirakan 641.000 warga Gaza akan menghadapi situasi terburuk pada akhir September, sementara 1,14 juta lainnya berada dalam kategori darurat kemanusiaan. Secara sederhana, hampir dua dari tiga warga Gaza kini hidup dalam penderitaan yang mendekati titik nadir.

Anak-anak dan Ibu: Korban Paling Rapuh

Data IPC menunjukkan sedikitnya 132.000 anak di bawah lima tahun menderita malnutrisi akut, termasuk 41.000 dengan kondisi parah yang terancam kematian. Sementara itu, 55.500 ibu hamil dan menyusui juga mengalami gizi buruk. Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah potret masa depan yang dirampas: generasi yang seharusnya tumbuh, dipaksa melemah sejak dalam kandungan.

Mereka bukan korban kekurangan alamiah, melainkan korban kebijakan. Dengan kata lain: ini adalah kelaparan yang dipaksakan.

Blokade Sebagai Senjata

Blokade pangan di Gaza menjadikan makanan sebagai senjata perang. Delapan dari sepuluh keluarga dilaporkan menghadapi risiko keamanan hanya untuk mencari bahan pangan. Harga kebutuhan pokok meroket hingga tak terjangkau. Bahkan, ketika bantuan kemanusiaan tersedia, proses distribusi diperlambat oleh birokrasi dan keputusan politik.

Inilah wajah lain dari perang modern: bukan hanya bom dan peluru, tetapi juga perut kosong yang dibiarkan membunuh perlahan.

Dimensi Moral dan Politik

Komite Peninjau Kelaparan PBB menyatakan tegas bahwa tragedi ini sepenuhnya disebabkan oleh manusia. Pernyataan itu menggugah, tetapi sekaligus menohok: artinya dunia tahu, dunia melihat, namun dunia memilih menunda.

Maka, kelaparan di Gaza bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan ujian moral global. Jika komunitas internasional gagal menghentikan blokade dan menyalurkan bantuan tanpa hambatan, maka sejarah akan mencatat Gaza sebagai tragedi genosida yang terjadi di depan mata, dengan seluruh dunia sebagai saksi pasif.

Penutup

Seorang ayah di Gaza pernah menulis di dinding rumahnya: “Jika aku mati karena lapar, ingatlah aku bukan korban alam. Aku korban manusia.” Kalimat itu seharusnya cukup untuk membangunkan nurani siapa pun yang masih percaya pada kemanusiaan.

Kelaparan di Gaza bukan takdir, melainkan pilihan. Pertanyaannya: pilihan siapa? ***